Thursday, October 10, 2013

Micromanaged dan Blaming Organization

Dalam salah satu pelatihan dengan menggunakan integrated thinking yang saya ikuti, kelas dibagi menjadi beberapa group setiap group membahas problem yang diwakili salah satu member group. Kebetulan saat itu topik utama kelompok kami adalah mengenai human resources. Salah satu member di group kami menyanggupi menjadi nara sumber, karena kebetulan bidang ini merupakan job yang diberikan perusahaan pada-nya beberapa bulan terakhir.

Rekan yang menjadi nara sumber mengangkat topik tinggi-nya turn over menjadi salah satu issue yang perlu kami cari solusinya secara integrated thinking. Saat sedang hangat2-nya diskusi mengenai ini, trainer menghampiri kami sambil bertanya topik apa yang sedang kami bahas. Lalu kami jelaskan hal2 terkait topik dimaksud.

Lalu beliau bertanya berapa persentasi turn over yang terjadi. Saat nara sumber menyampaikan nilai persis-nya, trainer kami terlihat kaget, dan mengatakan sepertinya ada masalah dengan kepemimpinan dalam organisasi perusahaan kami, jika turn over-nya setinggi yang kami sampaikan. Kami yang memerlukan jawaban lantas bertanya apa penyebab yang biasa terjadi.

Menurut trainer, pada kasus dengan turn over setinggi itu biasanya hanya ada dua penyebab dominan, yakni micromanaged dan blaming. Micromanaged adalah gaya kepemimpinan yang mengatur segala sesuatu sampai dengan hal2 terkecil. Hal ini mengakibatkan karyawan kesulitan untuk berekspresi dengan potensi yang dia miliki. Bagi karyawan kreatif hal ini menyebabkan ketidaknyamanan, meski bagi karyawan yang tidak kreatif situasi justru lebih nyaman dan minim resiko.Penyebab dari manajemen dengan model seperti ini adalah karena masalah emosional /karakter sosok pimpinan atau ketidakpercayaan terhadap kompetensi karyawan. 

Sedangan blaming merupakan cara me-manage yang lebih fokus pada "kambing hitam" dibanding solusi. Situasi akan lebih parah jika koreksi dan teguran disampaikan secara terbuka dihadapan karyawan lain. Seorang konsultan manajemen Gerald Weinberg mengatakan blaming merupakan indikator ketahanan dan integritas organisasi. Beliau juga menekankan bahwa budaya blaming yang datang dari pimpinan biasanya direspon secara negatif oleh karyawan dengan akibat takut memutuskan sesuatu, potensil memunculkan kesalahan baru, dapat menimbulkan kecelakaan kerja, serta biasa ditanggapi secara pasif atau bahkan agresif.

Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca alasan untuk resign yang sering digunakan karyawan umumnya berhubungan dengan atasan, uniknya alasan yang sering digunakan untuk bertahan juga adalah berhubungan dengan atasan. Jadi faktor atasan adalah faktor yang sangat penting. Hal ini juga terjadi dalam dunia sepak bola sering2 seorang pemain mengikuti pelatih-nya, karena pelatih (atasan) yang cocok akan mampu mengembangkan potensi pemain-nya (bawahan). Sebagaimana saya sendiri jadi ingat pengalaman saat sekolah, nilai2 saya pada semua pelajaran ternyata sangat tergantung dari kenyamanan dengan guru pada mata pelajaran tersebut. 

 

1 comment:

christian said...

upload lagi om...terutama yg bermateri training seperti ini