Pagi harinya kami
berjalan kaki dari Hotel ke Pantai Timur untuk melihat Sunrise. Nampak
perahu-perahu besar berjarak ratusan meter dari bibir pantai membuang sauh.
Setelah menikmati Sunrise kami berjalan kaki ke lokasi tempat sarapan kemarin
untuk sarapan nasi goreng dan melakukan acara brefing pada seluruh karyawan di
lantai dua.
Selesai sarapan
kami berjalan kaki menyusuri Pantai Timur
ke Cagar Alam. Lokasi Cagar Alam ini unik, karena kalau dilihat dari atas
bagaikan buah yang diletakkan ditengah laut dengan Pantai Barat dan Pantai
Timur sebagai tempat bergantung ke Pulau Jawa. Di pelataran depan nampak
beberapa rusa yang terlihat sangat jinak. Nampak dikejauhan Pulau Nusa
Kambangan yang tersohor. Anehnya kalau dilihat dari atas, tidak terlihat batas
yang jelas antara Pulau Nusa Kambangan dengan Pulau Jawa. Cukup bervariasi
vegetasi disini termasuk hutan sekunder tua dan sisanya adalah hutan primer.
Pohon-pohon yang dominan antara lain Laban (Vitex Pubescens), Kisegel (Dilenia
Excelsea), dan Marong (Cratoxylon Formosum). Selain itu banyak juga terdapat
jenis-jenis pohon seperti Reungas (Buchanania Arborencens), Kondang (Ficus
Variegata), Teureup (Artocarpus Elsatica),
Nyamplung (Callophylum Inophylum), Waru laut (Hibiscus Tiliaceus),
Ketapang (Terminalia Cattapa), dan Butun (Baringtonia Aistica). Di dataran
rendahnya terdapat hutan tanaman yang terdiri dari tanaman jati (Tectona
Grandis), Mahoni (Swietenia Mahagoni) dan Komis (Acacia Auriculirformis).
Lalu kami
menyusuri Cagar Alam dan masuk ke tiga gua, yang pertama bernama Gua Panggung,
bagian dalamnya terang dan gelombang air laut mampu masuk ke dalam gua.
Dibagian depan nampak sekumpulan pemandu wisata yang menjaga kotak sumbangan
dan berkata dengan suara agak keras “Silahkan yang mau menyumbang, mau
rombongan silahkan mau sendiri-sendiri juga silahkan” yang diulang ulang terus
saat rombongan kami masuk sehingga membuat susanan tidak nyaman. Dibagian atas
gua nampak bentuk seperti panggung batu dengan makam dibagian atas. Bau
kemenyan bakar dan bunga sangat menusuk hidung. Makam tersebut dihias dengan
payung berwarna hijau dan dikelilingi pagar yang diselimuti kain berwarna hijau
juga. Suparmin wanti-wanti agar jangan memotret dengan mengenakan sandal, karena
tidak akan mungkin berhasil. Istri yang tahu saya suka iseng langsung mencegah
saya mencobanya. Kakak perempuan saya yang memiliki indra keenam dan turut ikut,
mendadak pucat, dan tidak mau naik ke atas panggung batu dimana makam berada.
Kakak melihat mahluk halus berpakaian prajurit zaman dahulu dengan wajah tidak
ramah.
Sebagian pemuda dalam rombongan langsung mencoba memotret tanpa mengenakan sandal, dan merasa puas ketika fotonya berhasil diabadikan. Saat mereka dengan bangganya mengatakan pada Suparmin keberhasilan mereka memotret, Suparmin dengan jenaka mengatakan itukan dipotret pakai kamera, coba kalau potret memakai sandal pasti tidak akan berhasil,...yahh ternyata kami kena jebakan.
Sebagian pemuda dalam rombongan langsung mencoba memotret tanpa mengenakan sandal, dan merasa puas ketika fotonya berhasil diabadikan. Saat mereka dengan bangganya mengatakan pada Suparmin keberhasilan mereka memotret, Suparmin dengan jenaka mengatakan itukan dipotret pakai kamera, coba kalau potret memakai sandal pasti tidak akan berhasil,...yahh ternyata kami kena jebakan.
Gua kedua yakni
Gua Parat yang artinya “menembus” (karena memang keluar kearah laut), terlihat
lebih menyeramkan, kami harus membawa senter karena gua sepanjang 200 meter ini
benar-benar gelap. Sempat ada perselisihan di luar gua, karena para pemuda
penjaga di gua pertama memaksa kami menyewa senter mereka, sementara dari
travel kami sudah dilengkapi dengan tujuh senter. Dibagian pintu masuk gua,
nampak dua makam, namun Suparmin mengatakan kedua makam itu dan juga makam
sebelumnya hanyalah makam simbol, kedua makam di gua kedua tidak diperlakukan
sebagaimana makam di gua pertama, tidak tercium bau kemenyan dan juga tidak
dihias. Suasana dalam gua benar-benar gelap, bahkan tangan sendiri saja tidak
terlihat, kita juga harus awas karena dasar gua tidak rata karena stalakmit
sementara bagian atas gua terdapat berbagai staklaktit. Terlihat sepasang batu
berbentuk alat kelamin wanita dan pria, lalu dalam gua ternyata ada gua lain yang
berisi landak besar yang mau muncul jika kita memberi kacang, batu cekung yang
berisi air bening yang menetes dari staklaktit. Saya jadi ingat Joe si Indian, tokoh antagonis
dalam buku Mark Twain, Tom Sawyer yang sempat dijadikan lagu oleh Rush, band
progressive asal Canada.
Di Gua Parat,
kakak kembali gelisah karena dia melihat puluhan mahluk halus bergelantungan di
dinding-dinding gua dan nampak bahagia saat melihat anggota rombongan yang
memegang batu kelamin merasa yakin kalau memegang batu lawan jenis akan
mendapatkan jodoh serta memegang kedua
batu kelamin akan mengawetkan pasangan. Mahluk mahluk ini dalam penglihatan
kakak turun dari dinding dan mendekati salah seorang anggota rombongan yang
tengah hamil muda, kakak kuatir sekali karyawan kami kesurupan, namun akhirnya
kami dapat melewati gua ini dengan aman, meski sempat kaget melihat biawak
sebesar manusia di sisi kanan pintu keluar dan ratusan kelelawar di langit-langit
gua.
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-pangandaran-part-5.html
No comments:
Post a Comment