Membaca halaman belakang komik Will Eisner, komikus kelahiran Brooklyn New York 1917, saya sudah langsung tertarik karena komik ini meraih penghargaan, dan berturut turut dibuat kelanjutannya hingga menjadi trilogi. Font yang dipilih Eisner dalam menuliskan namanya juga “catchy” karena menggunakan font yang sama dengan Walt Disney. Begitu membaca-nya langsung sedikit kaget ketika mengetahui cerita pertama-nya justru mengenai pengalaman seorang imigran Yahudi, yang meninggalkan kampung halaman-nya dengan dana yang diperoleh dari iuran bersama komunitas Yahudi yang dalam situasi terancam tetapi berharap agar tokoh ini dapat melanjutkan kehidupannya sebagai Yahudi sejati di New York. Sepertinya ini menjelaskan kenapa hari ini begitu banyak Yahudi di Amerika dan bahkan sampai2 mendominasi arah kebijakan Amerika.
Sebenarnya Contract with God (1978) hanyalah satu cerita saja, sedangkan cerita2 lain-nya benang merahnya lebih ke semua kejadian yang berhubungan dengan suatu lokasi di jalan Dropsie. Lalu dilanjutkan dengan buku kedua A Life Force (1988) dan buku ketiga Dropsie Avenue (1995). Komik ini dipenuhi dengan adat istiadat dan cara berkomunikasi dalam komunitas Yahudi di New York.
Eisner sendiri sebenarnya lebih suka menyebut buku ini sebagai novel grafis ketimbang komik. Nuansa-nya relatif gelap dan muram sehingga sama sekali tidak cocok bagi kanak2. Adegan2 yang digambarkan beberapa diantaranya menggambarkan hal2 yang bersifat “dewasa”. Cara berceritanya yang “berat” mengingatkan saya ketika membaca novel Great Expectation-nya Charles Dickens, penuh dengan ironi dan tanpa happy ending. Dari komik ke satu sd komik ketiga juga tidak terlihat kemajuan dari sisi artistik meski berjarak 20 tahun, yang menunjukkan Eisner sudah mencapai batas maksimal dari sisi artistik.
Khusus A Life Force, unik karena Eisner mengangkat kecoa sebagai inspirasi daya hidup, bagaimana serangga yang sudah berusia jutaan tahun ini tetap eksis dalam kondisi bagaimanapun juga, meski banyak orang tidak akan segan2 mengangkat sandal ketika melihat serangga satu ini. Tidak tanggung2 gambar kecoa ini juga menjadi cover di buku terbitan Nalar ini.
Hal yang perlu dikagumi dari Eisner, beliau bahkan masih mempublikasikan karya-nya
yaitu Sundiata di usia 85 dan bahkan di usia 88, yaitu The Protocols of The Learned Elders of Zion. Beliau akhirnya meninggal di Florida tahun 2005. Namanya sendiri diabadikan sebagai salah satu penghargaan bagi komikus, yaitu Eisner Award. Hal ini tidak terlepas dari upayanya memberikan “kecerdasan” bagi karya grafis, meski pada awalnya sangat sulit mencari penerbit yang mau menerbitkan karya-nya.
Bagi saya komik ini pada akhirnya bukanlah pilihan yang tepat buat koleksi, karena hal2 yang membuat saya tertarik untuk mengoleksi, antara lain adalah dapat memberikan aura positif, kualitas artistik atau fakta yang memang penting untuk diketahui serta layak dijadikan referensi. Dari artistik, jelas Eisner bukanlah komikus yang “hebat”, aura positif juga tidak saya dapatkan dari komik ini, satu2nya yang menarik adalah penggambaran problematika imigran Yahudi saat harus berbaur dengan masyarakat New York.
Sebenarnya Contract with God (1978) hanyalah satu cerita saja, sedangkan cerita2 lain-nya benang merahnya lebih ke semua kejadian yang berhubungan dengan suatu lokasi di jalan Dropsie. Lalu dilanjutkan dengan buku kedua A Life Force (1988) dan buku ketiga Dropsie Avenue (1995). Komik ini dipenuhi dengan adat istiadat dan cara berkomunikasi dalam komunitas Yahudi di New York.
Eisner sendiri sebenarnya lebih suka menyebut buku ini sebagai novel grafis ketimbang komik. Nuansa-nya relatif gelap dan muram sehingga sama sekali tidak cocok bagi kanak2. Adegan2 yang digambarkan beberapa diantaranya menggambarkan hal2 yang bersifat “dewasa”. Cara berceritanya yang “berat” mengingatkan saya ketika membaca novel Great Expectation-nya Charles Dickens, penuh dengan ironi dan tanpa happy ending. Dari komik ke satu sd komik ketiga juga tidak terlihat kemajuan dari sisi artistik meski berjarak 20 tahun, yang menunjukkan Eisner sudah mencapai batas maksimal dari sisi artistik.
Khusus A Life Force, unik karena Eisner mengangkat kecoa sebagai inspirasi daya hidup, bagaimana serangga yang sudah berusia jutaan tahun ini tetap eksis dalam kondisi bagaimanapun juga, meski banyak orang tidak akan segan2 mengangkat sandal ketika melihat serangga satu ini. Tidak tanggung2 gambar kecoa ini juga menjadi cover di buku terbitan Nalar ini.
Hal yang perlu dikagumi dari Eisner, beliau bahkan masih mempublikasikan karya-nya
yaitu Sundiata di usia 85 dan bahkan di usia 88, yaitu The Protocols of The Learned Elders of Zion. Beliau akhirnya meninggal di Florida tahun 2005. Namanya sendiri diabadikan sebagai salah satu penghargaan bagi komikus, yaitu Eisner Award. Hal ini tidak terlepas dari upayanya memberikan “kecerdasan” bagi karya grafis, meski pada awalnya sangat sulit mencari penerbit yang mau menerbitkan karya-nya.
Bagi saya komik ini pada akhirnya bukanlah pilihan yang tepat buat koleksi, karena hal2 yang membuat saya tertarik untuk mengoleksi, antara lain adalah dapat memberikan aura positif, kualitas artistik atau fakta yang memang penting untuk diketahui serta layak dijadikan referensi. Dari artistik, jelas Eisner bukanlah komikus yang “hebat”, aura positif juga tidak saya dapatkan dari komik ini, satu2nya yang menarik adalah penggambaran problematika imigran Yahudi saat harus berbaur dengan masyarakat New York.
No comments:
Post a Comment