Friday, December 30, 2016

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #11 dari 14 : Samosir, Sigalegale, Makam Batu Raja Sidabutar, Batak Museum, Pasar Souvenir Tomok, Kursi Batu Persidangan dan Atsari Hotel.


Setelah kapal berlabuh di pelabuhan Tomok, kami berjalan kaki kearah kiri. Di sepanjang jalan nampak banyak warung setempat menjual babi dengan asap pemanggangan bertiup kemana-mana. Di Tapanuli Utara biasanya ada dua masakan kontroversial bagi penganut Islam, yang pertama disebut dengan B1 alias Biang yang berarti Anjing, lalu B2 alias Babi. Kami juga menemukan pemandangan yang sama saat melewati Siantar dan nantinya ketika melewati wilayah Karo saat pulang, dimana daging Babi dijual di pinggir jalan raya, lengkap dengan kepalanya yang terpenggal seakan menyapa pengguna lalu-lintas. Si Bungsu awalnya sempat shock melihatnya, maklum saja yang pernah dia alami saat di Macau lebih elegan, alias semuanya sudah dijual dalam bentuk dendeng.  

Bang Ernov lalu berhenti disebuah warung makan muslim yang kalau tidak salah bernama Berkah. Berbeda dengan travel di Banda Aceh, Aulia Tour Travel menanggung seluruh makan kami selama perjalanan kecuali oleh-oleh atau makanan tambahan atas permintaan kami sendiri. Masakan di Warung Berkah mirip dengan masakan Padang, tidak istimewa namun bisa mengembalikan kami ke kondisi siap tempur.




Kami menaiki tangga ke Makam Batu Tua Raja Sidabutar. Sebelum masuk seorang pria tua meminta kami menggunakan selendang adat. Makam batu tanpa sambungan ini nampak tua sekali, sayangnya saat mengabadikan dibagian latar terlihat spanduk ucapan selamat Natal dan Tahun Baru berukuran besar, yang cukup mengganggu visualisasi artistik saat mengabadikan makam. Di makam ini  ada tiga kuburan Raja Sidabutar dan tiga kuburan para keturunannya. Makam ini terdiri dari keluarga Raja Sidabutar, sejak masih menganut aliran kepercayaan atau Parmalim hingga menganut agama Kristen (dibawa oleh Nommensen tahun 1881). Perbedaan aliran ditandai dengan kain yang diletakkan diatas makam.




Dari sini kami lanjut masuk ke pasar yang menjual berbagai kerajinan, dan berbelok ke gang di kanan tepatnya Desa Wisata Tomok Parsaoran, dan langsung masuk ke sebuah area dengan empat buah rumah adat, dimana pada rumah adat terdekat terlihat Boneka Kayu Sigale Gale yang dengan bantuan seorang guide menari tortor bersama para pengunjung. Istri yang mengira boneka tersebut digerakkan tenaga gaib nampak terlihat tegang, sampai akhirnya Si Bungsu sambil menahan tawa menyampaikan apa yang dilihatnya di balik panggung Boneka Kayu, yakni seorang pria yang beraksi layaknya dalang.




Boneka Kayu Sigalegale menurut sejarah beberapa abad lalu, adalah simbol anak satu-satunya Raja Rahat yang memerintah di Uluan saat jatuh sakit. Segala cara telah dicoba, tetapi anaknya tetap tidak tertolong. Raja Rahat akhirnya memerintahkan pemahat membuat patung kayu sebagai perwujudan anaknya yang disebut Sigalegale. Agar bisa menari dan terlihat hidup dibuat jalinan tali temali dan kayu untuk menggerakkan boneka tersebut.




Tadinya saya mengira Boneka Kayu ini adalah satu-satunya di Samosir, belakangan penduduk setempat mengatakan ada tiga Boneka Kayu Sigalegale. Tak jelas juga mana yang asli, dan bisa jadi kedua boneka tambahan lebih untuk kepentingan komersil. Nampak juga Monumen Kayu Tungtung setinggi kira-kira tujuh meteran yang digunakan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat.




Lalu kami menuju Batak Museum yang masih terletak di Tomok dan berisi benda-benda kuno yang dipakai untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat Batak zaman dulu yang telah berusia ratusan tahun. Mulai dari senjata, mata uang, berbagai perangkat rumah tangga, dan lain-lain. Sayangnya ruangan tengah dalam rumah adat ini luar biasa gelap, sehingga menyulitkan kami mendokumentasikan benda-benda di ruang ini. Ada museum lain di Balige yang dibuat atas inisiatif T.B. Silalahi, namun kami tidak menjadikan ini sebagai destinasi.





Saat pulang kami mampir di Batu Kursi Persidangan,  yang digunakan oleh masyarakat adat untuk menentukan hukuman bagi pelanggar adat. Batu kursi persidangan yang biasa dikunjungi adalah Batu Persidangan Siallagan, namun kami tidak berkunjung ke Siallagan. Seluruh lokasi yang kami kunjungi hanya disekitar Desa Wisata Tomok. Samosir yang memiliki luas kurang lebih seluas SIngapura yakni 630 km2 tidak mungkin kami jelajahi dengan waktu yang sangat terbatas. Dari Pelabuhan Tomok kami kembali ke Pelabuhan Ajibata, dalam perjalanan nampak seorang anak perempuan membuang isi Popmie ke perairan danau sedangkan orangtuanya membiarkan begitu saja. Penumpang di kiri, kanan dan belakang kami melolong menyanyikan berbagai lagu yang diputar dengan volume kencang lewat sound system kapal, seakan akan lagu-lagu itu sudah mereka pesan sebelumnya.




Bayangan kami Atsari Hotel ini memiliki view ke Danau Toba, sayangnya kamar kami hanya menghadap dinding pembatas dengan bangunan lain. Lalu jam 19:00 kami makan di restoran Atsari yang memang sengaja diset secara khusus bagi kami berempat dengan iringan musik live. Ini benar-benar pertunjukan private dan suguhan spesial Aulia Tour Travel , meski menunya seperti kebanyakan hotel, alias relatif biasa saja.




Setelah makan, saya yang merasa belum mendapatkan obyek foto menarik, meminta Bang Ernov melintasi bukit-bukit di sekitar Danau Toba, namun cahaya yang terlalu lemah, kabel, pohon dan tiang menyulitkan kami mengambil foto indah. Belum lagi nyaris sepanjang jalan di pinggir Danau Toba sudah penuh dengan warung-warung.




Malam harinya, saya berdiskusi dengan istri mengenai petualangan kami kali ini yang terasa seperti anti klimaks dibanding Banda Aceh dan Sabang, situs-situs di Samosir yang tidak menarik, Danau Toba yang kotor, makanan yang kurang mengundang selera, dan betapa kami diliputi keraguan soal halal dan haramnya kuliner di sekitar Danau Toba. 

No comments: