Berangkat dari Bandung, sekitar jam 13:00 siang akhirnya setelah menembus kemacetan, saya sampai di kawasan Ancol sekitar jam 16:00, dan langsung menuju Pantai Carnaval melihat situasi di sekitar MEIS untuk memastikan lokasi persis acara berlangsung. Ternyata meski konser baru akan dimulai beberapa jam lagi sekitar MEIS sudah dipenuhi dengan penggemar Dream Theater, baik yang memakai atribut era Portnoy dan bahkan yang sudah memakai atribut era Mangini, saya sendiri cukup menggunakan kaos Fender, meski Petrucci memakai Music Man dan dulunya Ibanez, sementara Myung masih sebagai endorser Yamaha. Namun yang lebih parah si sulung bahkan menggunakan kaos “Gianni Graccio”, nah apa hubungan-nya ?, dengan mantap dan setengah memaksa si sulung mengatakan “Kan Petrucci berdarah Italia Pa”.
Kemudian saya dan keluarga segera check in di Mercure, keluarga ? ya karena memang motor acara ini adalah anak saya si bungsu yang meski baru kelas 6 SD dan cewek, sepertinya berbeda dengan teman2nya yang lebih menyukai Lady Gaga, Katy Perry, Bruno Mars, atau bahkan SuJu dan SNSD, si bungsu sangat menyukai Dream Theater, Pink Floyd, SymphonyX, Agents of Mercy, Porcupine Tree meski tidak pernah saya paksa. Bahkan dia merayu habis ibu-nya yang juga menggemari Dream Theater selama unsur metal-nya tidak berlebihan untuk ikut menonton.
Setelah penantian yang luar biasa, antri super panjang, sesak napas, penuh asap rokok, pemeriksaan super lambat dan tanpa penjelasan dari panitia, akhirnya kami berhasil masuk, meski si bungsu nyaris terjepit di gerbang menuju eskalator dan si sulung sempat terpisah dari rombongan entah karena kaosnya apa tidak. Didalam gedung suasana-nya seperti baru dibom, dimana mana debu dan terkesan berantakan, dan begitu masuk ke ruangan, ternyata sama sekali tidak ada pemeriksaan tiket, yang berarti seandainya ada penonton iseng ke bangku platinum ataupun gold, dapat dengan mudahnya dilakukan.
Ruangan termasuk besar dan sepertinya dapat menampung sekitar 8000 penonton, udara cukup dingin, namun bangku2 sangat berdebu, dan dari kursi yang kami duduki pemandangan ke panggung sangat lah jelas. Tak lama kemudian muncul seorang gitaris yang memainkan beberapa lagu akustik dengan merangkap semua fungsi perkusi, bas, melodi dan ritem, meski bermain dengan cukup menarik, saat beliau meletakkan gitar dan penonton bertepuk tangan lega mengira Dream Theater segera masuk, namun berubah menjadi “huuu” yang panjang ketika ternyata ybs hanya mengganti gitar untuk memainkan lagu lainnya. Setelah sekitar empat lagu akhir-nya pada jam 21:00 Dream Theater pun masuk.
Didahului sampling komposisi "Dream Is Collapsing" nya Hans Zimmer dalam film Inception dan animasi para personil Dream Theater, maka pertunjukan pun dimulai. Tata cahaya benar benar menakjubkan, sayang-nya sound system terdengar pecah dari tempat duduk saya, Dream Theater pun langsung menggebrak dengan suara sendawa yang mengawali “Bridges in The Sky”, disisipi dua lagu akustik Silent Man dan Beneath The Surface, solo drum yang ganas oleh Mangini dalam kandang penuh dengan cymbal, sekaligus membuktikan dia layak menggantikan Portnoy dan ditutup dengan “Pull Me Under" setelah para personil pura2 turun panggung. Secara set list, track yang dimainkan nyaris mewakili semua album Dream Theater, bahkan mulai dari album pertama era Charlie Dominici tepatnya “When Day and Dream Unite” yang diwakili oleh track “A Fortune in Lie”, dari era Kevin Moore album “Images and Words” dengan track “Surrounded” dan “Pull Me Under”, track 6:00 dari album “Awake” dan masih di akhir era Kevin Moore, lalu track “Spirit Carries On” dari album “Scenes From a Memory”, track “Through Her Eyes” yang dimainkan hanya oleh Rudess dan Petrucci, track “The Root of All Evil” dari album “Octavarium” meski didominasi track2 dari album terakhir mereka seperti “Breaking All Illusions”, “Outcry”, “Build Me Up Break Me Down”, dll.
Anak2 muda didepan saya head banging ketika track2 “A Dramatic Turn of Events” dimainkan, sebaliknya diam ketika track album lama dimainkan, namun sebaliknya pria tua disebelah saya mengangguk angguk ketika track2 lama seperti “Surrounded” dimainkan. Namun mereka akhirnya bisa mengangguk angguk berbarengan ketika “Spirit Carries On” membahana dan berhasil menghubungkan kedua generasi penggemar Dream Theater. Berkarya selama 25 tahun, terlihat dari dominasi penonton berusia mapan, namun tetap terlihat beberapa anak SD dan bahkan sepertinya TK.
Hal menarik dalam konser ini adalah layar proyeksi berbentuk tiga buah kotak tiga dimensi, yang kalau diperhatikan baik2 sesuai analisa anak saya si sulung, dengan membuang tiga garis penghubung dalam kotak, maka akan berbentuk segi enam, sehingga interpretasi simbol di belakang panggung dapat diartikan sebagai “666”, hemm aneh juga ya. Sebenarnya dalam album sebelumnya memang kita cukup sering melihat simbol “The All Seeing Eye” yakni cover “Train of Thought” dan cover “Black Cloud and Silver Linings” juga “Jangka dan Mistar Siku” (bentuk lain dari dua buah segi tiga bertindihan alias sacred sextum) nya Freemason di antara syair “Rite Of Passage” di album terakhir mereka bersama Portnoy , dan simbol2 aneh lainnya. Dalam hal ini tentu saja, adalah tugas kita untuk berhati-hati, meski harus diakui, bahwa hal ini belum tentu berhubungan dengan para personil Dream Theater, dan bisa saja lebih ke team desain visual mereka, karena seperti yang kita ketahui Petrucci adalah seorang katolik yang taat dalam kehidupan agama-nya, dan lirik2 mereka seperti dalam “Spirit Carries On” mengandung makna yang dalam tentang, dari mana kita berasal, kemana kita pergi dan bahwa hidup sangatlah singkat.
3 comments:
Great Concert but very poor EO.
Jadi khawatir DT nya apa gak kaget liat kondisi gedung kayak gitu ya :)
Malu jadinya kita :(
iya sih, tetapi mudah2an, antusiasme fans dapat mengobati kekecewaan mereka :)
wah keren banget waktu liat konsernya. akustiknya ngena banget. tapi jujur tempatnya kurang memadai EOnya bilang namanya juga tempat baru. pas pull me under dimainkan serasa zaman SD. mantap dah
Post a Comment