Dalam keluarga ku ada semacam tradisi membuat catatan harian, yang awalnya diinisiasi oleh Ibu yang memang suka sekali bercerita. Dari empat bersaudara seingatku, Kak Eli, Bang Ucok dan aku akhirnya ketularan juga membuat catatan harian. Namun selain hobi tersebut, aku juga memiliki hobi sampingan, yakni membaca catatan harian mereka. He he jelas lah ini hobi yang kurang tepat, karena sama saja dengan membuka aib Sang Penulis, namun harus diakui isi catatan harian mereka menarik sekali.
Catatan ini biasanya ditulis menggunakan buku agenda tebal yang memang sering diperoleh ayah dari perusahaan tempatnya bekerja dan juga perusahaan partner (umumnya buku agenda yang dirilis oleh bank). Bukunya tebal , disampul dengan baik dan seringkali sudah disusun sesuai dengan format tanggal.
Catatan harian Ibu, cenderung membuat sedih dan muram ibarat karya progressive rock nya Steven Wilson. Kenapa ? karena sepertinya Ibu lupa menulis saat senang dan sebaliknya nyaris selalu menulis di kala sedih. Jadi tidak mudah secara psikologis membaca catatan harian Ibu. Catatan Kak Eli sebaliknya penuh dengan kisah asmara, layaknya cerpen di Majalah Gadis (dan ilustratornya Si Jon yang sangat terkenal di masa tsb). Namun catatan harian terbaik, aku kira adalah milik Bang Ucok, yang lengkap dengan petualangan ala Tom Swayer dan Huckleberry Finn, dan juga dengan bumbu kisah dewasa (meski imajinasi semata).
Belakangan aku baru tahu, kenapa Ibu mendorong kami anak-anaknya membuat catatan harian, ternyata ini bagian dari cara Ibu mengontrol perilaku kami saat jauh dari rumah. Catatan harian Ibu dan Kak Eli, dapat diakses dengan mudah, mungkin karena mereka juga tidak bermaksud merahasiakannya. Sebaliknya Catatan Harian Bang Ucok, memang tidak mudah ditemukan.
Namun pucuk dicinta ulam tiba, saat kami sekeluarga pindah ke Denpasar, Bali, dan menetap di Jalan Gadung, bilangan Kreneng sebelum pindah untuk keduakalinya ke Sanglah. Aku dan Kak Eli menemukan Catatan Harian Bang Ucok di Gudang samping rumah, tepatnya di antara peti-peti barang pindahan yang belum sempat dibereskan oleh ayah. Berdua di keremangan sore aku dan Kak Eli cekikikan membaca catatan tersebut khususnya petualangan Bang Ucok dengan sahabatnya Samsuri yang terobsesi dengan cerita-cerita 18 thn keatas.
Kejutan buat kami fantasi kebablasan Samsuri, lelaki bermata sipit, putih, bertubuh kecil serta kurus yang memang sangat dekat dengan Bang Ucok, sepertinya memang sangat menginspirasi Bang Ucok. Meski kuat dugaan bahwa ini bukanlah kisah sebenarnya melainkan hanya fantasi berlebihan dari Samsuri. Namun tak urung membuat aku dan Kak Eli berdebar-debar membaca kisah yang tertulis di buku tersebut. Belakangan Bang Ucok sangat marah campur malu setelah tahu aku dan Kak Eli membaca catatan hariannya. Entah dimana kini catatan tersebut kiranya berada.
No comments:
Post a Comment