Wednesday, December 30, 2015

Jelajah Sumatera Part #8 dari 10 : Menuju Bengkulu


Tanggal: 24/Des/2015

Target : 

  • Rumah Makan Pagi Sore Lubuk Linggau – Jalan Ahmad Yani, Lubuk Linggau
  • Mie Rumoh Atjeh – Jalan Sudirman, Bengkulu  
  • Rumah Pengasingan Bung Karno – Jalan Soekarno Hatta, Bengkulu.
  • Benteng Fort Marlborough – Jalan Kampung Cina, Bengkulu
  • Rumah Fatmawati – Jalan Fatmawati, Simpang Limo, Bengkulu
  • Masjid Jami Bengkulu Rancangan Bung Karno – Jalan Soeprapto
  • Pempek Cek Toni – Jalan P. Tendean, Bengkulu
  • Pasar Anggut Atas – Kawasan Simpang Limo
Penginapan 

  • Samudera Dwinka - Jalan Jend. Sudirman 
Kondisi Jalan

  • Total jarak : 703 km / 12 Jam 
  • Via Lubuk Linggau (Lintas Tengah), pada beberapa ruas sangat mulus dan mobil bisa dipacu sampai 140 km/jam, namun rute Lubuk Linggau ke Bengkulu berkelok kelok dan sempit serta di beberapa bagian terjadi perbaikan jembatan yang menyebabkan satu jalur di pakai bergantian. Rute alternatif lewat pantai barat, namun kami tidak banyak mendapatkan informasi situasi jalan, sementara lewat Lubuk Linggau meski lebih jauh 200 km, namun lebih cepat sampai sekitar 1 jam. 


Setelah meninggalkan hotel Sofyan Inn kali ini kami pun meninggalkan Padang menuju Bengkulu. Melintasi Padang,  jalanan sangat mulus, di beberapa tempat saya bisa memacunya sampai dengan 140 km per jam. Kali ini kami melewati lintas tengah, meski selisih jaraknya dengan Pantai/Lintas Barat sekitar 200 km, namun karena jalan yang lebih mulus secara estimasi kami bisa menempuhnya dengan sekitar 1 jam lebih cepat. Artinya kami bisa mengurangi total jarak Lintas/Pantai Barat yang memang masih misterius.



Sekitar jam 12, di daerah Gunung Medan, Dharmasraya kami memutuskan berhenti di sebuah restoran bernama Nuansa, sayang sekali lalatnya luar biasa banyak. Saat kami pertama kali berhenti, kami satu-satunya mobil namun saat beranjak pergi jumlah mobil yang merapat sudah nyaris sepuluh mobil. Saya jadi ingat tulisan Bondan Winarno di rubrik “Kiat” majalah Tempo mengenai trik seorang pemilik restoran baru, dimana dia  menempatkan beberapa mobil pemancing untuk mengundang tamu yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan efek psikologis dimana seseorang biasanya cenderung memilih tempat makan yang lebih ramai. Untuk makan disini kami menghabiskan Rp. 171.000, anehnya para pelayannya agak tidak perduli dengan pesanan khusus kami, Dendeng Balado tambahan sebanyak 2 porsi yang kami pesan meski telah 3x memberitahu pelayan, sampai kami berangkat pergi tak juga dikeluarkan.  




Lalu kami melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya seperti biasa mampir di penjual durian di sepanjang jalan, dan ternyata ini merupakan durian terenak yang pernah kami coba sepanjang jalan. Menjelang Lubuk Linggau jalan semakin mulus saja meski tidak terlalu lebar. 

Akhirnya sekitar jam 16:00 kami sampai di Rumah Makan Pagi Sore, hidangannya unik termasuk Sop Iga dan Mie Baso, rasanya jarang-jarang ada masakan seperti ini di Rumah Makan Padang. Di bagian belakang mengalir sungai yang cukup besar, dan Rumah Makan ini di desain dengan baik dan terkesan ala resort. Mungkin ini Rumah Makan terbesar dan terindah yang kami temui sepanjang jalan. Di sini kami memesan Gulai Ayam, Gulai Telor Puyuh, Telur Dadar, Sop Iga, Iga Bakar, Bakso, Sayur Pakis Hijau (ini yang memang sedap), dan dengan minuman Teh Susu, total yang harus kami bayar adalah Rp. 336.000. 


Lalu kamipun melanjutkan sekitar 140 km sisa perjalanan menempuh jalan yang berkelok kelok dan sempit, serta dibeberapa bagian harus melewati jembatan kayu. Menjelang Bengkulu ada lokasi bernama Curup, di kedua sisi jalan banyak sekali penjual durian. Namun kalau anda lebih memilih membelinya di Bengkulu, maka tempat yang konon kabarnya banyak menjual durian adalah Kampung Bali. 



Sesampainya di Bengkulu  menjelang jan 23:00 kami menuju Rumoh Atjeh yang buka 24 jam di depan Hotel Splash yang direkomendasikan oleh sahabat saya Husen sebagai Mie Atjeh yang terenak di Indonesia. Sejujurnya saya bukan penggemar Mie Atjeh yang biasanya sangat kuat di bumbu, namun memang Mie Atjeh yang ini lebih kering, bumbunya sedap dan udang-nya banyak. Di sini kami memesan 2 porsi Mie Atjeh Udang Special, 3 gelas Teh Tarik, dan 1 porsi Martabak Telor, total biaya yang harus kami keluarkan Rp. 148.000. 


Dari sini kami menuju Hotel Samudra Dwinka, kali ini kami kembali memesan tiga kamar. dan ini merupakan hotel terburuk dari semua yang sudah kami singgahi, namun datang tengah malam memang membuat kita tidak perlu berharap banyak, lagi pula lokasinya sangat strategis dan berhadapan langsung dengan Masjid Jami Bengkulu Rancangan Bung Karno. Untuk menginap disini kami membayar 3 x Rp 345.000, sehingga total Rp. 1.035.000. Melihat kamarnya yang sangat besar, seharusnya kami cukup memesan 2 kamar saja. 



Saat pagi hari mobil kami mulai menunjukkan dampak penggunaan solar busuk, mesin bergetar dan sangat terasa ketika menggunakan gigi mundur ataupun saat AC dinyalakan. Sebenarnya indikator Engine Check memang sudah menyala beberapa jam sebelumnya, kecurigaan saya adalah saat pengisian terakhir di Sumatera Barat, menjelang masuk ke Jambi saya terpaksa mencari Pertadex dalam Jerigen dan sebanyak 18 liter sudah saya guyur ke mesin.





Kami memutuskan menunda ke bengkel dan langsung menuju Benteng Fort Marlborough, berbeda dengan Fort De Kock, benteng ini didesain dengan baik, dan dari bagian atas kita bisa memantau pantai. Sekelilingnya dibuat parit yang menyulitkan penyerangan musuh.



Benteng Marlborough adalah benteng peninggalan Inggris di kota Bengkulu. Benteng ini didirikan oleh East India Company (EIC) tahun 1713-1719 di bawah pimpinan gubernur Joseph Callet sebagai benteng pertahanan Inggris. Benteng ini didirikan di atas bukit buatan, menghadap ke arah kota Bengkulu dan memunggungi samudera Hindia. Benteng ini pernah dibakar oleh rakyat Bengkulu, sehingga saat itu penghuninya terpaksa mengungsi ke Madras. Mereka kemudian kembali tahun 1724 setelah diadakan perjanjian. Tahun 1793, serangan kembali dilancarkan. Pada insiden ini seorang opsir Inggris, Robert Hamilton, tewas. Dan kemudian pada tahun 1807, residen Thomas Parr juga tewas. Keduanya diperingati dengan pendirian monumen-monumen di kota Bengkulu oleh pemerintah Inggris.



Marlborough masih berfungsi sebagai benteng pertahanan hingga masa Hindia-Belanda tahun 1825-1942, lalu  Jepang tahun 1942-1945, dan pada perang kemerdekaan Indonesia. Sejak Jepang kalah hingga tahun 1948, benteng itu manjadi markas Polri. Namun, pada tahun 1949-1950, benteng Marlborough diduduki kembali oleh Belanda. Setelah Belanda pergi tahun 1950, benteng Marlborough menjadi markas TNI-AD. Hingga tahun 1977, benteng ini diserahkan kepada Depdikbud untuk dipugar dan dijadikan bangunan cagar budaya. Semestinya Benteng Kuto Besak yang kami kunjungi saat di Palembang akan lebih baik menjadi otorisasi Depdikbud, dengan demikian masyarakat dapat belajar dari situs sejarah ini sebagaimana Fort Marlborough. 



Dari sini kami segera menuju Rumah Fatmawati, Gadis Bengkulu yang meluluhkan hati Bung Karno di Pengasingan dan akhirnya melahirkan lima anak, yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Anehnya sama sekali tidak ada penjaga, dan kami memutuskan mengambil beberapa momen termasuk saat istri duduk menggunakan mesin jahit saat membuat Bendera Indonesia.

Ibu Fatmawati yang bernama asli Fatimah lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923, merupakan putri tunggal dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Hassan Din sendiri adalah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Sedangkan Siti Chadijah merupakan keturunan Puti Indrapura keluarga raja dari kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Ibu Fatmawati menikah dengan Bung Karno pada 1 Juni 1943, setelah sebelumnya keduanya bertemu pada saat pengasingan Bung Karno di daerah Anggut Atas, Bengkulu tahun 1938-1942. Ibu Negara Indonesia ini juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih, dimana Bendera Merah Putih dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.Namun tidak dijelaskan apakah mesin jahit yang ada dalam salah satu ruangan ini yang digunakan Ibu Fatmawati, meski dari wujudnya terlihat sangat antik dan sesuai. 





Rumah ini dibangun tahun 1920 terdiri dari 2 kamar tidur dan 1 ruang tamu, alasan dibuatnya 2 kamar tidur itu karena Fatmawati hanya satu-satunya anak dari pasangan Hassan Din dan Chadijah. 


Dari sini kami menuju Rumah Pengasingan Bung Karno, dimana di bagian belakang terdapat Sumur Cinta yang diyakini sebagian orang dapat membuat usia kembali muda, alih-alih langsung cuci muka, saya malah memilih menimba, dan baru kemudian mencuci kaki dan muka dengan airnya yang terlihat sangat jernih.





Sejarahnya, setelah Soekarno diasingkan ke Ende, Flores pada 14 Januari 1934 selama 4 tahun, lalu beliau dipindahkan ke pengasingan di Bengkulu. Saat di Bengkulu lah beliau menempati rumah ini. Saat kami kesana, cukup banyak turis lokal yang datang dan menjadikan rumah ini sebagai destinasi, salah satunya ya karena pesona Sumur Cinta di belakang rumah. 

Awalnya, rumah tersebut adalah milik seorang pedagang Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng yang disewa oleh orang Belanda untuk menempatkan Soekarno selama diasingkan di Bengkulu. Soekarno menempati rumah itu pada 1938-1942.Di rumah ini terdapat barang-barang peninggalan Soekarno.Ada ranjang besi yang pernah dipakai Soekarno dan keluarganya, koleksi buku yang mayoritas berbahasa Belanda serta seragam grup tonil Monte Carlo asuhan Soekarno semasa di Bengkulu.Ada juga foto-foto Soekarno dan keluarganya yang menghiasi hampir seluruh ruangan dan yang tidak kalah menarik adalah sepeda tua yang dipakai Soekarno selama di Bengkulu.


Lalu kami menuju Pasar Anggut Atas untuk membeli beberapa oleh-oleh seperti Snack Ikan Beledang, Lempo Durian serta stiker, yang langsung saya tempel di belakang mobil melengkapi stiker Sumatera Selatan dan Riau, sayang tidak semua daerah menyediakan stiker khas. Alangkah asiknya jika Departemen Pariwisata menyediakan stiker khas seluruh propinsi dan hanya bisa dibeli di daerah tsb, sehingga menimbulkan kebanggaan bagi kita jika sudah mengunjungi semua lokasi di Indonesia.



Dari sini kami menuju Pempek Cek Toni, untuk mengisi perut serta membeli beberapa bungkus pempek untuk dibawa pulang. Karena hanya tahan dua hari di luar kulkas dan dua minggu dalam kulkas, kami tidak jadi membeli oleh pempek VICO di Palembang, sehingga Pempek Cek Toni menjadi pilihan yang lebih pas, mengingat kami segera menuju Bandar Lampung setelahnya. Sambil menunggu pesanan kami menikmati suguhan Tek Wan, Pempek Campur, Pempek Kapal Selam dan Es Kacang Merah, di sini kami harus membayar Rp 161.000. 

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/12/jelajah-sumatera-part-9-dari-10-menuju.html

2 comments:

Husni I. Pohan said...

Siap :) iya sudah lama ingin kembali ke sini, kalau ke Bangka sih sudah sering mungkin sekitar belasan kali saat ada pekerjaan di PT Timah

Admin Diku 3 said...

bagus blog dan artikel nya, mampir di blog saya, adaa refrensi dan foto tentang semua keindahan bengkulu juga.

bengkuluwonderful