Saturday, April 07, 2012

Playing “GOD” - Rully Roesli


Beberapa minggu lalu saat mengambil “raport sementara” kedua anak saya, di depan Masjid Al Irsyad Kota Parahyangan, saya melihat sosok yang sangat akrab, tak lain dan tak bukan yaitu ustadz Budi Prayitno. Langsung saja kami berpelukan, dan rasanya jadi dingatkan kembali saat umrah 2009 dimana si Sulung dan si Bungsu terkena demam berdarah, dan saat itu beliaulah yang dengan ringan tangan membantu kami baik dengan doa maupun mengoordinasikan para petugas di Mekkah untuk mengantar saya dan anak2 ke klinik setempat. Setelah berbasa basi sejenak, ustadz Budi cerita bahwa baru2 ini dia diminta salah satu dokter senior Rully Roesli untuk membuat kata pengantar pada buku Rully , dan menganjurkan saya untuk membeli buku tsb.



Namun setelah beberapa waktu berlalu, saya belum saja sempat mencari buku tersebut di toko buku, dan meski ada undangan dari Mizan untuk peluncuran buku tersebut saya juga tetap masih belum punya waktu untuk menghadirinya. Namun memang dasar jodoh, istri yang mengikuti salah satu seminar profesi, ternyata mendapatkan buku tersebut karena memenangkan kuis, dan menghadiahkan buku tersebut pada saya.


Saat tengah malam dan tugas di Jakarta, ketika saya mendadak terbangun dan susah kembali untuk tidur, tangan saya bergerak meraih buku Rully (yang memang saya bawa dan diniatkan untuk dibaca) , dan tidak mampu melepasnya sampai dengan buku tersebut habis dibaca.  Pada awalnya judul tersebut terkesan arogan, akan tetapi setelah kita membaca penjelasan Rully semakin jelas yang dia maksud adalah situasi sulit, seperti ketika seorang Dokter harus memilih Bayi atau Ibu, atau saat seorang petugas pemadam kebakaran harus memilih siapa yang harus diselamatkan.

Buku ini terdiri dari lima topik utama, yaitu saat seseorang membuat keputusan penting menyangkut hidup orang lain, saat seseorang membuat keputusan penting menyangkut dirinya sendiri, saat Tuhan mengambil kembali hak seseorang menentukan hidupnya atau hidup orang lain, saat kita diposisikan sebagai Dokter dan terakhir saat kita menghadapi kehidupan. Meski selama karir-nya Rully tidak dikenal sebagai pengarang buku, namun menjelang senja, Rully memutuskan untuk berbagi  pengalaman hidup dalam karya tulisnya. Salah satu istilah menarik dalam buku ini adalah istilah baru “Euthanasikon”, yaitu “euthanasia” yang terjadi karena situasi dan kondisi, misal kemiskinan.

Sosok inspiratif dalam buku-nya adalah Ibu-nya yang juga berprofesi sebagai dokter dan melahirkan empat bersaudara  (dua putra dan dua putri), dimana tiga dari anak-nya juga berprofesi sebagai dokter serta  anak bungsu-nya yang dikenal sebagai seniman “mbeling” yaitu Harry Roesli. Suatu hari ibu-nya memberikan sebuah tulisan dalam bingkai yang tulisan aslinya terukir pada sebuah batu nisan di peristirahatan terakhir para Raja di Westminster Abbey tahun 1100, dengan isi sbb (saya ubah tanpa mengurangi makna);

Hasrat untuk Berubah

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
aku bermimpi ingin mengubah dunia.
Saat mulai bertambah usia,
ternyata bahwa dunia tidak kunjung berubah.


Maka cita-cita itu pun kupersempit,
dengan hanya mimpi  untuk mengubah negeriku, 
dan usia pun terus bertambah namun mimpi itu pun masih tanpa hasil.


Ketika usiaku semakin bertambah,
dan dengan semangatku yang masih tersisa,
aku bermimpi untuk mengubah keluargaku serta orang orang yang paling dekat denganku,
namun aku terlambat menyadari, mereka pun sudah terlambat berubah.


Kini aku berbaring menjelang ajal,
tiba tiba aku melihat cahaya kesadaran,
seandainya saja akulah yang pertama kali berubah,
maka dengan diriku, aku dapat menjadi panutan keluargaku,
dan dengan demikian dapat mengubah keluargaku,
dan dengan demikian dapat memperbaiki negeriku,
dan dengan demikian akhirnya aku dapat mengubah dunia.


Salah satu inspirasi penting lain dari sosok Ibu-nya adalah, mengenai pentingnya pendidikan, yaitu harta yang sebenarnya dan tidak dapat dirampas siapapun dari kita. Ketika itu dari hasil praktek Ibu-nya, mereka sangat -lah bekecukupan, meski demikian ibu-nya selalu berkata janganlah praktek dengan niat mencari harta, namun karena hanya ingin menjadi dokter yang baik (menolong sesama dan hanya karena Allah semata), karena sesungguhnya harta akan mengikutinya kemudian,  dan tidak sebaliknya. Saat perang kemerdekaan, mereka mengungsi dari Semarang ke Solo, dan meninggalkan semua yang mereka miliki dengan baju melekat di badan, namun di tempat baru dengan pendidikan dan pengetahuan yang di miliki Ibu, lagi2 keluarga mereka dapat “survive” dengan tempat praktek baru.  Ketika harus mengikuti Ayah ke Bandung, Ibu diantar dengan menggunakan kendaraan kerajaan, sehingga Ibu bergurau “Datang ke Solo sebagai Gembel dan, keluar dari Solo diantar Raja”.

Semakin kesana buku ini semakin menarik dan semakin banyak inspirasi yang kita dapat, dan semakin jelas kesan yang kuat terhadap wawasan yang dimiliki Rully, sampai akhirnya kisah ini ditutup dengan ketidak berdayaan Rully saat menolong adiknya, meski sudah dibantu kedua kakak perempuan-nya yang juga dokter. IMO, mengingat muatan tokoh Ibu yang begitu inspiratif, semestinya Rully membuat ini menjadi dua buku, karena tema Playing “GOD” nya sendiri juga mengandung sangat banyak inspirasi.

Buku yang sangat direkomendasikan dibaca. Dan review ini saya tutup dengan salah satu pesan almarhum Ibu, kepada Rully.

Tuhan berilah anakku kepasrahan untuk menerima suatu keadaan yang tidak dapat diubah-nya.
Keberanian untuk melakukan perubahan untuk keadaan yang bisa diubahnya.
Kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya
.

No comments: