Tuesday, March 06, 2012

Cerita Calon Arang - Pramoedya Ananta Toer

Saat masih kecil saya ingat betapa ingin-nya saya membaca cerita bersambung “Calon Arang “ di majalah Kuncung. Apalagi cerita ini selalu jadi pembicaraan Kakak dan Abang saya. Namun, karena terlambat memulai sehingga tidak mengikuti cerita ini dari awal, saya akhirnya hanya melihat lihat ilustrasi-nya sekilas. Obsesi ingin mengetahui Calon Arang ini akhirnya kesampaian setelah membeli salah satu buku Pramoedya baru2 ini.



Kali ini Pramoedya membuat sebuah buku yang mengacu pada dongeng yang di bicarakan secara turun tumurun mengenai Kerajaan Daha (sekarang Kediri) saat dipimpin oleh Airlangga. Berbeda dengan karya Pramoedya yang lain yang cenderung mengacu pada sejarah (tetralogi “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” sd “Rumah Kaca”), reportase  jurnalistik  (“Sekali Peristiwa di Banten Selatan”) ataupun kisah pribadi-nya (“Bukan Pasar Malam” dan “Gadis Pantai”), kali ini Pramoedya berusaha menuangkan cerita turun temurun ini menjadi tulisan.  Buku ini juga memiliki versi bahasa inggris dengan judul “The King, The Witch and The Priest”. Meski ada sumber versi Bali selain Jawa, Pramoedya sendiri memilih versi Jawa, tak jelas benar apa penyebab-nya, bisa jadi karena versi Jawa mengindikasikan Empu Baradah berasal dari tempat yang sama dengan Pramoedya.

Berbeda dengan buku2 Pramoedya lainnya, kali ini cover-nya sangat tidak sesuai, tak jelas benar siapa wanita yang dimaksud dalam cover, jika Calon Arang terlalu muda, namun jika yang dimaksud putrinya Ratna Manggali juga terkesan kurang rupawan. Dan karena teknik yang digunakan fotografi, cover ini makin terasa aneh mengingat setting cerita ini terjadi pada zaman dahulu.

Ceritanya sendiri tentang seorang janda penyembah “Betari Durga” bernama Calon Arang, yang kecewa karena anak perempuan satu2nya menunggu lamaran yang tak pernah tiba. Sesungguhnya bukan rupa, yang menyebabkan para pemuda setempat tidak mau melamar sang gadis karena Sang Anak justru seorang wanita yang cantik rupawan, tetapi kelakuan Calon Arang yang suka menyantet-lah yang menyebabkan orang2 takut melamar-nya. Calon Arang menguasai sihir, dan dengan murid2nya sering melakukan upacara yang mengorbankan manusia, meminum darah-nya dan menjadikan usus-nya sebagai selendang dalam tarian persembahan bagi “Betari Durga”. Upacara ini mengingatkan saya akan peradaban Maya yang digambarkan Mel Gibson dalam “Apocalypto”. 

Setelah sekian lama kemarahan Calon Arang semakin menjadi jadi, bahkan dia mulai menyebarkan penyakit mematikan meski masih diluar ibu kota kerajaan. Gerah melihat situasi ini Airlangga mengutus pasukan, yang sayang-nya justru gagal membunuh Calon Arang. Sehingga akhirnya dia meminta tolong Empu Baradah (yang menurut Pramoedya berasal dari Blora). Di lain pihak Calon Arang bahkan mulai berani menyerang kerajaan dengan lagi lagi menyebarkan penyakit. Empu Baradah lalu mengutus murid-nya Empu Bahula dengan terlebih dahulu melamar Ratna Manggali, agar sumber permasalahan yang menyebabkan Calon Arang berbuat jahat terlebih dahulu di selesaikan.

Singkat kata, Empu Bahula meyakinkan Ratna Manggali akan perbuatan jahat ibu-nya dan berhasil mencuri kitab ilmu sihir Calon Arang, lalu menyerahkan-nya ke Empu Baradah untuk dicari ilmu penawar-nya. Calon Arang yang marah lalu meminta tolong kembali ke “Betari Durga”, namun kali ini Sang Dewi menolak, karena menilai Empu Baradah bukanlah lawan sembarangan. Memutuskan untuk melawan Empu Baradah tanpa bantuan akhirnya menjadi “blunder” bagi Calon Arang, karena dia akhir-nya tewas di tangan Empu Baradah. Kocaknya sinopsis dalam buku ini agak sedikit “memiripkan” kejahatan Calon Arang sedemikian rupa sehingga kesan yang muncul justru kelakuan salah satu penguasa negeri ini. Sepertinya bagi yang masih penasaran bisa menyimpulkan sendiri siapa yang saya maksud  dari kalimat berikut ini “Semua lawan politik-nya dibabatnya, yang mengkritik dihabisinya”

No comments: