Thursday, September 15, 2016

Perjalanan ke Dieng #1 dari 7 : Persiapan


Pada awalnya Si Sulung yang sudah ke Dieng dengan komunitas biker kampus lah yang mengusulkan ide ini pada istri. Gayung lalu bersambut kebetulan karena ada acara Dieng Culture Festival, dan lantas kami kabari pada keluarga adik ipar. Sayangnya entah karena miskomunikasi, proses registrasi terlambat dan akhirnya kami urung pergi pada tanggal tersebut.

Kawasan Dieng Dilihat Dengan Google Map

Tidak putus asa, istri kembali merancang kepergian menjelang Iedul Adha, dan sengaja kami memilih berangkat dengan mencuri waktu pada Jumat 9/Sept/2016 dan rencana kembali Minggu siang 11/Sept/2016, mengingat ada issue akan terjadi kembali kemacetan serius pada lintasan menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Istri berusaha kontak dengan www.diengbackpacker.com
untuk memilih homestay dimana kami akan menginap, guide, dan beberapa hal terkait kuliner.

Sebenarnya saya tidak tahu banyak soal Dieng, yang selalu teringat adalah peristiwa 1979, yakni saat Kawah Sinila “meradang” setelah didahului oleh gempa dan lalu menyemburkan CO2 yang menghabisi satu desa dan sampai kini tidak lagi berpenghuni. Foto-foto korban pengungsian yang tewas saat berbaris meninggalkan kawasan beracun dengan bawaan masing-masing yang dimuat di Harian Kompas, menghantui benak saya saat itu.


http://www.kompasiana.com/kandar_tjakrawerdaja/
Dataran Tinggi Dieng atau biasa disebut Dieng Plateau merupakan kawasan vulkanik yang masih aktif, lokasinya sendiri sebagian masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan sebagian lain masuk Kabupaten Wonosobo. Layaknya kuali raksasa dengan dua jalan masuk, Dieng dikelilingi beberapa Gunung, yakni Gunung  Sindoro (3.150 m), dan Gunung Sumbing (3.387), Gunung Prahu (2.565), Gunung Pakuwaja (2.595 m) dan Gunung Sikunir (2.463 m). Kalau beruntung anda bahkan bisa mengamati Gunung Merbabu dari tempat-tempat tertentu.

Karena Dieng memiliki Ketinggian rata-rata sekitar 2.000 m di atas permukaan laut, maka suhu berkisar 12 sd 20 °C di siang hari dan 6 sd 10 °C dimalam hari. Pada saat kami berada disana, suhu dimalam hari sekitar 11 °C. Saat musim kemarau, ternyata suhu bahkan bisa mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut “Bun Upas alias embun racun   karena menyebabkan kerusakan pada tanaman. Konon kabarnya, Dataran Tinggi Dieng merupakan dataran tertinggi kedua di dunia setelah Tibet / Nepal, dan yang terluas di Pulau Jawa.

Nama Dieng konon berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa Kawi, dimana  "Di" berarti "tempat/gunung" sedangkan "Eng" berasal dari kata "Hyang" bermakna dewa. Dengan demikian artinya adalah "Tempat Bersemayam Para Dewa". Nama lainnya adalah Negeri di Atas Awan, yang belakangan saya ketahui maknanya saat kembali dari Gardu Pandang Tieng.

Karena cuma berempat, maka saya tidak menggunakan mobil yang biasa kami gunakan seperti dalam ekspedisi keliling Jawa atau keliling Sumatera tahun lalu, melainkan menggunakan mobil istri yakni All New Sportage berusia 5 tahun.  Kuatir karena ban Kumho nya sudah cukup tua, maka saya putuskan untuk mengganti keempat ban 225/60/R17 tsb tersebut seminggu sebelum berangkat, sayangnya tidak ada ukuran yang sama persis sehingga saya memilih menggunakan Bridgestone Dueller 225/65/R17 seharga 825 ribu rupiah per buah.

Ganti Ban Sebelum Berangkat 
Saya dan istri juga cek via googlemap, dan memutuskan untuk pergi via selatan dan kembali via utara sekaligus mencoba Tol Cipali yang selama ini belum pernah kami jajal.  Lalu dokumen tsb kami print untuk mencegah kalau2 tidak ada sinyal GPS pada lokasi-lokasi tertentu. Meski sialnya dokumen tersebut malah  tertinggal di meja kamar tidur.

Bandung - Dieng via Jalur Selatan

Ide istri untuk berangkat subuh ditolak mentah-mentah oleh Si Bungsu karena dia masih harus presentasi di sekolah. Sehingga kami memutuskan menunggu Si Bungsu di lapangan parkir sekolahnya sampai selesai presentasi lalu berangkat jam 08:30. Perjalanan relatif lancar dan sekitar jam 13:00 kami sampai di Pringsewu.  Kejutan melihat Pringsewu yang dulu begitu ramai, ternyata sekarang begitu sepi, di tempat parkir yang begitu luas hanya ada 2 mobil parkir, namun saat datang ternyata kami lah satu-satunya tamu yang makan, meski ketika makan akhirnya ada satu mobil pengunjung lainnya. Kasir yang sedang bertugas menjelaskan bahwa ini diakibatkan orang-orang sekarang lebih memilih lewat Tol Cipali. Teringat saya saat RM Sari Rasa Sambal Hejo,  Cibentar Nagrak, Purwakarta yang dulu juga mendadak sepi saat tol Cipularang buka, untungnya mereka sekarang ada di Rest Area 87 baik disisi kiri maupun 
kanan. 

Sepinya Pringsewu


No comments: