Meski penggemar berat karya Yoshikawa seperti Musashi, saya baru menyadari buku ini, baru merupakan buku kedua karya Yoshikawa yang saya baca. Sepertinya setelah menyelesaikan Uesugi Kenshin, saya harus segera menyelesaikan Taiko, yang sudah nangkring di koleksi saya sejak cukup lama.
Berbeda dengan Musashi yang antara sejarah dan fiksi terlihat begitu sejalan, UK malah sebaliknya. Yoshikawa di pertengahan buku terlihat ragu menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi antara Takeda Shingen dan Uesugi Kenshin. Keraguan ini akhirnya membuat Yoshikawa memasukkan beberapa versi dari sejarah yang terjadi, sehingga membuat buku ini lebih mirip sejarah di banding fiksi.
Apa yang sebenarnya membuat Yoshikawa menulis kisah ini ? Saya rasa penyebabnya adalah persaingan Shingen dan Kenshin sebagai dua daimyo legendaris yang akhirnya memuncak pada peperangan di Gunung Saijo atau lebih dikenal dengan Perang Kawanakajima. Uniknya strategi yang dipilih Kenshin untuk menaklukkan Shingen adalah dengan tanpa strategi, di posisi yang tidak strategis, diderah musuh dan dengan perbekalan yang seadanya.
Tak tahan menebak nebak terlalu lama maksud Kenshin, Shingen membagi pasukan, menjadi pasukan penyerbu dan pasukan penyergap jika Kenshin kabur, namun saat bersamaan, Kenshin justru menyerang duluan ke markas inti, dengan menyiapkan pasukan lapar dan perbekalan minim agar memudahkan gerak cepat. Kenshin bahkan berhasil membunuh sebagian besar jendral Shingen sekaligus melukai Shingen secara langsung. Sayangnya ketika pasukan penyergap Shingen kembali, situasi jadi berbalik. Kenshin yang pasukan-nya kalah jumlah justru jadi babak belur, jika saja serangan kilatnya dapat membunuh Shingen sudah pasti ini akan jadi kemenangan yang luar biasa.
Sayangnya, rivalitas kedua daimyo legendaris ini justru tidak berakhir di medan perang, dan mengakhiri hidupnya saat sakit. Namun saat rakyat Shingen banyak yang menderita karena pasokan garam yang tersendat, Kenshin justru membiarkan transaksi garam di perbatasan, karena respek-nya pada Shingen. Kenshin juga berterima kasih pada rival-nya, karena dengan memiliki musuh yang kuat menyebabkan Kenshin dapat terus menerus melatih diri agar jadi lebih baik. Kenshin juga sangat kehilangan ketika mendengar Shingen pergi untuk selama-nya.
Disinggung juga kehidupan Kenshin yang memilih membujang, menekuni Zen, menekuni puisi dan menggemari alat musik, bahkan sekalipun sedang di medan perang. Buku ini lagi2 salah satu buku yang mengangkat keindahan dari seni perang. Akhir kata meski bukan karya terbaik Yoshikawa, tetap ada hal2 menarik dalam buku ini dan riset sejarah yang mendetail yang memang merupakan kelebihan Yoshikawa.
Berbeda dengan Musashi yang antara sejarah dan fiksi terlihat begitu sejalan, UK malah sebaliknya. Yoshikawa di pertengahan buku terlihat ragu menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi antara Takeda Shingen dan Uesugi Kenshin. Keraguan ini akhirnya membuat Yoshikawa memasukkan beberapa versi dari sejarah yang terjadi, sehingga membuat buku ini lebih mirip sejarah di banding fiksi.
Apa yang sebenarnya membuat Yoshikawa menulis kisah ini ? Saya rasa penyebabnya adalah persaingan Shingen dan Kenshin sebagai dua daimyo legendaris yang akhirnya memuncak pada peperangan di Gunung Saijo atau lebih dikenal dengan Perang Kawanakajima. Uniknya strategi yang dipilih Kenshin untuk menaklukkan Shingen adalah dengan tanpa strategi, di posisi yang tidak strategis, diderah musuh dan dengan perbekalan yang seadanya.
Tak tahan menebak nebak terlalu lama maksud Kenshin, Shingen membagi pasukan, menjadi pasukan penyerbu dan pasukan penyergap jika Kenshin kabur, namun saat bersamaan, Kenshin justru menyerang duluan ke markas inti, dengan menyiapkan pasukan lapar dan perbekalan minim agar memudahkan gerak cepat. Kenshin bahkan berhasil membunuh sebagian besar jendral Shingen sekaligus melukai Shingen secara langsung. Sayangnya ketika pasukan penyergap Shingen kembali, situasi jadi berbalik. Kenshin yang pasukan-nya kalah jumlah justru jadi babak belur, jika saja serangan kilatnya dapat membunuh Shingen sudah pasti ini akan jadi kemenangan yang luar biasa.
Sayangnya, rivalitas kedua daimyo legendaris ini justru tidak berakhir di medan perang, dan mengakhiri hidupnya saat sakit. Namun saat rakyat Shingen banyak yang menderita karena pasokan garam yang tersendat, Kenshin justru membiarkan transaksi garam di perbatasan, karena respek-nya pada Shingen. Kenshin juga berterima kasih pada rival-nya, karena dengan memiliki musuh yang kuat menyebabkan Kenshin dapat terus menerus melatih diri agar jadi lebih baik. Kenshin juga sangat kehilangan ketika mendengar Shingen pergi untuk selama-nya.
Disinggung juga kehidupan Kenshin yang memilih membujang, menekuni Zen, menekuni puisi dan menggemari alat musik, bahkan sekalipun sedang di medan perang. Buku ini lagi2 salah satu buku yang mengangkat keindahan dari seni perang. Akhir kata meski bukan karya terbaik Yoshikawa, tetap ada hal2 menarik dalam buku ini dan riset sejarah yang mendetail yang memang merupakan kelebihan Yoshikawa.
No comments:
Post a Comment