Senin, tanggal
2/7/2007 selesai breakfast jam 06:45, kami langsung menuju depan hotel, Edie
Sur dan seorang supir sudah menunggu dengan menggunakan Kijang Kotak yang agak
berbau bensin kami langsung tancap gas ke Pura Batu Bolong di Senggigi. Dalam
perjalanan kami berhenti sebentar untuk foto dengan latar belakang Pantai khas
Senggigi yang agak melengkung ke dalam dan terlihat sangat asri dari ketinggian bukit-bukit di sekitarnya. Jam 07:50 kami
memasuki Pura, setelah membayar retribusi dan menggunakan selendang. Memang tidak
seindah Tanah Lot, namun komposisi karangnya cukup unik.
Lantas kami
langsung menuju Kampung Keramik dan sampai sekitar jam 9:30, disini selain membeli
beberapa vas bunga, anak-anak juga mencoba membuat asbak buatan sendiri dengan
langsung menggunakan alat-alat pembuat keramik lantas diberi nama. Sepertinya
anak-anak senang sekali melihat bagaimana proses pembuatan berbagai kerajinan
keramik, lalu melihat proses pembakarannya, finishing dengan berbagai cat warna
warni dan lalu berkunjung ke tokonya di bagian depan yang ternyata cukup besar. Saat pembuatan
keramik, saya jadi ingat film Ghost yang sangat terkenal dengan adegan Demi
Moore dan Patrick Swayze (yang buat saya sulit dibedakan dengan Kurt Russel). Meski
cukup artistik, sepertinya hasil akhirnya sedikit di bawah Bali yang memang penduduknya
seakan dilahirkan untuk menjadi seniman.
Lalu kami menuju
Kampung Tenun, disini setiap motif merupakan “hak milik” keluarga tertentu, dan
bagi yang sudah mahir, dengan mudah mereka bisa membedakan kain tenun mana yang
merupakan buatan keluarga siapa. Harganya cukup mahal, namun untuk kerajinan
tenun ini, sepertinya Bali harus mengakui kelebihan Lombok. Secara umum
tenunannya sangat rapi dan indah, dan tentu saja harganya cukup mahal. Di bagian
depan nampak beberapa pemintal sedang beraksi, untuk satu kain ini mereka bisa
membuatnya puluhan hari, jadi pantas saja harganya mahal, bayangkan benang demi
benang disusun untuk menghasilkan satu kain tenun.
Menjelang siang,
kami menuju Tanjung Aan, akhirnya sekitar jam 11:30 kami menjejakkan kaki salah
satu pantai terbaik di Lombok, namun belum sepopuler Senggigi, jalan menuju
lokasi ini masih berupa kumpulan krikil yang dipadatkan, dan sama sekali tidak
ada hotel apapun disini. Di pinggir jalan menjelang masuk pantai, nampak beberapa
hiasan2 patung di sepanjang jalan, dan menurut Edie Sur pada tempat ini
rencananya akan dibangun Novotel. Namun
mengingat jauhnya dari mana-mana, kemungkinan ini akan menjadi hunian eksklusif
bagi yang menginginkan ketenangan .
Siang hari di pantai tentu saja kurang nyaman, namun angin yang kencang dan pemandangan indah membuat kami merasa terhibur. Salah satu yang unik disini adalah ukuran pasirnya yang besar-besar nyaris sebesar merica. Anak-anak nelayan berlarian disekitar kami yang sambil menawarkan pasir yang sudah mereka kemas dalam botol Aqua. He he saya senyum2 sendiri memikirkan ironi yang terjadi, bayangkan mereka menawarkan pasir yang justru sedang kami injak. Untuk mencari spot yang bagus, kami menaiki tebing yang sepertinya merupakan titik terbaik untuk memandang keseluruhan Tanjung Aan.
Siang hari di pantai tentu saja kurang nyaman, namun angin yang kencang dan pemandangan indah membuat kami merasa terhibur. Salah satu yang unik disini adalah ukuran pasirnya yang besar-besar nyaris sebesar merica. Anak-anak nelayan berlarian disekitar kami yang sambil menawarkan pasir yang sudah mereka kemas dalam botol Aqua. He he saya senyum2 sendiri memikirkan ironi yang terjadi, bayangkan mereka menawarkan pasir yang justru sedang kami injak. Untuk mencari spot yang bagus, kami menaiki tebing yang sepertinya merupakan titik terbaik untuk memandang keseluruhan Tanjung Aan.
Dari sini sambil
menuju Mataram, kami singgah di Kampung Suku Sasak (suku yang mendominasi 80%
penduduk di Lombok) di Desa Rambitan. Lokasinya dipinggir jalan dengan gerbang yang
dibuat dengan bahan-bahan alam. Suasananya sangat asri dengan warna-warna
natural. Komunitas suku ini menyambut
kami dengan ramah dan kami diajak berkeliling melihat berbagai macam bangunan
seperti gudang beras (yang tiang-nya memiliki ornamen yang menyulitkan tikus
masuk), rumah penduduk, kandang ternak, dll.
Rumah penduduknya berlantai tanah yang keras dan licin, ternyata mereka
menggunakan kotoran sapi untuk memoles lantai tersebut. Si sulung membeli
sarung putih dengan corak benang emas, yang dia gunakan untuk sholat hingga
kini. Bagi yang suka makan Ayam Taliwang Bersaudara, atap bangunan khas Sasak
ini mengingatkan kita akan papan nama restoran tersebut.
Rumah tradisional
Suku Sasak ini hanya memiliki 2 ruangan yakni bagian depan dan bagian dalam. Bagian
depan bagi laki-laki dan wanita yang sudah dewasa, sedangkan bagian dalam diperuntukkan bagi
wanita belum menikah. Ruangan dalam ini memiliki letak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ruangan depan, sehingga biasanya ada sekitar tiga anak
tangga untuk masuk ke ruangan dalam.
Dari sini kami langsung
menuju Restoran Ayam Taliwang yang menjadi pionir masakan sejenis di berbagai
tempat di Indonesia. Restorannya terlihat agak tua dan kusam. Tanpa ragu-ragu
saya dan Si Sulung yang memang suka masakan pedas langsung memesan yang paling
pedas, namun pedasnya memang luar biasa, dalam sekejap mulut rasanya terbakar,
air mata bercucuran, rambut segera basah dengan keringat, meski sudah meminta
minum tambahan, namun tetap saja kami berdua tidak kuat. Solusi akhirnya, saya
cemplungkan potongan-potongan ayam di piring saya ke kobokan yang saya ganti dengan air minum, barulah “penderitaan” tersebut berakhir.
Menjelang jam 16:00
akhirnya kami sampai di Hotel namun sempat berhenti kembali di salah satu
warung untuk memesan makan malam, sesampai di hotel duduk-duduk menatap
matahari tenggelam dan rasanya sungguh sangat nikmat, setelah Isya kami kembali duduk di pinggir kolam seraya anak-anak membuat beberapa foto dengan teknik bulb.
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-lombok-part-4-of-5-gili.html
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-lombok-part-4-of-5-gili.html
No comments:
Post a Comment