Friday, December 30, 2016

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #10 dari 14 : Perjalanan ke Parapat, Paten (Oleh-oleh Siantar) dan Danau Toba.


Sepanjang jalan ke Parapat Bang Ernov mengingatkan kami, bahwa mencari makanan halal di sekitar Danau Toba bukan perkara mudah, karena di saat peak season ada banyak restoran yang sengaja mempekerjakan muslim sebagai kasir, namun juru masak dan lain-lain bukan muslim. Untuk mengantisipasi hal tersebut Bang Ernov sudah menyiapkan kandidat tempat makan kami nantinya. Tak lupa Bang Ernov berpesan untuk sarapan sebanyak-banyaknya di hotel, karena perjalanan membutuhkan paling tidak lima jam atau 180 kilometer. Rute yang kami tempuh berturut turut adalah Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Parapat.



Bang Ernov juga mengingatkan jangan berharap bisa berenang di Danau Toba, karena saat ini ada investasi perikanan besar-besaran yang menggunakan pelet sebagai makanan ikan. Pelet-pelet ini menurut Bang Ernov memiliki komposisi kimia yang menyebabkan gatal-gatal pada kulit selain mengeruhkan air danau. Hanya saja penduduk sekitar memang sudah relatif kebal, sedangkan wisatawan tidak disarankan. Bang Ernov juga mengingatkan makan sembarangan akan beresiko, karena warung-warung kebanyakan menggunakan air danau sebagai bahan baku masakan dan minuman. Namun Bang Ernov mengatakan, masih ada sedikit sisi danau yang masih bisa digunakan untuk berenang karena dikelola dengan standar asing. Saya jadi teringat Sumatera Barat, yakni kenapa Singkarak begitu jernih dan Maninjau malah sebaliknya, industri ikan memang kalau tidak dikelola secara hati-hati akan bertabrakan dengan bisnis wisata. 







Beberapa kilo menjelang Pematang Siantar kami berhenti di Paten, yakni toko yang menjual berbagai penganan khas Siantar dengan bahan baku yang didominasi kacang dengan nama-nama unik seperti Ak-am, Tengteng, Tingting, Tangtang, Tongtong, Tungtung, Pangpang, dan Pingping. Agar tidak membingungkan, pemilik toko menyediakan berbagai sampel yang bisa kita coba sebelum membeli. Kalau sudah yakin,  ada kotak paket besar yang berisi segala penganan diatas.  Tahun 2000 saya istri dan Si Sulung sempat lewat Siantar dan mencoba es krim roti yang dijual pedagang bersepeda, sayangnya dalam perjalanan kali ini kami tidak menemukan es krim tersebut.

Bang Ernov menceritakan profesi sampingannya membawa mobil pemudik kembali ke Jawa lewat jalur Sumatera lintas tengah khususnya bagi yang keletihan dan tidak sanggup pulang lewat jalan darat. Banyak membawa berbagai mobil, dia mengatakan mobil-mobil favoritnya adalah Mitsubishi Pajero dan Nissan Xtrail. Khusus Toyota Alphard dan Toyota Fortuner menurut Bang Ernov besar di bodi namun loyo secara tenaga. Bang Ernov bilang dia perlu 40 jam, dimana diantaranya dia hanya perlu 6 jam untuk beristirahat.  Kadang dia cukup mengantar sampai Bakauheni saja, dan bertemu dengan pemilik mobil di pelabuhan.

Menjelang Danau Toba, setiap kali saya tertarik untuk berhenti lalu ingin mengabadikan view Danau Toba yang indah, Bang Ernov selalu menyarankan lebih baik nanti saja, karena kami mengejar waktu. Saat itu saya sedikit merasa heran kenapa harus ditunda ?, namun jawabannya kelak akan saya temukan di Taman Simalem Resort saat perjalanan pulang.



Bang Ernov yang selalu duduk disekitar pelampung, menjelaskan bahwa dulu sekali, beliau pernah nyaris kehilangan nyawa saat terombang ambing di laut lepas dalam pelayaran ke Nias, karena mesin kapal yang mengalami kerusakan akibat badai. Sejak itu Bang Ernov memiliki semacam ketakutan pada transportasi air. 




Sekitar jam 12:30 setelah parkir di pasar disekitar pelabuhan Ajibata, kami langsung menuju kapal.  Sambil nakhoda kapal Pulo Horas menunggu penumpang penuh, saya mengamati tangga pelabuhan ke kapal yang rusak parah. Deretan penjual yang membuang berbagai sampah cair busuk langsung ke danau. Suasana hiruk pikuk dan kumuh yang mengingatkan istri akan suasana di film besutan Danny Boyle alias Slumdog Millionaire. Juga tidak ketinggalan penumpang yang membuang berbagai sampah termasuk kacang legendaris Sihobuk di lantai kapal. Situasi ini mengingatkan saya akan cerita Bang Ernov yang kecewa dengan penduduk sekitar Samosir dan Danau Toba dalam berinteraksi dengan lingkungan. Bang Ernov juga cerita mengenai Annette Horschman wanita Jerman yang menikahi lelaki Batak setempat dan hotel miliknya Tabo Cottages, dimana dia seakan akan sendirian memerangi perusak lingkungan termasuk tanaman hama seperti Eceng Gondok di Danau Toba.



Menurut informasi dari berbagai sumber, diperkirakan Danau Toba yang berukuran 100 km x 30 km tersebut, terbentuk saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu sekaligus merupakan letusan supervolcano terakhir di Bumi. Tim ahli dari Michigan Technological University memperkirakan letusan ini menghancurkan area seluas 20.000 km2, dengan deposito abu yang sangat tebal.

Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan kepunahan pada beberapa spesies makhluk hidup. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu menjadi sekitar 60 juta manusia. Letusan itu diduga juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih berbeda pendapat. Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Penyebaran debu supervolcano tersebut sangat luas, dan ditemukan hampir di seluruh dunia. Dapat dibuktikan dari bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Dan jika diukur jaraknya, mulai dari kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3.000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai Kutub Utara. 



No comments: