Dari empat wanita bersaudara, wajahnya terlihat sangat berbeda dengan ku ataupun kedua adikku. Khairani putih, langsing, mancung, bermata lebar, dengan figur ke-arab2-an. Sehari harinya dia selalu mengenakan jilbab dan baju kurung. Tutur katanya lembut dan hanya bisa menangis dalam diam seandainya keinginan tidak dipenuhi. Sosok kakak sangat menginspirasiku, dan kakak juga lah yang mengajarku ilmu agama, etika dan tutur kata.
Saat Ayah di penjara oleh Jepang, ada seorang Ibu yang dengan keluarganya selalu mengirim berbagai makanan, baik ke penjara maupun ke keluarga kami. Ibu itu memiliki beberapa putra, dan salah satu diantaranya bernama Thamrin, seorang pemuda berwajah cakap dengan masa depan cerah yang bekerja sebagai Duane di Tanjung Pinang. Saat Ayah keluar penjara, Ibu tersebut datang bersama keluarga untuk melamar Khairani dengan membawa berbagai perhiasan emas. Sayang Ayah serta merta menolaknya hanya karena merasa tak sanggup berpisah dengan Kakak ku. Padahal kakak sangat ingin Ayah menerima lamaran tersebut.
Tak tega melihat kakak-ku bersedih, kakak perempuan Ayah yang belum juga dikaruniai anak, berusaha membujuk Ayah, namun Ayah marah besar dan mengatakan “Enak saja kau menyarankan aku untuk membiarkan Khairani pergi begitu jauhnya ke Tanjung Pinang ! kau gak tahu perasaan orang tua, sebab Tuhan tak pernah memberikan mu anak”. Kakak perempuan Ayah menangis karena sakit hati dan pergi dari rumah kami dengan pedih.
Tahu kakak-ku sangat berminat menerima lamaran itu, aku mengatur strategi dan membujuknya untuk kawin lari meski kakak takut, sayangnya Ibu ku karena pengaruh Ayah mengancam kakak, bahwa dia akan segera mati kesepian kalau kakak memutuskan untuk kawin lari. Akhir-nya Khairani dengan hati yang pedih mengikuti keinginan Ayah, sayang-nya hal ini menyebabkan kakak jadi semakin pendiam dan cenderung mengurung diri dalam kamar.
Suatu hari datang seorang kerabat, dan bercerita bahwa Thamrin akhirnya menikah dengan gadis lain, pestanya sangat meriah dan mereka hidup bahagia di Tanjung Pinang. Saat mendengar cerita itu kakak-ku tiba2 menangis sedih dan sejak itu dia menjadi lebih pendiam dan terus menerus mengurung diri serta bahkan sempat tidak mau berhias atau bahkan sisiran selama enam bulan. Ibuku akhirnya tidak tahan melihat rambutnya yang gimbal lantas memotong rambut kakak secara paksa, dan kakak hanya diam meski airmata-nya mengalir. Situasi yang dialami kakak sempat beberapa kali menyebabkan pertengkaran hebat antara kedua orang tuaku sehingga nyaris saja bercerai. Dalam pertengkaran hebat, di dorong rasa sedih yang luar biasa, Ibu memberikan pisau dan berkata pedas pada Ayah, “jika kau tidak ingin melihat dia bahagia, bunuhlah dia sekarang juga !”.
Awal 1957, kakak-ku kembali dilamar, kali ini Ayah setuju, namun sebaliknya kakak-ku malah menolak. Dia menangis memohon pada Ayah untuk tidak menerima lamaran tsb dan mengatakan dia tidak mau meninggalkan rumah kami dan akan melakukan apapun yang diminta Ayah asalkan dia tidak usah menerima lamaran tsb. Namun Ayah memaksa kakak menerima lamaran tsb.
Pria itu bernama Ombak Harahap seorang pemuda berkulit gelap dengan wajah india, mereka mengetahui kakak dari salah seorang kerabat. Karena pada masa itu keluarga si wanita biasa-nya akan “jual mahal” maka Ombak dan keluarganya berpura pura sebagai tamu yang mencari abang-ku Arief Lubis, dengan harapan dapat bertemu kakak. Saat itu aku kebetulan sedang menyapu di halaman dengan baju yang sobek di bagian ketiak. Melihat tamu datang aku segera masuk menyiapkan jamuan ala kadarnya (roti kelapa yang dipotong2 kecil2) dan meminta kakak ikut kedepan dan serta membantu menyiapkan dirinya agar tampil secantik mungkin karena sudah menduga maksud kedatangan mereka. Aku pun mengganti baju dengan yang lebih sopan.
Ternyata belakangan Ombak lebih memilih untuk meminangku. Kakak sempat menduga aku sengaja berganti pakaian agar perhatian Ombak beralih, dan kakak memintaku untuk menggantikannya. Namun aku yang memang tidak tertarik pada Ombak menolak permintaan tsb. Akhirnya beberapa minggu sebelum aku bertemu calon suamiku, setelah Ayah menerima lamaran Ombak, dan menyelenggarakan pesta pernikahan yang sangat besar sehingga membuat para tetua berkomentar, bahwa jangan sampai terlalu besar untuk yang satu tetapi mengakibatkan anak2 yang lain kelak dikorbankan.
Akhirnya kakak dibawa oleh Ombak ke Medan, dan tak berapa lama kemudian kakak hamil dan dia menjalani pernikahan-nya dengan hambar sekalipun Ombak sangat mencintainya. Untuk menemani kakak-ku, Ombak meminta salah satu bibi-nya yang belum menikah untuk tinggal bersama. Ombak sangat perhatian pada kakak, dan membelikan kakak bahan kain yang cukup lebar. Namun ketika bibi-nya Ombak menyarankan untuk membuat gurita dan perlengkapan bayi lainnya, kakak mengatakan tak perlu karena bayi ini akan menggunakan kain dari surga, sedangkan kain yang diberikan Ombak akan dia gunakan untuk kain kafan-nya. Kuatir dengan kalimat kakak-ku dan menduganya kesepian, maka bibi menyarankan kakak untuk silaturahim dengan mengunjungi keluarga besar Ombak. Namun kakak menolak dan mengatakan “untuk apa ?, biarkan mereka nanti yang beramai ramai mendatangiku”, seakan akan dia sudah dapat melihat upacara pemakaman-nya.
Saat kehamilan masuk pada bulan kedelapan, dia sempat bermimpi kaki-nya dibelit ular besar, dan akhirnya apa yang dibayangkan kakak-ku menjadi kenyataan ketika kakak ke kamar mandi, dia merasa seperti ada urat yang tersentak dan putus di bagian pinggang-nya, tak lama kemudian kakak kehilangan kesadaran, dari kuping, mulut dan telinga-nya darah bercucuran. Pada saat itu tepatnya akhir 1957, PRRI membom Medan, dan Rumah Sakit semuanya terpaksa tutup, sehingga kakak tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Akhirnya kakak ku kembali ke Sang Pencipta dan dimakamkan di Medan dengan menimbulkan duka yang sangat pada Ayah dan Ibu.
No comments:
Post a Comment