Tahun 2007 untuk pertama kali saya dan keluarga ke
Pangandaran. Sayang sekali karena tidak banyak informasi, kami cuma
beristirahat di hotel, bersepeda
menyusuri Pantai Barat dan Pantai Timur, berenang serta main ke pantai. Khusus kuliner ikan laut kami ke pasar di Pantai Timur untuk mencicipi hidangan khas Pangandaran. Saat itu kurang
lebih setahun sejak tsunami menyapu hotel-hotel di sepanjang Pantai Barat. Meski gempa pemicunya hanya 6.8 SR,
namun karena diakibatkan pertemuan dua lempeng Indo Australia dengan Eurasia di
kedalaman 30 km, Pangandaran mengalami tsunami yang cukup serius. Penduduk disana bercerita ketinggian gelombang mencapai lima meter,
dan gubuk-gubuk disepanjang pantai yang tadinya menjajakan minuman keras serta
wanita nakal ikut tersapu habis. Saat itu Pangandaran sempat lenyap dari list
destinasi wisata. Tak aneh ketika kami
berlibur di tahun itu situasinya masih relatif sepi.
Tak terasa
delapan tahun berlalu, saat saya bersama istri memutuskan untuk melakukan
employee gathering tahun 2015 bagi klinik kami yang sudah hampir setahun
beroperasi, lagi-lagi Pangandaran masuk nominasi. Berbeda dengan tahun 2007,
kali ini kami mengontak sebuah travel yang dikelola penduduk asli Pangandaran. Setelah diskusi panjang lebar dengan Pak Asep
Hendra sebagai perwakilan travel, kami mulai memilih lokasi tujuan disekitar
Pangandaran sehingga akhirnya kami memutuskan untuk berangkat Sabtu 21/3/2015
dan kembali Minggu 22/3/2015. Pihak travel mengajukan berangkat jam 02:00 pagi, sementara saya
berkesimpulan bahwa secara fisik kami akan mengalami keletihan karena kurang
tidur, sehingga saya berinisiatif memajukan waktu berangkat menjadi jam 23:00 Jumat
20/3/2015.
Setelah semua
persiapan dilakukan termasuk kaos seragam klinik, employee gift, snack box, dll
maka rombongan dengan jumlah sekitar 30 orang pun berangkat menggunakan bis
Kramat Djati bermerk Hino berukuran menengah yang disewa pihak travel. Ternyata
bis berhenti di sebuah restoran tanpa meminta persetujuan kami. Sepertinya ada
kerja sama antara perusahaan bis dengan restoran tsb. Setelah berhenti cukup
lama meski tidak satupun dari kami yang berniat makan (karena sangat mengantuk),
bis pun lalu melanjutkan perjalanan.
Setelah subuh di
sebuah masjid, maka sekitar 4 sd 5 km dari Pangandaran jalan mulai memadat, dan
ternyata kami sampai saat matahari bersinar terang, alias menjelang jam
08:00. Perjalanan pergi akhirnya
membutuhkan hampir delapan jam untuk jarak sepanjang 223 km. Dari Bandung kami melalui Tasimalaya, Ciamis, Banjar dan
akhirnya Pangandaran. Hemm Pangandaran memang bukan lokasi yang bisa dibilang
dekat dari Bandung. Tour Guide kami yang sudah berkali kali menelpon dan
menunggu sejak subuh untuk mengajak kami melihat sunrise, akhirnya naik ke
dalam bis. Suparmin demikian nama pria asal Jawa yang sudah lama tinggal di
Pangandaran. Dengan ramah dia bercerita dan menyayangkan kami yang tak sempat
melihat sunrise yang pagi ini ternyata sangat indah karena cerahnya langit.
Pangandaran,
demikian menurut Suparmin, berasal dari kata Pangan (makan) dan Daran
(pendatang), yakni penduduk luar yang mencari makan di daerah tersebut. Menurut
Suparmin sejak pemekaran dengan Kabupaten Ciamis tahun 2012, menjadi kabupaten
Pangandaran, banyak kemajuan di Pangandaran. Di sepanjang jalan nampak baliho
kandidat pejabat setempat yang sepertinya akan berkompetisi untuk menjadi
pimpinan daerah.
Tak lama bis
berhenti di sebuah warung makan dipinggir Pantai Timur, dan kami langsung
menyerbu capcay seafood, cumi goreng tepung, sambal, kerupuk, serta teh manis
yang sudah disediakan. Warung ini milik
Bu Surman, yang suaminya saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMAN 1
Pangandaran. Bu Surman turun tangan langsung untuk memastikan semua makanan
sudah siap dan mempersilahkan rombongan makan.
Selesai makan
kami melihat-lihat kumpulan perahu nelayan di depan Warung Bu Surman, dan terlihat
cukup banyak perahu. Ternyata nelayan disini berangkat malam hari dan sudah
kembali pagi hari, sehingga sepanjang siang perahu-perahu tersebut memang
selalu berjejer di depan Warung Bu Surman. Di masa lalu karena banyak
menggunakan layar, nelayan memang menggunakan angin untuk mencari ikan, saat
malam angin bertiup ke laut dan menjelang pagi angin bertiup ke darat. Namun
nelayan saat ini ternyata tetap memillih malam hari meski sudah banyak yang menggunakan
mesin.