Rasanya tidak aneh kalau Iwan mengakui bahwa dirinya adalah pencinta sastra semacam Dostoyevsky sang novelis Rusia, karena buku yang dia tulis menggunakan style yang tidak umum seakan akan merupakan wawancara imajiner dengan sosok-nya ketika kecil dan masih berseragam putih merah. Dan duet kedua tokoh beda masa ini, menggiring pembaca dengan cara flashback sambil secara paralel masih bercerita tentang kekinian, sehingga akhirnya kita jadi jelas kenapa Iwan berada di New York. Bagi yang terbiasa membaca biografi dengan model linier, bisa jadi agak sedikit kaget dengan cara Iwan bercerita. Cara bercerita ini mengingatkan saya akan salah satu film besutan M.Night Shyamalan dan dibintangi Bruce Willis serta Haley Joel Osment yang pernah saya tonton beberapa tahun yang lalu, tepatnya “The Sixth Sense”, dimana salah satu tokoh yang kita kira manusia, di akhir film ternyata sosok “halus”.
Meski tidak setebal ataupun bahkan bersambung seperti Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, tetapi buku yang terbilang tipis ini mampu menjelaskan secara komprehensif tentang sosok Iwan. Salah satu hal paling unik di buku ini adalah obsesi Iwan melanglang buana justru dipicu oleh hal yang sangat sederhana, yaitu ingin memiliki kamar tidur sendiri, maklum kondisi ekonomi Ayah Iwan yang hanya seorang supir angkutan jebolan kelas 2 SMP dan sosok Ibu yang tidak tamat SD, tinggal di rumah yang sangat sempit 6x7 meter dengan total tujuh anggota keluarga.
Pesan Iwan dalam buku ini juga sederhana tetapi mengena, yaitu bersungguh sungguhlah dalam bekerja dan selalu menjalin hubungan baik dengan sesama, hal ini tentu didasarkan pada kesempatan pertama untuk bekerja di Jakarta tepatnya Nielsen didapat Iwan dari seorang kenalan di Warung Nasi, serta kesempatan kedua bagi Iwan untuk berkarir di New York sampai akhirnya sepuluh tahun kemudian menjabat salah satu posisi Direktur di Nielsen New York, justru dari informasi sosok yang “tidak disukai” di Kantor, dan ternyata memperhatikan kualitas Iwan secara diam2.
Siapa tokoh paling penting bagi Iwan ? dalam buku ini Iwan menggambarkan Ibu hampir disetiap Bab, baik petuah2nya, cara hidupnya, ketabahannya, dan bagi Iwan tanpa Ibu sudah pasti dia tersesat. Dengan cinta, motivasi dan doa, sosok Ibu selalu memberikan dorongan yang tidak habis habis. Ibu juga selalu berusaha agar setiap kali makanan yang dimasak pas dan tidak bersisa, serta Ibu juga dilukiskan Iwan sebagai sosok yang ahli membuat dadar supir tipis bagi tujuh anggota keluarga dengan potongan ala pizza.
Membaca buku ini rasanya sangat dekat bagi saya secara pribadi, karena ketika Iwan melukiskan orang2 berdasi di Sudirman, yang merupakan obsesi Iwan, saya mendadak menyadari kalau saya sendiri juga bekerja di kawasan yang sama (meski jarang berdasi), begitu juga ketika Iwan melukiskan kehidupan di Batu, yang juga cukup akrab dengan saya, karena beberapa kali berlibur kesana mengunjungi kakak perempuan saya yang memang berdomisili di Batu. Salut juga buat keputusan Iwan yang di puncak karir justru kembali ke Batu, demi ikut terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat anak2 yang punya potensi namun memiliki keterbatasan.
Meski tidak setebal ataupun bahkan bersambung seperti Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, tetapi buku yang terbilang tipis ini mampu menjelaskan secara komprehensif tentang sosok Iwan. Salah satu hal paling unik di buku ini adalah obsesi Iwan melanglang buana justru dipicu oleh hal yang sangat sederhana, yaitu ingin memiliki kamar tidur sendiri, maklum kondisi ekonomi Ayah Iwan yang hanya seorang supir angkutan jebolan kelas 2 SMP dan sosok Ibu yang tidak tamat SD, tinggal di rumah yang sangat sempit 6x7 meter dengan total tujuh anggota keluarga.
Pesan Iwan dalam buku ini juga sederhana tetapi mengena, yaitu bersungguh sungguhlah dalam bekerja dan selalu menjalin hubungan baik dengan sesama, hal ini tentu didasarkan pada kesempatan pertama untuk bekerja di Jakarta tepatnya Nielsen didapat Iwan dari seorang kenalan di Warung Nasi, serta kesempatan kedua bagi Iwan untuk berkarir di New York sampai akhirnya sepuluh tahun kemudian menjabat salah satu posisi Direktur di Nielsen New York, justru dari informasi sosok yang “tidak disukai” di Kantor, dan ternyata memperhatikan kualitas Iwan secara diam2.
Siapa tokoh paling penting bagi Iwan ? dalam buku ini Iwan menggambarkan Ibu hampir disetiap Bab, baik petuah2nya, cara hidupnya, ketabahannya, dan bagi Iwan tanpa Ibu sudah pasti dia tersesat. Dengan cinta, motivasi dan doa, sosok Ibu selalu memberikan dorongan yang tidak habis habis. Ibu juga selalu berusaha agar setiap kali makanan yang dimasak pas dan tidak bersisa, serta Ibu juga dilukiskan Iwan sebagai sosok yang ahli membuat dadar supir tipis bagi tujuh anggota keluarga dengan potongan ala pizza.
Membaca buku ini rasanya sangat dekat bagi saya secara pribadi, karena ketika Iwan melukiskan orang2 berdasi di Sudirman, yang merupakan obsesi Iwan, saya mendadak menyadari kalau saya sendiri juga bekerja di kawasan yang sama (meski jarang berdasi), begitu juga ketika Iwan melukiskan kehidupan di Batu, yang juga cukup akrab dengan saya, karena beberapa kali berlibur kesana mengunjungi kakak perempuan saya yang memang berdomisili di Batu. Salut juga buat keputusan Iwan yang di puncak karir justru kembali ke Batu, demi ikut terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat anak2 yang punya potensi namun memiliki keterbatasan.
No comments:
Post a Comment