Monday, September 24, 2018

Mengenang Kak Eli – Memulai Bisnis Katering


Setelah Mas Parno pulang dari Dusseldorf setelah bekerja setahun, maka tahun 1993, Kak Eli dan suaminya memulai bisnis katering di Bandung. Selain katering, Kak Eli juga melayani pembuatan Kue Pengantin, dengan aku sebagai fotografer pengantinnya (jika diperlukan). Disamping itu kami juga jualan Bubur Ayam di Lapangan Gasibu setiap akhir minggu, membuka stand makanan di event-event khusus, diantaranya Pasar Seni ITB, juga jika tempat kerjaku saat itu di Pusat Komputer ITB (PIKSI ITB) memiliki acara seminar teknologi. Disamping itu Kak Eli dan Mas Parno juga membuka warung Mie Bakso di halaman depan rumah Ibu. 

Beberapa event berkesan bagiku adalah pertama, Pasar Seni ITB, dimana kami untung besar karena melimpah ruahnya pengunjung, dan sampai-sampai membentuk antrian yang panjang.  Pengunjung bahkan langsung duduk meski meja belum sempat dibersihkan. Sayang kualitas pemasok untuk sebagian daging ayamnya kurang bagus, karena ada indikasi disuntik dengan air, yang terbukti saat digoreng terjadi sangat banyak letusan, agak hambar dan cenderung memerlukan waktu yang lama saat dimasak. Keberhasilan di event ini sangat banyak memompa semangat kami dalam bisnis ini. 

Sepulang dari event, masih banyak stok ayam tersisa, kami goreng ulang sampai kering dan makan beramai-ramai di rumah selama beberapa hari. Ternyata bumbu tepung racikan Mas Parno tak kalah dengan ayam gireng tepung di restoran franchise terkemuka. Agar makan tambah seru, aku beli beberapa lusin softdrink  

Pengalaman berkesan kedua, adalah Kue Pengantin yang dipesan salah satu teman kuliah wanita. Saat proses pengantaran, karena sangat jeleknya jalan dari rumah kami di Kawasan Awiligar ke Kawasan Jalan Gagak menyebabkan Kue Pengantin cacat berat. Hampir saja konstruksi kue bertingkatnya rubuh, dan walaupun akhirnya sampai di lokasi acara, namun kondisi kuenya bisa dikatakan cukup menyedihkan. Namun penderitaan pengantin tersebut masih bertambah, setelah aku pun salah set parameter blitz, yang mengakibatkan nyaris seluruh hasil pemotretan ku kekurangan cahaya. Kalau mengingat situasi saat itu, malunya masih terasa hingga kini. Koreksi cahaya di masa itu cukup sulit, karena masih menggunakan film negatif. 

Pengalaman berkesan ketiga, adalah saat pulang jualan Bubur Ayam dari Gasibu dengan Mas Parno, mobil yang saat itu sudah berusia 24 tahun, mendadak turun lagi karena sudah tak kuat menanjak. Terpaksa ambil ancang-ancang dari jauh, barulah mobil VW Variant 1968 peninggalan Uwa Gandapura (Maradjo Pohan) yang dibeli ayah dari uwa perempuan tsb bisa kembali naik. Belakangan, baru diketahui penyebabnya, ternyata koplingnya mengalami slip dan karena sudah sangat menipis maka harus segera diganti. 

Kurang lebih setahun setelah bisnis katering ini berjalan, Mas Parno bekerja sebagai Chef di Restoran Kintamani di bilangan jalan Lombok. Selama setahun bekerja disana, alhamdulillah katering kebagian order untuk menyediakan makanan karyawan. Sayangnya karena order katering yang tidak stabil, tahun 1994 Kak Eli dan Mas Parno memutuskan untuk berhenti dari bisnis katering dan dengan Viko yang saat itu masih menjadi satu-satunya anak mereka, berangkat ke Hotel Purnama, Batu, Jawa Timur,  untuk memulai karir dan kehidupan baru di sana. 

No comments: