Harapan saya terhadap buku ini ternyata tidak sesuai dengan isi-nya, meski hampir 500 halaman, namun 200 halaman pertama sejarahnya terlalu ditarik ke belakang, sehingga Cheng Ho sendiri baru muncul setelah halaman ke 200. Bahkan ekspedisi-nya sendiri baru dimulai setelah halaman 400 an, meski di cover tertulis “Kisah ekspedisi tionghoa muslim terbesar sepanjang sejarah”. Kualitas cover garapan “gobaqsodor” yang sangat bagus juga boleh dibilang berhasil “menipu” pembaca. Wiwid yang mungkin punya cukup kualitas sebagai penulis di level akademi dan sempat mengarang beberapa buku sebelum-nya, namun anehnya justru terkesan “gagap” ketika mencoba tampil sebagai penulis novel sejarah , hal ini dapat kita amati dari pemilihan kata dan kalimat2 yang terjebak dengan gaya sinetron televisi.
Terkesan kurang riset dan hanya mengandalkan sumber terbatas, dan juga sangat disayangkan meski dilengkapi peta dan tabel ekspedisi, namun tidak ada foto2 (lokasi dimana Cheng Ho pernah datang) , gambar (misalnya bentuk kapal dimasa itu, pakaian tempur, dll) atau cerita yang cukup detail dari setiap lokasi serta peninggalan khususnya lokasi di Nusantara yang didatangi Cheng Ho, padahal ini mestinya menjadi bahan menarik. Juga tidak dijelaskan apakah ini merupakan “ekspedisi terbear sepanjang sejarah” atau “ekspedisi tionghoa muslim terbesar sepanjang sejarah” sehingga terkesan “ambigu”.
Namun demikian kehebatan Cheng Ho yang dapat kita simpulkan dari buku ini adalah kemampuan-nya memimpin ribuan pasukan dengan ratusan perahu, dalam 7 ekspedisi ke puluhan lokasi seperti Campa, Malaka, Benggala, Samudera Pasai, Calicutt, Ceylon, Maldive, Aden, Palembang, Hormuz, dll dalam periode nyaris 28 tahun (1405 sd 1433) dengan total lama ekspedisi 14 tahun (paling pendek 1 tahun dan paling panjang 3 tahun per ekspedisi) . Dalam misi seperti ini, pengetahuan geografis, perbintangan, bahasa, manajemen serta logistik tentu harus memiliki level yang sangat tinggi. Selama periode ekspedisi ini sempat terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, namun terlihat jelas bahwa di mata penguasa Tiongkok, ekspedisi2 Cheng Ho dianggap berhasil, khususnya dalam konteks perdagangan dan persahabatan yang tentu tak lepas dari kemampuan Cheng Ho meyakinkan kerajaan.
Tak jelas benar kenapa dengan jumlah ribuan pasukan, pihak kerajaan dapat menyetujui misi dengan biaya luar biasa besar, namun sama sekali tidak untuk misi penjajahan dan penghancuran, sekaligus sangat ironis dengan periode 50 setelahnya dimana bangsa barat justru datang dengan misi sebaliknya yaitu kolonisasi, memecah belah dan menghisap bangsa jajahan. Seperti-nya era ekspedisi awal juga merupakan sinyal penguasa Mongol yang sudah mulai letih berperang, dan juga tidak menunjukkan dendam setelah ekspedisi sebelumnya di”kerjain” oleh Raden Wijaya.
Kondisi Cheng Ho yang “dikebiri” secara tidak manusiawi oleh pihak kerajaan saat era Mongol juga ternyata tidak mengurangi kualitas nya sebagai manusia “unggul”. Pada setiap kunjungan, Cheng Ho justru menunjukkan jati diri-nya sebagai muslim yang sangat menghargai kemanusiaan dan tetap rendah hati meski memiliki jabatan Laksamana sehingga menimbulkan kesan yang luar biasa dalam, serta positif bagi penduduk di lokasi yang dikunjungi, dan bahkan terus harum nama-nya hingga kini.
Terkesan kurang riset dan hanya mengandalkan sumber terbatas, dan juga sangat disayangkan meski dilengkapi peta dan tabel ekspedisi, namun tidak ada foto2 (lokasi dimana Cheng Ho pernah datang) , gambar (misalnya bentuk kapal dimasa itu, pakaian tempur, dll) atau cerita yang cukup detail dari setiap lokasi serta peninggalan khususnya lokasi di Nusantara yang didatangi Cheng Ho, padahal ini mestinya menjadi bahan menarik. Juga tidak dijelaskan apakah ini merupakan “ekspedisi terbear sepanjang sejarah” atau “ekspedisi tionghoa muslim terbesar sepanjang sejarah” sehingga terkesan “ambigu”.
Namun demikian kehebatan Cheng Ho yang dapat kita simpulkan dari buku ini adalah kemampuan-nya memimpin ribuan pasukan dengan ratusan perahu, dalam 7 ekspedisi ke puluhan lokasi seperti Campa, Malaka, Benggala, Samudera Pasai, Calicutt, Ceylon, Maldive, Aden, Palembang, Hormuz, dll dalam periode nyaris 28 tahun (1405 sd 1433) dengan total lama ekspedisi 14 tahun (paling pendek 1 tahun dan paling panjang 3 tahun per ekspedisi) . Dalam misi seperti ini, pengetahuan geografis, perbintangan, bahasa, manajemen serta logistik tentu harus memiliki level yang sangat tinggi. Selama periode ekspedisi ini sempat terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, namun terlihat jelas bahwa di mata penguasa Tiongkok, ekspedisi2 Cheng Ho dianggap berhasil, khususnya dalam konteks perdagangan dan persahabatan yang tentu tak lepas dari kemampuan Cheng Ho meyakinkan kerajaan.
Tak jelas benar kenapa dengan jumlah ribuan pasukan, pihak kerajaan dapat menyetujui misi dengan biaya luar biasa besar, namun sama sekali tidak untuk misi penjajahan dan penghancuran, sekaligus sangat ironis dengan periode 50 setelahnya dimana bangsa barat justru datang dengan misi sebaliknya yaitu kolonisasi, memecah belah dan menghisap bangsa jajahan. Seperti-nya era ekspedisi awal juga merupakan sinyal penguasa Mongol yang sudah mulai letih berperang, dan juga tidak menunjukkan dendam setelah ekspedisi sebelumnya di”kerjain” oleh Raden Wijaya.
Kondisi Cheng Ho yang “dikebiri” secara tidak manusiawi oleh pihak kerajaan saat era Mongol juga ternyata tidak mengurangi kualitas nya sebagai manusia “unggul”. Pada setiap kunjungan, Cheng Ho justru menunjukkan jati diri-nya sebagai muslim yang sangat menghargai kemanusiaan dan tetap rendah hati meski memiliki jabatan Laksamana sehingga menimbulkan kesan yang luar biasa dalam, serta positif bagi penduduk di lokasi yang dikunjungi, dan bahkan terus harum nama-nya hingga kini.
No comments:
Post a Comment