Thursday, September 14, 2017

Jelajah Cirebon Part #6 dari 9 : Makam Sunan Gunung Djati dan Kuliner H. Apud


Setelah puas melihat Kraton Kasepuhan, kami langsung menuju Makam Sunan Gunung Djati yang berjarak sekitar 10 km dari Kraton Kasepuhan. Kami sampai sekitar jam 11:50 dan langsung disambut seorang pria ramah di pelataran parkir yang menawarkan bantuan sebagai guide. Kami langsung dibawa melewati rute menembus pasar. Baru saja memasuki kawasan pasar, sekumpulan pria yang menggunakan kaos bertuliskan Linmas dengan gaya setengah memaksa, meminta kami mengisi kotak sumbangan, sambil mengatakan itu kewajiban bagi setiap pengunjung.

Setelah melewati pos tersebut, lagi-lagi kami dicegat untuk dimintai sumbangan dengan setengah memaksa, dan hal ini terus menerus terjadi sampai sekitar 5 titik perhentian. Puncaknya perhentian sebelum gerbang makam, bahkan kami diminta berhenti satu persatu untuk meminta sumbangan pada masing-masing orang. Saya sempat sedikit emosi melihat cara mereka yang setengah memaksa, namun mengingat tujuan kami adalah untuk berziarah, ya kami berusaha sabar. Masuk ke dalam makam, lagi-lagi serombongan orang mengacungkan berbagai baskom dan kaleng. Istri menghitung sepintas, ada puluhan baskom dan kaleng yang diacungkan pada kami dengan gaya memaksa. Sangat menyedihkan kalau peziarah diperlakukan dengan cara seperti ini, hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terkait destinasi wisata Cirebon.




Sunan Gunung Djati (diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung) atau dikenal juga dengan nama Syarif Hidayatullah (diabadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di daerah Tangerang Selatan) atau nama  lain beliau yakni Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim (seorang penguasa mesir) dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).







Syarif Hidayatullah berada di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (Raja Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), dinobatkan menjadi Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati.

Kami hanya sampai pintu ketiga, dimana nampak banyak peziarah yang dipimpin seseorang mengalunkan doa. Hanya pada Iedul Adha sembilan pintu ke makam dibuka untuk menerima keluarga kerajaan Cirebon. Di sekitar pintu ketiga nampak puluhan makam yang menurut guide kami merupakan kerabat kerajaan. Setelah turut berdoa, kami pun meninggalkan makam dan minta tolong guide untuk mencari jalan lain,  untuk menghindari teror gerombolan peminta sumbangan. Di jalan ini kami sempat dikejar2 gadis cilik pengemis yang dengan gigihnya mengikuti kami terus menerus.









Dari sini kami langsung menuju Empal Asem dan Empal Gentong H. Apud. Kami sampai jam 12:34 saat siang terik, suasana cukup ramai, nyaris tidak ada lagi meja tersisa. Di bagian depan bau sedap asap sate sudah langsung merangsang indra penciuman. Kami langsung memesan 2 porsi Sate Kambing Muda yang belakangan menurut Si Bungsu adalah sate terenak selama hidupnya, 1 porsi Empal Asem, 3 porsi Empal Gentong dan 1 porsi Nasi Lengko, 5 Nasi Putih, 7 Es Teh Manis, dan 1 Es Teh Tawar. Agar semua bisa merasakan maka piring makanan berputar diantara kami sedangkan piring nasi tetap berada di tempatnya. Total yang harus kami bayar hanya Rp.  259.600, termasuk murah untuk porsi sebanyak dan rasa selezat ini. Makan disini menghilangkan rasa kecewa di Makam Sunan Gunung Djati.

Silahkan klik untuk membaca link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2017/09/jelajah-cirebon-part-7-dari-9-taman-goa.html

No comments: