Ibu pernah bercerita kalau dia tidaklah mahir memasak saat menikah, namun karena Ayah selalu memuji masakan Ibu, dengan berjalannya waktu Ibu pun memiliki kepercayaan diri yang besar. Lambat laun Ibu mulai bisa mengklaim beberapa menu spesial seperti Soto Babat yang memilki ciri khas kuah kekuningan dengan babat yang berwarna putih bersih (sebelumnya direbus oleh Ibu dengan air kapur) dan Sop Buntut ibu yang kuahnya relatif bening (karena endapan lemaknya dibuang setelah proses pendinginan) dengan daging yang empuk (karena direbus semalaman dengan api kecil). Lambat laun, Ayah menjadi sosok sangat fanatik dengan masakan Ibu.
Ketika kami di Bandung, saat Ibu berhalangan dan pergi keluar kota untuk waktu yang lama, sekitar tahun 1981/1982, Kak Eli berusaha mengambil peran Ibu, sayangnya Ayah yang memang berkarakter keras, langsung menyemprot hasil masakan Kak Eli karena belum memiliki kualitas seperti Ibu. Trauma dengan reaksi ayah, sempat membuat semangat Kak Eli memasak padam untuk waktu yang cukup lama.
Kenapa Ibu berhalangan ?, seingatku karena Ibu harus ke Surabaya dalam waktu yang cukup lama untuk menjaga empat anak paman yang sedang beribadah haji atas izin ayah. Kak Eli lah yang ditugaskan menangani urusan rumah tangga, selama kepergian Ibu.
Menu pagi akhirnya bisa kami buat lebih mudah dengan roti tawar, berbagai selai (khususnya kacang dan strawberry) dan juga meses serta mentega. Menu makan siang di sekolah atau dikantor, sedangkan menu makan malam cukup yang mudah-mudah saja seperti ikan kembung goreng atau ayam goreng ditambah rebusan sayur dan sambal terasi atau sesekali sarden. Saat ada waktu luang Kak Eli mencoba memasak berbagai kue, yang menurut aku lezat. Berbeda dengan Ayah, bagiku masakan Kak Eli meski sederhana sih enak-enak saja. Tak heran kelak Kak Eli mengambil jurusan pastry saat kuliah di NHI.
Pergi ke pasar untuk berbelanja menjadi hal yang aku dan Kak Eli sering lakukan. Kebetulan lebih mudah mengatur waktunya karena pada saat itu (dan selama dua tahun) kami pergi dan pulang sekolah selalu bersama dan memang bersekolah di komplek sekolah yang sama (Badan Perguruan Indonesia di Jalan Burangrang). Saat menjelang "berpulang" di Agustus 2018, kemampuan Kak Eli meningkat pesat, dan sudah mulai bisa membuat gule ayam yang tak kalah lezatnya dengan buatan Ibu.
Empat hari sebelum meninggal, aku masih ingat Kak Eli memasak Sambal Ikan Sale Goreng khas Tapanuli Selatan, saat aku mengunjungi Ibu. Bersama-sama tahu goreng dan rebusan sayur, dia menatapku dengan penuh kasih dan bercerita tentang banyak hal. Sekitar setahun lalu saat keluarga besar berkumpul menjelang Iedul Fitri, kekuatiran ku akan tidak adanya penerus Ibu dalam soal makanan ciri khas keluarga, langsung menghilang. Ternyata memasak ala Ibu, sudah bisa dijalankan Kak Eli dengan baik. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, Kak Eli malah “pergi” mendahului Ibu.
No comments:
Post a Comment