Tiga tahun setelah pertemuan-ku dengan suami, aku terus menerus menunggu kabar dari-nya. Suasana di rumah berangsur angsur membaik, setelah meninggal-nya kakak-ku. Suatu hari adik-ku Lian mengenalkan ku pada sahabat baiknya. Sahabatnya ini seorang anak yatim piatu, sangat sopan, selalu menjadi yang pertama datang jika ada musibah dan membantu sebisanya (misalnya dengan ikut menggali kubur), mengajar anak2 kecil mengaji di langgar, dan bekerja keras sebagai kuli atapun asisten tukang kayu di akhir minggu untuk biaya sekolah.
Lambat laun karena aku sering memperlakukan-nya dengan lembut seperti adikku sendiri, sosoknya yang haus kasih sayang menyebabkan dia jatuh hati dan menyatakan perasaan-nya padaku. Melihat bahwa ini bisa dijadikan cara untuk memotivasi dia dalam meraih cita2. Aku menjanjikan akan mau menjadi istrinya kelak jika dia sudah sukses. Akhirnya dia benar2 sukses dan berhasil masuk ke Akabri, dan sangat kecewa ketika menerima kabar bahwa aku memilih suami ku sebagai pasangan hidup.
Kelak, saat hidupku dan suami sempat menjadi begitu sulit, seorang “pintar” mengingatkan aku akan janji ku pada sang Calon Jendral, yang ternyata memendam kekecewaan yang sangat. Saat aku sudah memiliki empat anak, aku memaksakan diri pergi ke Surabaya ditemani Halim adik-ku, dan meminta maaf pada Sang Jendral atas apa yang aku ucapkan saat itu, dan percaya tidak percaya, hidupku dan suami-ku membaik sejak itu. Peristiwa itu kami akhiri dengan berkurban kambing yang dibeli Lian. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagiku dan mengingatkan aku akan prinsip kehati2an dalam menjaga ucapan.
No comments:
Post a Comment