Thursday, September 14, 2017

Jelajah Cirebon Part #5 dari 9 : Masjid Sang Cipta Rasa dan, Kuliner Sekitar Kraton dan Kraton Kasepuhan


Lalu dengan berjalan kaki kami kembali menuju lokasi parkir mobil yang memang diparkir disamping Masjid Sang Cipta Rasa. Langsung masuk masjid, sebagian anggota rombongan shalat sunat dua rakaat, sedangkan saya masuk ke bagian dalam masjid, yang harus melalui sembilan pintu kecil dan harus masuk dengan posisi membungkuk. Konon kabarnya agar setiap orang yang melalui sembilan pintu ini harus membungkuk menunjukkan penghormatan ke Sang Pencipta.
Arsitekturnya didominasi warna merah bata, dan kayu-kayu berukuran besar dengan warna gelap yang dipasang silang menyilang. Suasana di dalamnya terasa tenang dan agak gelap, serta sekaligus mistis. Nampak beberapa jamaah yang terlihat sangat khusyuk sedang shalat di bagian depan.




Konon kabarnya, masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon, yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M atau semasa dengan Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari kata "Sang" yang bermakna keagungan, "Cipta" yang berarti dibangun, dan "Rasa" yang berarti digunakan. Menurut tradisi, pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar lima ratus orang yang didatangkan dari Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Djati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Djati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid tersebut.




Konon, dahulunya masjid ini memiliki memolo atau kemuncak atap. Namun, saat adzan pitu (tujuh) salat Subuh digelar untuk mengusir Aji Menjangan Wulung, kubah tersebut pindah ke Masjid Agung Banten yang sampai sekarang masih memiliki dua kubah. Karena cerita tersebut, sampai sekarang setiap salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa digelar Adzan Pitu, yakni, adzan yang dilakukan secara bersamaan oleh tujuh orang muazin berseragam serba putih.
Setelah puas mengeksplorasi masjid, lalu kami menuju Kraton Kasepuhan yang hanya berjarak tak sampai 200 meter, namun sebelum masuk kompleks kraton, kami menikmati Tahu Gejrot dan Dawet Ayu, yang berjualan disekitar lapangan di depan Kraton. Setelah dahaga hilang, kami segera memasuki komplek kraton.




Seorang guide muda yang menawarkan bantuan, terpaksa kami tolak dengan ramah, maklum kami tidak memiliki rencana berlama-lama di sini. Pagar kraton dihiasi berbagai macam piring keramik putih dengan berbagai motif.







Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal karena sejarahnya. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo di dalamnya. Keraton Kasepuhan adalah Kerajaan Islam tempat para pendiri Cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Djati. Kereta tersebut saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.



No comments: