Sunday, September 18, 2016

Riwayat Baginda Karapatan #17 dari 17 Anak ke #9 : Nurlena Pohan


Menikah dengan :  Muchtaruddin

Putra dan Putri sbb

  • Arlin Syafril / Apen (1964)
  • Febrina Ros Natali /  (1966)
  • Rahmad Hidayat / Adek / Somex (1968)
  • Nila Novemi / Emi (1970)
  • Rachmawati / Butet (1973)


Bagaikan Artis India

Meski waktu kecil Nurlena Pohan berkulit agak hitam dan sering ditertawakan oleh kakak-kakak perempuannya, namun Nursiti Siregar meramalkan anak bungsu yang dia lahirkan tanpa bantuan siapapun ini akan cantik seperti artis India.  Saat menjelang remaja, terbukti bahwa Nurlena menjadi salah satu kembang yang mengundang lirikan banyak pria di Padang Sidempuan.

Nurlena Pohan menurut penuturan Nursiti Siregar, masih suka menyusu sampai kira-kira kelas 4 SD. Walaupun Nursiti Siregar sudah tidak lagi memiliki ASI. Namun Nursiti Siregar membiarkan saja anak bungsunya ini menyusu. Saat dewasa apabila disinggung cerita ini, Nurlena Pohan akan tertawa malu.

Tetap kukuh dalam berpendapat soal anak bungsuinya, setiap kali kakak-kakaknya kembali meledek kulitnya, Nursiti Siregar hanya menjawab

“Naron naa degesan anggi mon .. ligi maa… songon bintang pilim Andia do on saulakon”

Yang artinya

Nanti kelak .. cantik sekali adik kalian ini .. seperti bintang film India. 

Dan memang diantara semua anak perempuan Baginda Karapatan, Nurlena Pohan lah yang paling menarik penampilannya.  

Berkenalan dengan Polisi Ganteng

Perkenalan Nurlena Pohan dan suaminya Muchtaruddin cukup unik. Saat itu Muchtaruddin yang sedang berdinas di polisi bagian lalu lintas sering bertugas di Simpang Tiga di Padang Sidempuan. Dari jauh Muchtaruddin melihat seorang gadis cantik, tinggi semampai sedang bersepeda. Lantas sebuah ide melintas di benaknya agar bisa berkenalan dgn gadis itu. Lantas dia bunyikannya pluitnya...”Pritttt !” dan di hentikannya sepeda gadis itu lalu ditilangnya dengan alasan tidak memiliki pentil sepeda. Bukannya menurut, Sang Gadis malah marah-marah, dan mengatakan “ Kau tidak kenal ya Bapak ku Baginda Karapatan ? ambil saja sepedanya sekalian !” dan sambil melengos Sang Gadis itu pun pergi meninggalkan sepedanya dengan Muchtaruddin yang masih terpana karena kecantikan dan juga sikap ketus Sang Gadis.

Nurlena Pohan pulang dan langsung  mengadu sambil menangis ke Baginda Karapatan, Tanpa pikir panjang, beliau langsung mendatangi Kepolisian dan mencari Muchtaruddin,  yang berani-beraninya  menilang putrinya.  Baginda Karapatan yang memang berkarakter keras, langsung mengamuk dan sampai-sampai membalikkan meja Kantor Polisi serta menyuruh Muchtaruddin minta maaf pada anaknya serta  mengembalikan sepedanya.

Muchtaruddin kaget dan cukup segan melihat Baginda Karapatan, namun setelah mencari tahu mengenai sosok Baginda Karapatan, beliau memberanikan diri datang dengan membawa oleh-oleh sebecak penuh dengan buah-buahan. Ternyata kesukaan Baginda Karapatan akan buah-buahan menjadi kelemahan beliau, yang langsung menerima Muchtaruddin dengan ramah, dan akhirnya membiarkan Sang Polisi Ganteng berkunjung ke rumah dan langsung menyemai cinta diantara Nurlena Pohan dan Muchtaruddin.

Sementara itu wanita mana pula  yang tidak luluh melihat Polisi ramah dan ganteng yang sejak saat itu selalu membantu menyebrangkan Nurlena Pohan dan kawan-kawannya setiap pagi yang kalau ukuran sekarang, sepertinya Muctaruddin bisa masuk ke dalam dunia maya dengan  tag ‘Polisi Ganteng’.

Orang Pintar yang Menyebalkan

Kesal dengan situasi yang terjadi, Baginda Karapatan minta bantuan orang pintar untuk memisahkan ikatan asamara mereka. Namun, setelah memantau alam lain, Si Orang Pintar menolak melakukan tugasnya.

“Ulang amangboru, anggo u ida naa degeeessan rasoki ni alai on !”

Yang artinya

“Jangan paman,  kalau kulihat , bagus sekali rezeki mereka”

Ahh  geram Baginda Karapatan, lalu semburnya 

“Si te do ho !! Keni ho .. !! “ 

Sepertinya terjemahannya tidak perlu, karena kurang pantas diterjemahkan.

Mengikuti Jejak Kakak dengan Kawin Lari

Sebagaimana kakak-kakanya seperti Mayurida Pohan dan Nurmina Pohan, maka Nurlena Pohan pun terpaksa kawin lari pada usia kira-kira 19 tahun,  karena lagi-lagi Baginda Karapatan tidak merestuinya. Baginda Karapatan tidak mau putri bungsunya menikah dengan orang Aceh yang dia cap sebagai Tukang Kawin.


Muchtaruddin dan Nurlena Pohan

Jadi meski sudah sering berkunjung, namun Muchtaruddin masih saja belum dapat restu dari Baginda Karapatan. Akhirnya mereka berdua  memutuskan kawin lari, dan Nurlena Pohan untuk sementara disembunyikan di rumah Burhanuddin Siregar yang akhirnya menjadi Bupati Tapanuli Selatan. Namun akhirnya Baginda Karapatan berhasil menemukan mereka berdua, dan tanpa pikir panjang Baginda Karapatan langsung memukuli Muchtaruddin dengan batang ubi sambil menangis dan berkata “Teganya kau bawa si  Butet ku” sambil terus tak henti memukuli.

Memulai Hidup Tanpa Bantuan Orang Tua

Nurlena Pohan dan suaminya tidak diperbolehkan Baginda Karapatan tinggal di rumah miliknya sehingga mereka berdua tinggal di asrama. Suatu hari Nurlena Pohan akhirnya mengandung  sementara kehidupan mereka tetap terasa sulit. Sampai suatu hari Nurlena Pohan kehabisan beras dan tidak ada uang lagi yang tersisa. Maka dengan mengendap ngendap beliau masuk ke rumah Baginda Karapatan, yang tidak jauh dari asrama Kepolisian berada.

Mendadak Nursiti Siregar ibunya muncul dan langsung memeluk putrinya  sambil Nurlena Pohan memeluka ibunya kuta-kuat dan menangis seraya meminta maaf. Lalu dalam tanginya Nurlena Pohan mengatakan bahwa dia kehabisan beras dan uang. Nursiti Siregar yang memang terkenal dengan kelembutannya segera menyiapkan beras dengan yang terbuat dari bambu dan menaruh dedaunan sayuran singkong di bagian atas agar tidak terlalu terlihat.  Situasi ekonomi yang sulit ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Arlin Syafril di tahun 1964.

Kelahiran Putra Pertama

Sejak lahirnya Arlin Syafril maka Baginda Karapatan pun akhirnya luluh dan mau menerima putrinya kembali. Namun setahun lebih umur putra pertamanya, maka Nurlena Pohan pun  mengandung putri keduanya yakni Febrina. Sayangnya meski sudah menjalin hubungan yang kembali baik dengan Baginda Karapatan, Muchtaruddin  dipindah tugaskan ke Natal.

Di masa itu masih sangat sulit transportasi, perjalanan ke lokasi terpencil harus ditempuh dengan berjalan kaki, Nurlena Pohan yang masih mengandung putri keduanya beserta suami dan putranya harus menempuh perjalanan 2 hari 2 malam menuju  Natal. Saat ini jarak 161 km dari Padang Sidempuan ke Natal bisa ditempuh sekitar 4 jam. Syafril kecil di bopong Muchtaruddin  sedangkan Nurlena Pohan dengan kepayahan karena kehamilan berjalan beriringan. Mereka juga harus menyeberangi berbagai  sungai, jalanan yang licin berlumpur dan jurang-jurang terjal termasuk resiko bertemu dengan  binatang buas

Sampai di Natal dan Kembali ke Padang Sidempuan

Akhirnya sampailah mereka di Natal dan lalu ditempatkan di asrama Polsek Natal, namun kehidupan tetap  susah. Dalam kondisi seperti itu kadang Muchtaruddin harus melaut mencari ikan. Begitu sepinya Natal, sehingga belum tentu lima bulan sekali terlihat motor atau mobil. Jika ada kendaraan, maka sekalipun dini hari orang-orang berkeluaran untuk  melihatnya, termasuk para wanita berapakain panjang yang biasanya sangat jarang terlihat keluar rumah.

Akhirnya pada tanggal 28 Februari tahun 1966  jam 00.10 WIB lahirlah anak perempuan mereka yang diberi nama Febrina Ros Natali yg mereka maknai sebagai Febrina bunga dr Natal. Namun mereka ternyata tidak lama berdiam di Natal. Baginda Karapatan yang kasihan melihat putrinya, lalu menghadap DANRES agar menantunya dipindahkan kembali ke Padang Sidempuan. Namun cuma sebentar, Muchtaruddin kembali pindah tugaskan ke Medan.  Disusul lahirnya putra ketiga mereka Rahmad Hidayat tanggal 25 Desember 1968.

Kopinya Pakai Gula Saja Sedikit

Karena warna kulitnya Julukan untuk Nurlena Pohan saat kecil dengan demikian adalah Si Kopi Paet (Kopi Pahit). Penampilannya yang hitam manis itu sempat menimbulkan rasa geli tetua kampung. Saat setelah menikah sewaktu suami Nurlena Pohan, Muctaruddin datang ke kampung, para tetua kampung saling berbicara sambil menunjuk nya

“Oohh.. indon ma na mambuat Si Kopi Paet I .. ?”

Yang artinya

“Oohh… ini dia yang memperistri Si Kopi Pahit itu ..? “

Muchtaruddin, yang tidak mengerti bahasa Batak menjawab dengan polos, menjawab

“Tidak pak, kopi nya pake gula saja sedikit, saya tidak biasa minum  Kopi Pahit”


Pindah Ke Medan

Di Medan mereka tinggal di Jalan Brastagi, yang saat itu dipinjamkan oleh Paramaen Siregar suami Salbiah Pohan. Karena beliau sayang pada kedua iparnya tersebut. Situasi di rumah itu sangat menyenangkan seingat Febrina. Setiap lebaran mereka menjalankan tradisi berkumpul, sehingga terjalin hubungan yang dekat dengan para sepupu, seperti Sarpin dan Ispi yang merupakan putra-putri Salbiah Pohan lalu Hasan, Arman, Erwin dan Zulfan yang merupakan putra dan putri Mayurida Pohan. Rumah itu menyimpan banyak kenangan, seperti saat malam takbiran waktu bermain main lilin, Ispi sempat terbakar bajunya, atau Febrina tertabrak sepeda motor, yang foto-fotonya masih tersimpan rapi.

Namun situasi ekonomi tetap sulit, sehingga Paramean Sirgear banyak membantu. Sehingga suatu hari Nurlena Pohan berencana memberikan hak asuh Febrina, kepada tetangga depan rumah mereka  yakni  Keluarga Azinar yang memang sudah bertahun-tahun tidak jua mempunyai anak. Namun tindakan ini dicegah Nursiti Siregar, dan menegur putrinya  dengan marah 

“Jangan kau jual anakmu itu Butet !, anak itulah hartamu..lihatlah cantik dan lucunya dia..sabarlah kau Butet nanti pasti hidupmu senang”. 

Nurlena Pohan menangis sambil memeluk anak perempuan satu-satunya  yang masih tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi

Keluarga Azinar yang sempat berharap pun ikut bersedih dan karena sampai akhir hayatnya beliau tetap tidak mempunyai keturunan, mereka lalu mengadopsi anak lain yang di beri nama mirip yakni Fazrina.

Putra dan Putri Nurlena Pohan,
dari Kiri ke Kanan Syafril, RIna, Rahmad, Emi dan Butet


Ahli Dalam Manajemen Keuangan Keluarga

Nurlena Pohan adalah sosok ibu yang dikagumi anak-anaknya khususnya Febrina Ros Natali. Meski cuma tamatan SMA beliau sangat pintar menangani keuangan keluarga, sehingga dari keturunan Baginda Karapatan, beliaulah salah satu yang terbaik dari sisi finansial.

Berlimpahnya Rezeki

Diantara 9 bersaudara,  selain karena kemampuanya mengelola keuangan, Nurlena Pohan ini termasuk yang paling bagus rezekinya.   Mungkin ini memang yang dinamakan garis tangan. Misalnya suatu ketika, ada pembagian kain panjang. Kain-kain  ini ada yang  bagus, ada yang biasa-biasa.  Maka para saudara perempuannya berebutan memilih duluan.

Nurlena Pohan, karena merasa paling muda, hanya diam menunggu sisa bungkusan kado terakhir.  Ternyata, setelah dibuka, kain panjang yang diterima Nurlena Pohan itulah yang paling bagus.  Saudara lainnya protes,  kok Nurlena dapat paling bagus ?, namun memang seperti itulah garis tangan beliau.

Wafatnya Nurlena Pohan

Diantara 9 bersudara yang hidup sampai dengan dewasa, beliau termasuk yang begitu cepat pergi menghadap Sang Khalik di usianya yang masih menginjak 51 thn karena berbagai komplikasi penyakitnya.

Saat sorenya beliau sakit, ternyata malamnya sudah meninggal di hadapan Febrina, setelah sebelumnya beliau sempat minta dikupaskan buah pir, meski hanya memakannya sedikit saja. Saat Nurlena Pohan merasa sesak,  tangannya melambai kearah Febrina, supaya mendekat dan berbisik “lihat-lihat Butet (anak bungsunya) ya inang...” dan “iya ma..” jawab Febrina.

Meski cuma sendirian mendampingi beliau, Febrina sempat menuntun Nurlena Pohan untuk mengucapkan dua khalimat syahadat...sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Terobsesi dengan Kebersihan dan Kerapihan
Hal lain yang aku ingat mengenai Nurlena Pohan, adalah cara bicaranya yang selalu terkesan sambil tersenyum dan ekspresi manja (mungkin karena bungsu) dan wataknya yang ingin segala sesuatunya terlihat rapi dan bersih. Saking terobsesinya beliau dengan kerapihan dan kebersihan, halaman depan rumah Nurlena Pohan di Gang Sado disemen seluruhnya. Begitu juga dengan lantai rumah beliau, selalu berkali kali dipel.  Saat pindah ke Denpasar, aku bermain mobil-mobilan dengan Rahmad Hidayat, putra beliau di halaman semen tersebut. Bagi anak seperti kami, bermain mobil-mobilan dengan lahan datar seluas itu jelas merupakan kegembiraan tersendiri.
Saat puluhan tahun kemudian aku bertugas ke Medan, dan mengunjungi rumah terakhir beliau, rasanya rindu sekali dengan sosoknya, di rumah itu masih terlihat foto-foto beliau, mushalla khusus yang sering dipakai sholat, semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau, menerima semua amal baiknya, dan ditempatkan di tempat terbaik di sisiNya.

*Diceritakan oleh Anwar Syafri Pohan sesuai penuturan ibu beliau Siti Hajar Lubis.
*Sedikit tambahan dari penulis soal obsesi kebersihan dan kerapihan.
*Awal perjalanan hidup Nurlena Pohan diceritakan putrinya Febrina Ros Natali.












No comments: