Friday, December 30, 2016

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #2 dari 14 : Banda Aceh, Pelabuhan Ulee Lheue, Pelabuhan Balohan dan Kencana Cafe.


Di Bandara kami dijemput mbak Reny Nasutri guide yang aslinya berasal dari Pulau Simeulue dan driver Bang Faizal Nasution, orang Batak yang tidak bisa bahasa Batak karena sudah sangat lama di Banda Aceh. Dalam perjalanan Bang Faizal cerita sempat kehilangan adik kandungnya saat musibah tsunami tepat 12 tahun lalu.  



Dari sini kami langsung ke Pelabuhan Ulee Lheue yang berjarak 20 km atau sekitar 40 menit, mengejar kapal Ferry Express skedul jam 09:30 menuju Pelabuhan Balohan di Pulau Weh. Kapal Ferry yang membutuhkan waktu 45 menit untuk jarak sekitar 30 km ke Pelabuhan Balohan ini hanya memiliki jadwal 2x sehari, dan Bang Faizal memutuskan melintasi pinggiran Banda Aceh untuk mempercepat waktu.




Kami melewati pemakaman massal korban tsunami Siron tempat 46.718 korban tsunami dimakamkan, lalu jembatan besar untuk ke dan dari Pelabuhan Ulee Lheue dimana menurut mbak Reny  sempat menjadi tempat penampungan sementara ribuan jenazah sebelum dibawa oleh eskavator raksasa ke  Siron. Di tempat ini petugas masih memberikan kesempatan pada penduduk untuk mencari jenazah sanak saudaranya, terbayang tumpukan jenazah yang begitu banyak dan sanak saudara yang mencari jenazah kerabatnya. Tak terasa bulu kuduk saya meremang mendengar cerita mbak Reny.

Tiket Ferry Express Bahari untuk VIP sekitar 105.000 IDR per orang, jika ingin menghemat bisa menggunakan kapal biasa namun lebih lambat sekitar dua kalinya, Tetapi jika ingin melihat lumba-lumba, disarankan untuk menggunakan kapal yang lebih lambat ini. Meski tidak selalu, namun menurut guide kami, lumba-lumba senang mengikuti kapal menuju Pulu Weh. 

Meski sudah berusaha cepat dan tiba pada waktunya namun ferry tidak kunjung berangkat, usut punya usut, ternyata sedang menunggu pejabat kepolisian yang terlambat tiba. Begitulah di kota-kota kecil seperti ini, kadang skedul harus mengalah demi kepentingan pejabat. Jadi ingat kisah menteri yang sempat ribut karena ditinggalkan pesawat beberapa saat  lalu.

Di ferry yang sangat dingin dan membuat saya beberapa kali keluar ruangan karena tidak tahan, diputar lagu-lagu karaoke dengan volume kencang, mulai dari Wali, Ungu, dan bahkan Pance Pondaag. Tak terasa kamipun tiba di Pelabuhan Balohan, karena Bang Romi yang ditunjuk menjadi guide kami sempat tidak terlihat, maka kami sempat celingak celinguk beberapa saat dan langsung di”teror” sejumlah supir rental. Namun syukurlah Bang Romi datang membantu mengangkut tas ke pinggir jalan dan langsung mengambil Toyota Innova putih andalannya. Sambil menunggu Bang Romi menjemput, mata saya melirik sekumpulan udang goreng berukuran besar dan terlihat sangat lezat, di warung di depan jalan.




Luas Pulau Weh sekitar 153 km2 (alias seperempat Pulau Samosir atau Singapore) , terdiri dari 18 kampung dan 2 kecamatan. Tak banyak sekolah disini, antara lain 3 SMP, 3 SMA, dan tanpa perguruan tinggi. Topografi alamnya lengkap, ada banyak jenis pantai, gunung dan bukit. Jumlah penduduk sekitar 30 sd 40 ribu jiwa. 

Kami segera menuju Kencana Cafe, karena perut yang sudah kelaparan saya langsung mengambil gulai udang, udang goreng, terong, tempe, dan cumi, masih ingin mengambil kakap merah goreng, eh istri mengingatkan saya untuk menjaga asupan. Dengan badan sebesar saat ini, tidak mudah memang menikmati kuliner dengan didampingi polisi eh maksud saya istri. 

Untuk minuman khas Sabang disini disediakan dua macam, yakni Jus Timun Cincau dan Jus Pepaya Cincau. Masakan salah satu restoran ala warteg ternama di Sabang ini memang sedap, tak salah di depan kasir nampak foto Jokowi yang sempat makan disini tahun 2015 lalu bersama sang pemilik Kencana Cafe. Total biaya di Kencana Cafe menghabiskan sekitar 175.000 IDR, termasuk murah untuk makanan selezat itu. 

No comments: