Akhirnya jam
13:50 setelah menempuh sekitar 6 km dari lokasi H. Apud, kami pun sampai di Gua
Sunyaragi yang terletak di lahan seluas 15 hektar, berlokasi di kelurahan
Sunyaragi, Kesambi. Lokasi ini kadang disebut Taman Air Sunyaragi atau Tamansari Sunyaragi.
Dalam Bahasa Sansekerta "Sunya" artinya adalah sepi sedangkan "Ragi"
berarti raga, sesuai tujuan Sultan Cirebon dan keluarga kerajaan yang
menjadikan tempat ini sebagai tempat beristirahat dan meditasi.
Kompleks yang
memiliki dua versi tahun pembuatan ini (1703 vs 1529) memiliki berbagai tempat
untuk berbagai kepentingan seperti pos penjaga, tempat pembuatan senjata,
tempat bersantai, tempat bertapa, tempat kelelawar, dapur, mushalla, tempat
Sultan memberikan wejangan bahkan tempat lokasi prajurit berlatih. Karena
kelengkapan ini maka Sultan saat perang dengan Belanda sempat menjadikan tempat
ini sebagai benteng, sehingga sempat dirusak oleh Belanda.
Gua Sunyaragi yang
memadukan arsitektur India/Hindu, China, Timur Tengah, dan bahkan Eropa ini dipercaya
masyarakat setempat sebagai lokasi yang berbau mistis. Misalnya keyakinan adanya lorong yang
tersambung ke Gunung Djati bahkan Arab dan China. Mengingat sejarahnya sayang
sekali belum terlihat perhatian khusus dari Pemerintahan Cirebon untuk membuat
tempat unik ini menjadi lebih nyaman bagi wisatawan, meski menurut kebanyakan pengunjung situasi saat ini jauh lebih baik dibanding masa sebelumnya saat masih dikelola kerajaan.
Setelah puas
menikmati keunikan Taman Gua Sunyaragi, kami langsung menuju lokasi Alamanis Resort, lokasi penginapan malam kedua, kira-kira 10 km dari Gua Sunyaragi, tepatnya di
kawasan Bukit Gronggong yang biasa dilewati jika mau menuju Kuningan.
Kejutan buat
kami, Alamanis Resort suasananya bagai rumah sendiri, berhalaman luas, terdiri dari
kumpulan cottage yang didesain dengan gaya klasik, pepohonan lebat, kolam dan
gentong-gentong air untuk mensiasati cuaca Cirebon yang relatif panas. Singkatnya
penampilan layaknya Desa Ubud namun berlokasi di Cirebon. Nyaris semua bahan
bangunannya menggunakan bahan-bahan tempo dulu seperti genteng tua, kusen tua, tempat
tidur tua namun disusun dengan cara yang berkelas. Dominasi hiasan kayu terlihat
dimana-mana dan sepertinya tidak ada kayu yang tidak digunakan di Alamanis Resort. Konsekuensi
menginap disini salah satunya tidak diperkenankan merokok karena akan sangat
berbahaya sekiranya terjadi kebakaran.
Setiap cottage
dikenali dengan RT dan RW, ruang pertemuan seakan akan Balai Desa, swimmimng
pool seakan akan telaga, gift shop seakan akan warung dan seterusnya dll. Jalan
yang agak besar memiliki nama jalan, sedangkan yang kecil diberi nama gang. Hanya
saja tempat ini kurang cocok bagi usia lanjut mengingat banyaknya tangga, disebabkan
kontur tanahnya di lembah perbukitan Gronggong.
Kamar mandinya
juga unik, karena salah satu sisi dindingnya relatif terbuka menghadap halaman
belakang sehingga mengingatkan saya akan Qunci Villas di Lombok. Ajaibnya
setiap cottage boleh dibilang unik, karena memiliki desain masing-masing dengan
bentuk ruangan yang tak selalu harus menyiku. Saat malam hari bunyi jangkrik
bersahut-sahutan sementara di pagi hari burung-burung menyambut setiap tamu
dengan cicitan khas. Secara lokasi
Alamanis juga relatif sangat dekat dengan gerbang tol GT Ciperna, untuk kembali ke Bandung
atau Jakarta.
No comments:
Post a Comment