Jika membaca The Kite Runner, perasaan kita hanyut, hati kita menangis dan jantung berdebar debar, sebaliknya ATSS mengalir begitu saja seakan akan tokoh2nya berjarak dengan kehidupan kita. Ini adalah karya kedua Hosseini, yang meski masih mendapatkan predikat “International Best Seller” namun saya rasa berbeda jauh dengan The Kite Runner.
Masih mengangkat tema Afghanistan, dan kali ini disela sela cerita kita juga jadi familier dengan nama2 tokoh Mujahiddin yang saling bertempur satu sama lain setelah Rusia pergi begitu saja meski masih menempatkan presiden boneka yaitu Najibullah. Namun Najibullah yang mendadak soleh setelah sebelum-nya disokong oleh organisasi komunis, gagal untuk terus bertahan. Lalu muncullah tokoh2 seperti Massoud, Hekmatyar, si Jenderal plin plan Dostum, serta Rabbani. Lalu terjadilah tembak menembak, penjarahan , pemerkosaan, hujan roket, pria2 yang petantang petenteng dengan kalashnikov ditangan, dan tentu saja pengungsian besar2an.
Pad awalnya kita kebingungan dengan tokoh Mariam, namun meski belum cukup dekat dengan-nya lagi2 muncul tokoh baru Laila, dan akhirnya bagaimana Mariam dan Laila bertemu sebagai istri pertama dan kedua seorang tukang sepatu kejam dan picik bernama Rasheed. Kita dikenalkan dengan Herat, Kabul sebagai kota2 yang mewakili latar belakang Mariam dan Laila.
Tak jelas benar apa benang merah yang ingin disampaikan oleh Hosseini, apakah hanya bercerita begitu saja, kekecewaan bagaimana negara seperti Afghanistan menginterpretasikan agama dan memperlakukan wanita, kekejaman perang, semuanya bercampur menjadi satu. Sampai dengan setengah buku, cerita-nya berjalan dengan lamban, dan nyaris saja saya tinggalkan.
Namun setelah 4/5 buku habis, mendadak buku ini menjadi menarik kembali setelah. Menyatunya karakter Mariam dan Laila dalam menghadapi tekanan Rasheed suami mereka, lahirnya anak kedua Laila dan kali ini benar2 keturunan Rasheed, kembalinya Tariq lelaki berkaki kayu dari masa lalu Laila.
Lalu datanglah Taliban, menghancurkan semua Mujahiddin kecuali Massoud yang akhirnya meminta bantuan pada Amerika dan Eropa. Namun Taliban tak kurang keras-nya melarang nyaris semua ekspresi seni, melarang sekolah bagi anak2 perempuan, termasuk hancurnya arca raksasa buddha bamiyan dan kehidupan akhirnya kembali menjadi suram di Afghanistan.
Cara Hosseini menulis dengan perbandingan sangat menarik, seperti ketika Mariam akhirnya menjalani hukuman mati oleh Taliban, Hosseini menulis saat2 Mariam harus menanda tangani dokumen persetujuan hukuman mati karena membunuh suaminya Rasheed, menyebabkan ia ingat terakhir kali menanda tangani surat pernikahan 27 tahun yang lalu saat menikahi Rasheed.
Semua kata2 yang ditulis Hosseini seakan merupakan kerinduan-nya pribadi terhadap tanah kelahiran, alam-nya, bahasa-nya, tanaman serta pohon2nya, makanan-nya, dan segala-nya.Hosseini seakan akan menemukan kembali kekuatan tulisan-nya di saat2 buku ini mendekati akhir, dan meberikan "pukulan" kuat jauh ke dalam hati pembaca-nya. Akhir kata, meski tidak semua bagian-nya semenarik The Kite Runner, buku ini ditutup dengan sangat indah, sebagaimana kenangan tentang Mariam selalu dan selamanya ada di hati Laila.
Masih mengangkat tema Afghanistan, dan kali ini disela sela cerita kita juga jadi familier dengan nama2 tokoh Mujahiddin yang saling bertempur satu sama lain setelah Rusia pergi begitu saja meski masih menempatkan presiden boneka yaitu Najibullah. Namun Najibullah yang mendadak soleh setelah sebelum-nya disokong oleh organisasi komunis, gagal untuk terus bertahan. Lalu muncullah tokoh2 seperti Massoud, Hekmatyar, si Jenderal plin plan Dostum, serta Rabbani. Lalu terjadilah tembak menembak, penjarahan , pemerkosaan, hujan roket, pria2 yang petantang petenteng dengan kalashnikov ditangan, dan tentu saja pengungsian besar2an.
Pad awalnya kita kebingungan dengan tokoh Mariam, namun meski belum cukup dekat dengan-nya lagi2 muncul tokoh baru Laila, dan akhirnya bagaimana Mariam dan Laila bertemu sebagai istri pertama dan kedua seorang tukang sepatu kejam dan picik bernama Rasheed. Kita dikenalkan dengan Herat, Kabul sebagai kota2 yang mewakili latar belakang Mariam dan Laila.
Tak jelas benar apa benang merah yang ingin disampaikan oleh Hosseini, apakah hanya bercerita begitu saja, kekecewaan bagaimana negara seperti Afghanistan menginterpretasikan agama dan memperlakukan wanita, kekejaman perang, semuanya bercampur menjadi satu. Sampai dengan setengah buku, cerita-nya berjalan dengan lamban, dan nyaris saja saya tinggalkan.
Namun setelah 4/5 buku habis, mendadak buku ini menjadi menarik kembali setelah. Menyatunya karakter Mariam dan Laila dalam menghadapi tekanan Rasheed suami mereka, lahirnya anak kedua Laila dan kali ini benar2 keturunan Rasheed, kembalinya Tariq lelaki berkaki kayu dari masa lalu Laila.
Lalu datanglah Taliban, menghancurkan semua Mujahiddin kecuali Massoud yang akhirnya meminta bantuan pada Amerika dan Eropa. Namun Taliban tak kurang keras-nya melarang nyaris semua ekspresi seni, melarang sekolah bagi anak2 perempuan, termasuk hancurnya arca raksasa buddha bamiyan dan kehidupan akhirnya kembali menjadi suram di Afghanistan.
Cara Hosseini menulis dengan perbandingan sangat menarik, seperti ketika Mariam akhirnya menjalani hukuman mati oleh Taliban, Hosseini menulis saat2 Mariam harus menanda tangani dokumen persetujuan hukuman mati karena membunuh suaminya Rasheed, menyebabkan ia ingat terakhir kali menanda tangani surat pernikahan 27 tahun yang lalu saat menikahi Rasheed.
Semua kata2 yang ditulis Hosseini seakan merupakan kerinduan-nya pribadi terhadap tanah kelahiran, alam-nya, bahasa-nya, tanaman serta pohon2nya, makanan-nya, dan segala-nya.Hosseini seakan akan menemukan kembali kekuatan tulisan-nya di saat2 buku ini mendekati akhir, dan meberikan "pukulan" kuat jauh ke dalam hati pembaca-nya. Akhir kata, meski tidak semua bagian-nya semenarik The Kite Runner, buku ini ditutup dengan sangat indah, sebagaimana kenangan tentang Mariam selalu dan selamanya ada di hati Laila.
No comments:
Post a Comment