Wednesday, September 21, 2016

Riwayat Baginda Karapatan #13 dari 17 Anak ke #5 : Saiful Parmuhunan Pohan (Sutan Endar Muda)


Menikah dengan : Siti Hajar Lubis

Putra dan Putri sbb
  • Rossa Yuliati Pohan / Eli (1962)
  • Anwar Syafri Pohan / Ucok (1964)
  • Husni Iskandar Pohan / Ade / Lukman (1968)
  • Hanna Evawati Pohan / Butet (1974)
Karakter dan Merantau

Ayah, alias Saiful Parmuhunan Pohan dikenal sebagai sosok paling humoris diantara anak-anak Baginda Karapatan. Beliau juga termasuk yang ringan tangan dalam membantu berbagai sanak saudara yang datang ke rumah untuk meminta pertolongan seperti mencari pekerjaan.  Misalnya Hasan Siregar, Nunung Daulay, Maraonom Siregar, Arfan Pohan, Ahmad Syafei Pohan, selain itu juga berbagai sanak saudara khususnya keponakan yang pernah tinggal bersama kami seperti Tini Harahap, Ahmad Amru Pohan,  Marahalam Harahap atau bahkan seperti cucu alias Ichwan Siregar dll.



Kembali ke masa kecil, setelah masa-masa sulit bekerja di sawah, beberapa saat kemudian, ayah menyusul abangnya Oloan Pohan ke Yogya untuk mengambil ijazah SMP dan melanjutkan ke SMA. Saat itu Ayah memang sedang galau, seluruh siswa sekelas di SMP beliau,  ternyata tidak ada yang lulus. Setelah melanjutkan sekolah SMA, beliaupun bekerja di PT POS dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia).

Horja Saiful Parmuhunan Pohan

Jika putra-putra Baginda Karapatan seperti Marajo Pohan menikah dengan Boru Pulungan di Bandung, lalu Oloan Pohan dengan Boru Matondang di Yogyakarta, maka giliran Ayah menikah dengan Boru Lubis pilihan Nursiti Siregar. Sayangnya tidak ada yang akhirnya menikah dengan Boru Siregar, sebagaimana keinginan Baginda Karapatan.




Tahun 1960, ayahlah satu-satunya anak laki-laki Baginda Karapatan yang dibuatkan horja (pesta) besar saat menikah adalah Ayahku. Untuk memeriahkan acara maka disembelihlah satu ekor kerbau besar. Upa-upa  juga menggunung berisi ikan mas goreng besar, telur rebus,  ayam utuh, daun ubi dalam keadaan tersimpul, udang, dan berbagai pelengkap yang seakan akan saling pandang dengan Ayah selama acara berlangsung, seakan akan berkata makanlah aku, makanlah aku.

Ditengah pidato-pidato adat yang saling sambung menyambung tak henti henti, Ayah lebih tertarik melihat upa-upa itu saja, yang tambah lama tambah menggiurkan dan membuat Ayah semakin lapar.  Belum lagi kepala Ayah semakin pusing akibat ulah topi adat alias Bulang  yang terkenal berat itu. Suasana tambah menjemukan, karena pidato-pidato tersebut terdengar layaknya pengulangan-pengulangan saja, sebagaimana kalimat berikut;

“On pe di jolomunu amang-inang, ma hami baen upa-upa munu.
Ajar-ajari hamu ma borukon.
Pamatang nia do na godang, anggo pamikiran na danak-danak dope".

Sialnya selesai acara, setelah Ayah dan ibu mencubit sedikit telur ayam rebus lalu dicocol ke garam,  lalu memakannya secara saling bersilang. Maka rangkaian horja pun sekesai tanpa Ayah dan ibu  kebagian upa-upa itu sama sekali.  Karena begitu pengarah acara menyatakan acara selesai, maka menu upa-upa yang diyakini bertuah langsung habis diserbu hadirin.
Horja di masa itu juga dilengkapi dengan tradisi musik alias margondang yang di gelar di daerah Sitamiang kota Padang Sidempuan. Semua kahanggi hadir dari semua huta dan diluar Sialaman yg paling banyak hadir adalah kahanggi dari Sibangkua.

Dalam adat Tapanuli, apabila yang menyelenggarakan acara adalah pihak lelaki, maka keluarga dari pihak perempuan tidak diundang dan tidak muncul. (meski saat ini sudah tidak seperti itu lagi). Sehingga merupakan kejutan bagi Ibu ketika dalam suasana pesta / acara tersebut tahu2 adik ibu yang bungsu (yang biasa kami panggil Tulang Nawawi) tahu-tahu menyelusup dan menyapa ibu.

Menuju Pulau Jawa

Ayah dan Ibu menikah pada hari Rabu di Bulan September 1960,  Pesta berlangsung meriah selama tiga hari tiga malam.  Saat hendak berangkat ke Bandung. Ayah Ibuku alias Sutan Mulia Radja, membekali Ibu dengan sangu untuk berjaga-jaga, apabila dalam keadaan darurat Ibu perlu kembali pulang ke Padang Sidempuan.

Hari keempat Ayah dan Ibu bertolak naik bis Sibual- buali , yakni angkutan dengan armada bis paling top saat itu yang juga merupakan nama salah satu gunung di sekitar Sipirok dan Padang Sidempuan menuju ke Medan. Menginap sekitar sehari di Medan (tempat ipar nya amangboru Parramean, yang anaknya bernama abang Riswan sempat tinggal bersama2 kami di jalan Nilem Bandung, beberapa waktu kemudian).

Perjalanan dilanjutkan naik kapal ke Tanjung Priok lewat Belawan via Kapal Laut. Dan kemudian dari dari Tanjung Priok naik Kereta Api ke Bandung. Perjalan kereta api yang pertama bagi Ibu sempat membuatnya dag dig dug, terutama saart kereta api melintasi jurang-jurang  di pegunungan mendekati Bandung.

Sesampainya di Bandung, ayah dan ibu menginap sekitar tiga  atau empat hari di tempat abangnya Maradjo. Pohan, yang saat itu tinggal di jalan Riau. Kemudian baru ke tempat rumah kontrakan ayah di jalan Kerang.

Kegusaran Pada Baginda Karapatan

Hari-hari pun berlalu, dimana ayah yang masih mahasiswa akademi PTT ( Pendidikan Tinggi Pos dan Telegraf) didampingi ibu yang mantan guru (meski Ibu adalah guru, namun Ayah meminta Ibu konsentrasi ke rumah tangga saja, sehingga ibu berhenti bekerja, keputusan mana yang banyak mewarnai kehidupan mereka selanjutnya), dan mereka melalui hari-hari mereka secara sederhana.
Hidup yang sulit membuat Ayah banyak merenung, dan mencurahkan isi hatinya kepada Baginda Karapatan melaui surat yang isinya kira2 sbb. ..

Ayah, terimakasih,
Ayah telah memestakan kami tiga hari tiga malam ..
Berbahagialah ayah karena ayah telah memuaskan diri ayah sendiri,
(Memamerkan kehebatan ayah dengan anak ayah sebagai pemerannya ..
Ayah akan terkenal dan dikenang hebat ..
Namun  tega melepas anaknya kembali ke rantau tanpa serupiah pun bekal ..

Apa tanggapan Baginda Karapatan, mendengar berita itu (mengingat beliau buta huruf, sepertinya ada yang membacakan isi surat tersebut kepada beliau.. ). Dan Baguinda Karapatann marah besar dan berseru ..

“Aha nimmu .. ?? Huting .. !!!”
(apa katamu .. ? Kucing .. !!!)

Kalau marah Baginda Karapatan selaku mengeluarkan makian Huting !. Entah pernah ada masalah apa antara Baginda Karapatan dengan kaum minoritas kucing di zaman dahulu.. sehingga kalau marah selalu melontarkan kata itu.

Bekal yang Menipis

Akhirnya bekal pun menipis, pelan pelan harta ibu berikut jam tangan (berbentuk gelang, merek Titus, yang ibu titip beli ke abang ipar Ibu yang bertiugas sebagai petugas Bea Cukai di Medan), berikut  simpanan dari penghasilan sebagai guru plus biaya cadangan dari Ayahnya), telah lama melayang untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari.

Cerita Lain : Teknik Panggil Tukang Jagung

Suatu malam saaat ayah menginap di rumah abangnya Oloan Pohan. Seperti biasa, sekitar 2 jam setelah makan malam yang selalu heboh itu, ayah terlibat percakapan meriah dengan abangnya. Tak berapa lama kemudian lewat di depan rumah kami tukang jagung rebus.

"Jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! jagung..! ", 

demikian teriaknya berkali-kali nyaris tenpa jeda sambil berjalan mendorong gerobaknya. mendadak ayah pun berteriak pula,

"Bang jagung..! bang jagung.. ! bang jagung..! bang jagung.. !bang jagung..!" 

dengan mulutnya maju mengarah ke luar pintu yang terbuka

"Kok memanggilnya begitu uda ?" 

tanya para keponakannya.

"Iya lah..terpaksa kita panggil berulang-ulang mencari sela-sela diantara teriakan tukang jagung itu" jelas ayah. “Masalahnya suara dia lebih keras nyaris tanpa jeda, bisa-bisa suara panggilan kita tidak didengarnya amang...", 

jelas ayah kembali.

Benar saja, ternyata tidak sia-sia jurus panggilan anti jeda tersebut diluncurkan,. Tukang jagung rebus akhirnya mendengar teriakan dan lalu berbalik menuju gerbang rumah. "Jagung pak..?" tanyanya, dan ayah  pun mengangguk senang.

Cerita Lain : Pohan diganti dengan Marporan

Kali berikutnya ayah dan beberapa saudaranya berangkat dengan Bus Sampagul dari Medan menuju Padang Sidempuan. Seperti biasa, sepanjang perjalanan ayah selalu membuat sensasi lucu dimana-mana. Gairahnya "mangarsak" (mengganggu -menggoda) orang lain semakin menantang karena mayoritas penumpang adalah orang Tapanuli Selatan yang satu bahasa dengannya.

Ada-ada saja yang dikomentarinya, kadang dia bercerita hal-hal lucu yang membuat seisi bus ikut tertawa terbahak-bahak. Suasana gembira dan meriah . Ada satu penumpang dipojok kursi yang tidak pernah ikut tertawa. Mulutnya selalu ditutupinya dengan baju kaus sementara tangan yang satunya memegang plastik yang terlihat penuh. Ternyata orang ini sedang mabuk berat, berulangkali dia muntahkan seisi perutnya dan ditampung di plastik itu. Mukanya terlihat pucat menahan sakit dan mual. Melihat orang itu kontan ayah berkomentar;

"A' naporan ma bayo on.., munta marsitutu dongan...!"
(Ah parah sekali orang ini, muntah bertubi-tubi kawan...!)

Orang itu melirik sebentar melihat ayah, lalu kembali konsentrasi dengan urusan menahan mualnya lagi.

"Saigodang pamatangmui..Aha dehe margamu lakna..?"
(Begitu besar badanmu itu. Apa margamu rupanya?)

Tanpa ekspresi dia menjawab;
"Pohan..!"

Sontak seluruh penumpang bus tertawa terbahak-bahak, merasa mendapat momentum karena mereka tahu dari tadi ayah gembar-gembor soal kehebatan marga Pohan. Tanpa berpikir panjang dan tidak langsung menyerah yang memang jadi ciri khas ayah, dia pun membalas;

"Anggo songoni gonti ma margamui.."
(Kalau begitu ganti saja margamu itu)

"Murporan.."
(Makin parah)

Pungkasnya enteng, yang disambut gemuruh tawa seisi bus, dan ayah terpingkal-pingkal sampai keluar airmata.


Anwar, Rosa, Husni dan Siti Hajar Lubis
saat di Jalan Nilem Bandung



Link lain soal Saiful Pohan sbb
*Mengenai jalannya acara pernikahan, sesuai cerita Rudi Ramon Pohan yang mendengar langsung dari Ayahnya, Oloan Pohan.
*Mengenai kisah Tukang Jagung dan Marporan, sesuai cerita Rudi Ramon Pohan.
*Soal margondang, lokasi acara dan tamu undangan seusai cerita Soheh Pohan
*Mengenai kehidupan pernihakan setelahnya diceritakan oleh Anwar Syafri Pohan sesuai penuturan istri beliau Siti Hajar Lubis.






2 comments:

Wisnu said...

Kisah dengan bahasa mengalir,
sangat menarik untuk diterbitkan dalam bentuk buku,
karena banyak berisi sejarah dan seting tahun 1960-1970 an,
hal ini akan memperkaya khasanah karya sastra kita
yang kekeringan,
akibat budaya instan yang.....


Muhammad Alexander @ Wisnu Sasongko
Pengarang Buku


Anonymous said...

Untuk Tuan Pohan

Bahasanya mengalir laksana embun yang bergulir dari dedaunan,
sangat menarik untuk diterbitkan,
karena banyak berisi sejarah dan setting 60-70-an,
untuk memperkaya khasanah kita punya kesusastraan,
nselamat memandaikan bangsa dengan tulisan

Muhammad Alexander @ Wisnu Sasongko
wisnusasongko72@gmail.com
Pengarang Buku