Wednesday, May 10, 2017

Kuala Lumpur – Penang Part #3 dari 8 : Kawasan Perbelanjaan Bukit Bintang


Sambil menunggu Si Sulung dan Si Bungsu berkeliling di sekitar mall, saya dan istri menikmati kopi hangat dan roti panas di salah satu cafe di Sungei Wang alias Papparoti Cafe Mocha. Nikmat juga memotong roti kecil-kecil lalu sebelum dilahap dicemplungkan dulu dalam Mocha panas. Dalam perjalanan ini saya dan istri lebih memilih menemani anak-anak daripada berbelanja.

Sungei Wang masih seperti sat saya kunjungi dahulu, mirip dengan Pasar Baru, namun lebih bersih dengan gang-gang yang lebih luas. Setelahnya kami mengeksplorasi Pavilion, Si Sulung dan Si Bungsu masing-masing ingin membeli sepatu, jadi berbagai outlet sepatu di Pavillion kami singgahi, mulai dari Vans, Puma, Nike, Adidas sampai Onitsuka Tiger yang konon menurut Si Sulung digunakan Uma Thurman dalam film Kill Bill.




Di kawasan belanja ini ada banyak bangunan bernama Pavilion, kami lebih fokus pada lokasi yang berhadap-hadapan dengan Sephora. Bagi saya mall sama sekali tidak menarik, jika anda berada dalam mall seperti ini, semua outletnya tidak akan jauh beda dengan mall-mall besar di Jakarta. Saya dan istri lebih suka wisata kuliner, tempat-tempat yang memiliki sejarah, atau yang memiliki nilai artistik secara fotografi. 




Setelah malam tiba hujan pun perlahan reda, kami lalu menuju Al Amar Express, memesan Briyani Kambing dan Roti Cane plus kombinasi irisan Kambing dan Ayam Bakar yang lezat jika dinikmati malam hari. Karena porsinya yang dahsyat, maka sisanya kami bungkus dengan tambahan porsi nasi briyani untuk sarapan keesokan harinya. Total makan disini termasuk yang kami bawa untuk makan pagi keesokan harinya sekitar 200 RM.





Kembali ke hotel kami menggunakan Taksi Toyota Innova, yang ternyata supirnya berasal dari Sumatera Barat, dan karena sudah lima belas tahun kerja di Malaysia, dia berhak menjadi warga negara Malaysia. Dengan santainya dia menolak menggunakan argo meski, di badan taksinya jelas tertulis tawar menawar harga melanggar hukum. Silahkan cari taksi lain katanya, aturan tersebut tidak berlaku saat jalan macet, tegasnya. Karena kaki sudah terasa sangat penat berjalan belasan kilometer, maka kami mengalah membayar 25 RM untuk kembali ke hotel.  

Sepanjang jalan, supir berkeluh kesah akan stagnannya ekonomi Malaysia, sementara sebaliknya kami melihat jalanan ramai dengan orang-orang yang berbelanja. Dia juga mengatakan usaha di Indonesia khususnya di Medan atau Jakarta pasti akan lebih menguntungkan ketimbang di Malaysia. Saya dan istri cuma bisa saling berpandangan keheranan, apakah ini merupakan situasi beliau secara pribadi atau memang Malaysia secara keseluruhan.  

Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-4-dari-8-klcc.html

No comments: