Thursday, September 15, 2016

Perjalanan ke Dieng #3 dari 7 : Menantang Dinginnya Dieng


Homestay yang kami sewa terdiri dari lima kamar, tiga kamar di lantai bawah dan dua kamar dilantai atas. Setiap kamar berukuran sekitar 4x4 m, sudah dengan kamar mandi didalam dilengkapi air panas dengan menggunakan gas. Ada dua ruang keluarga, satu di atas dan satu dibawah serta satu ruang tamu dan dapur. Salah satu ruang keluarga dilengkapi dengan perapian, dan secara keseluruhan homestay ini bagus  dan mencerminkan selera seni diatas rata-rata homestay lainnya. Begitu membuka pintu, di sisi kiri langsung terlihat Gunung Sindoro, di bagian depan kiri nampak dua buah sumur besar beratap yang konon kabarnya untuk menampung pembuangan aliran air dari danau. Sedangkan di bagian depan nampak Terminal Shuttle yang tengah dibangun.

Perapian Homestay


Dua kamar dibagian atas digunakan satu keluarga dari Jakarta, namun Innova yang mereka kendarai gagal parkir di depan homestay karena selain cukup terjal belokannya juga tajam. Saya terpaksa pakai trik mundur untuk bisa parkir persis depan homestay, tentu saja disertai ban yang mendecit dan sedikit asap hitam.

Homestay Bunga

Udara semakin dingin, untungnya lantai kamar dilapisi karpet.  Ketika menggunakan kamar mandi, airnya bagaikan mengiris-ngiris bagian bawah tubuh saat bebersih. Setelahnya kaki dan tangan tetap kedinginan meski sudah disusupkan ke dalam dua lapis selimut. Karena capai kami usahakan cepat tidur agar dapat fit keesokan harinya. Adik ipar yang pernah lama di Jepang mengatakan, dahulu dia selalu berpendapat lebih enak udara dingin dibanding panas, saat di Jepang dia berubah pikiran ternyata jauh lebih nikmat udara panas meski harus kegerahan di banding udara dingin.

Pagi harinya Sabtu sekitar jam 04:00, ternyata hujan turun lalu disusul kabut tebal,  mas Gofir datang dan lalu menyampaikan percuma saja kalau kami ke Sikunir pagi ini, karena tidak akan terlihat apa-apa. Akhirnya kami memutuskan setelah menikmati kopi,  untuk sarapan pagi di warung Bu Yati dengan menu Ayam Goreng Sambal Rawit Hijau. Masakan Bu Yati memang mantap, tak aneh jika warung beliau meski lokasinya agak ke belakang banyak didatangi para pendaki yang akan ke Gunung Prahu.

Sambil ditemani musik latar yang sedang memainkan For Whom The Bell Tolls karya Metallica yang terinspirasi dari Ernest Hemingway, kami selesaikan sarapan kami. Pemilik warung yang menggunakan kaos salah satu group metal lokal bolak balik melayani kami. Aneh juga rasanya sarapan pagi sambil diteror dengan dentuman album konser Metallica. 

Lanjut ke Part #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/perjalanan-ke-dieng-4-eksplorasi-candi.html

No comments: