Sunday, September 18, 2016

Riwayat Baginda Karapatan #14 dari 17 Anak ke #6 : Mayurida Pohan


Menikah dengan : Tunggal Siregar

Putra dan Putri sbb;

  • Hasan Bashry Siregar
  • Arman Syah Siregar
  • Erwin Siregar
  • Zulfan Azhari Siregar

Sosok Mayurida Pohan adalah salah satu dari putri Baginda Karapatan yang sangat dikenal dekat dengan keluarga ku. Ayah beberapa kali menyebutkan betapa salah satu adik perempuanya yang paling dia sayangi adalah Mayurida Pohan, sementara Ibuku menyebutkan kedekatan dengan Mayurida Pohan yang membuatnya yakin ketika menerima pinangan Ayah. Maklum mereka satu kelas di sekolah menengah yang zaman itu di sebut sebagai Sekolah Kepandaian Putri.

Ibu juga mengatakan Mayurida Pohan memiliki kecerdasan khusus sehingga sempat loncat kelas saat dari kelas 1 loncat kelas langsung ke kelas 3.  Di masa lalu jika Ibu dan Mayurida Pohan bertemu maka mereka sanggup saling bercerita semalaman suntuk, khususnya ketika masing-masing memiliki masalah dalam keluarga.


Mayurida Pohan dan Siti Hajar Lubis,
Sahabat Dekat Satu Sekolah di SKP
Baginda Karapatan yang bisa dikatakan gagal dalam mewariskan jiwa enterpreneurshipnya sebenarnya sempat berharap putrinya ini lah yang akan meneruskan bisnisnya, bukan hanya karena kecerdasan melainkan juga karena disiplinnya. Namun apa mau dikata Mayurida Pohan malah memutuskan kawin lari dengan Tunggal Siregar, duda satu anak  yang saat itu kost di rumah Baginda Karapatan.

Peristiwa kawin lari ini sempat membuat Nursiti Siregar babak belur dihajar suaminya ketika mengetahui bahwa Tunggal Siregar jatuh cinta saat bertemu karena Mayurida Pohan diperintahkan ibunya Nursiti Siregar menjamu Tunggal Siregar yang saat itu datang bertamu. Sejak perjamuan itulah Tunggal Siregar mencanangkan niat untuk memperistri Mayurida Pohan.

Untuk memperjelas cerita, berikut ini tulisan langsung dari Erwin Siregar putra ketiga Mayurida Pohan, yang dimulai dengan petualangan Tunggal Siregar sampai dengan menemukan tambatan hati, menikah dan mengarungi hidup baru.  

Berawal Dari Desa Lubuk Korsik

Lubuk Korsik, inilah salah satu desa di hulu sungai Batang Pane, Padang Bolak,Tapanuli Selatan. Di desa inilah Tunggal Siregar,  lahir dan tumbuh besar hingga beranjak remaja. Desa ini terletak di lokasi terpencil. Untuk bisa menuju desa itu orang harus melewati banyak desa,seperti desa Purba Tua, Lubuk Torop, Botung, Aek Gambir, Sibustak, Sungai Tolang, Siombob, Sigimbal, Mananti, Paran Padang, Rahuning, Naga Rundeng dll. Juga harus terlebih dahulu menyeberangi sungai Batang Pane hingga berkali kali. Jalannya berliku dan terjal, kontur tanahnya kering dan tandus. Umumnya masyarakat sekitar menanam padi ladang tadah hujan dan tembakau di lereng-lereng bukit yang relatif miring dan mendaki. Saking minimnya tanah datar di kampung ini, kuda-kuda yang ada, lebih sering digiring berjalan  membawa beban ketimbang ditunggangi untuk dipacu berlari  kencang. 

Tunggal Siregar adalah anak sulung dari sembilan bersaudara, saat usia masih remaja sekali, sekitar usia lima belas tahun,  ia telah dikawinkan dengan anak gadis yang masih memiliki kekerabatan dari desa tetangga. Kebiasaan orang desa dahulu memang para bujang dan anak gadis rata-rata berumah tangga di usia dini. Hal itu bisa dimaklumi karena di desa itu tidak ada sekolah samasekali, sehingga remaja lebih cepat dewasa. Orang dikampung ini juga rata -rata punya anak banyak, bahkan kadang sampai belasan jumlahnya.

Beberapa aktivitas yang biasa dilakukan di Lubuk Korsik adalah saat malam tiba yakni menembak ikan dengan cara menyelam di sungai Batang Pane yang kebetulan berada persis di belakang rumah beliau.  Dengan hanya bermodalkan senapan air buatan sendiri dan kaca mata air yang terbuat dari bambu. 

Aktivitas lainnya adalah berburu Rusa, beliau pernah bersama ayahnya melumpuhkan Rusa besar yang terjebak di bawah kolong rumah mereka. Pada masa itu rumah rumah di kampung memang memiliki kolong.  Saking besarnya rusa tsb, saat itu semua penduduk desa  berpesta daging rusa.


Berpulangnya Istri

Sayangnya isteri pertama beliau meninggal dunia  saat melahirkan anak pertamanya, seorang anak laki-laki,  yang dia beri nama Guntur Siregar.  Sejak kematian isterinya terbersit di hati  beliau harus segera merantau keluar dari kampungnya. Beliau berpikir jika ia terus menerus tinggal di kampung maka nasib dan masa depannya tidak akan berubah. Bosan dengan melihat rutinitas kampung yang dari dulu stagnan.

Erwin Siregar mengatakan Tunggal Siregar ayahnya, pernah bercerita, saking parahnya jalanan kampung yang harus dilewati antar desa, sering kuda beban mereka terpeleset kakinya di antara sela-sela dua batang pohon yang dijadikan jembatan penyeberangan antar desa. Tak ayal lagi sang kuda pun tewas mengenaskan di dasar jurang yang ratusan meter dibawah sana. Akhirnya sang kuda dan beban yang dibawanya dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja merana di dasar jurang.

Sekali waktu beliau dan  adiknya pergi berkunjung ke desa tetangga ingin melihat pesta perkawinan yang biasanya dihibur dengan gondang dan tarian tortor. Saking asyiknya menonton  hiburan mereka pulang kemalaman. Di tengah perjalanan hutan belantara, diterangi cahaya temeram bulan, tiba-tiba dari balik-balik semak belukar melompat dua  bayangan hitam, yang satu besar dan yang satunya kecil. Dan akhirnya berdiri persis menghadang di hadapan mereka berdua, berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat ayah dan adiknya berdiri.

Ternyata seekor induk harimau dengan anaknya, adik beliau sudah gemetar ketakutan setengah mati, tidak tahu harus berbuat apa, beliau menenangkan adiknya agar tidak berisik apalagi  menangis atau mundur lari ke belakang. Lalu beliau mengaum sekencang-kencangnya, dan alhasil malah Sang Harimau malah lari kabur.   

Merantau Untuk Pertama Kali

Tekad  beliau merantau untuk mengubah nasibnya sudah bulat, maka disampaikanlah niatnya itu kepada orangtuanya, namun orangtuanya tidak mengizinkannya, dengan alasan beliau adalah anak sulung yang diharapkan kelak bisa membimbing dan memperhatikan adik-adiknya, apalagi jika kelak orangtuanya meninggal dunia. Namun karena sudah meniatkan, maka beliau tetap pergi meninggalkan kampung halamannya tanpa restu dan sepengetahuan orangtuanya. Hanya berbekal sedikit uang hasil penjualan termbakau yang diambilnya dari gudang penyimpangan tembakau mereka.

Untuk keluar dari Lubuk Korsik menuju jalan lintas propinsi memakan waktu sehari semalam, banyak desa dan hutan semak belukar yang harus dilalui. Namun semua itu tidak menyurutkan tekad beliau untuk merantau mengubah nasib. Yang ada di benak beliau adalah kata merantau dan merantau saja. Seumur hidupnya baru kali inilah dia menyusuri jalan panjang terjal, berbatu penuh liku menuju jalan lintas propinsi tempat dia nanti akan menumpang bus yang kebetulan lewat di jalan tersebut.

Akhirnya sampai jualah beliau di  jalan lintas antar propinsi tersebut. Lama beliau tertegun di tepi jalan, bingung untuk menentukan tujuan dan mau menumpang bus yang mana. Bus penumpang antar propinsi bolak balik melintas, dan pihak kondektur bus pada sibuk menawarkan diri agar beliau menaiki busnya. Namun beliau tetap diam membisu tidak menanggapi tawaran mereka. Di saat dilanda kebingungan, tiba-sebuah tiba bus mendekat, dan sang kondektur bus  berteriak-teriak ,”Ayo...Rantau...Rantau...Rantau....“,  seperti tersengat beliau yang memang ingin merantau, langsung menghentikan bus tersebut, padahal yang dimaksud supir itu tidak lain adalah Rantau Prapat, yang jarak tempuhnya sekitar enam jam dari tempat dia berdiri menunggu bus.

Di sepanjang jalan beliau tidak bisa tidur, takjub dengan bus yang ditumpangi, yang meski berbadan  besar namun melaju dengan kencang. Sesekali matanya berkaca kaca mengingat putranya Guntur Siregar yang dia tinggal begitu saja. Dipandanginya pepohonan dan rumah penduduk di kiri kanan jalan, yang seakan akan berlarian menjauh meninggalkan kenangan jauh di belakang sana.


Tunggal Siregar

Sampai di Rantau Prapat

Menjelang sore hari sampailah bus tersebut di Rantau Prapat, terheran-heran Tunggal Siregar melihat ramainya orang hillir mudik di jalanan, dan kagum melihat banyak bangunan besar dan indah. Dalam hati beliau berkata, sepertinya  ia sudah tidak salah pilih kota ini memang benar-benar paling cocok untuk orang perantauan seperti dia.

Dan keyakinannya semakin kuat bahwa ia tidak salah pilih memilih kota perantauan tatkala  dilihatnya banyak orang berkulit putih dan bermata sipit. Sebelumnya, beliau tidak pernah melihat etnis cina sama sekali, dan juga mendengar bahasa Tionghoa terdengar asing di telinganya.  Melihat realita itu ia  mengira bahwa ia telah berpergian begitu jauh sekali, dan mengira  kota Rantau Prapat ini adalah sebuah kota negara asing di luar negara Indonesia, yang karena itu sangat cocok untuk tujuan perantauan.

Makan Lilin

Saat malam tiba, beliau lalu memesan sebuah kamar di sebuah losmen, ketika menyerahkan kunci kamar, resepsionis juga memberi beliau sebatang lilin dan lalu menunjukkan kamar tempat beliau menginap. Beliau menerima saja kunci dan lilin tersebut dengan senang hati dan percaya diri, padahal seumur hidupnya baru kali itu dia melihat lilin.  Karena mengira lilin itu semacam makanan dia coba mengunyahnya, namun bingung dengan rasanya yang hambar dan berminyak. Takut malu dilihat orang, secepat kilat sang lilin beliau masukkan ke sakunya, dan ia berpikir keras untuk apa sebenarnya lilin tersebut diberikan.
 
Beliau lalu membuka kamarnya, lagi-lagi merasa heran kenapa kamarnya gelap gulita, sementara kamar tamu lainnya terang bercahaya. Ia mengira, jangan-jangan sang resepsionis tahu dia orang udik dan bodoh, sehingga mereka menganggap remeh dan memberikan beliau kamar tanpa penerangan sama sekali. Ternyata saat itu di daerah itu lagi terjadi giliran pemadaman listrik, sehingga setiap tamu diberi sebuah lilin oleh resepsionis. Demi menjaga harga dirinya dan agar sang resepsionis tidak tahu bahwa dia orang udik yang tidak tahu apa itu lilin, lalu ia protes dengan lantang  pada sang resepsionis, “Pak...kenapa Anda menempatkan saya pada kamar yang gelap gulita, sementara kamar-kamar disebelah saya ada penerangannya? Janganlah pilih kasih pak...mentang-mentang saya tamu baru di sini ya...??!!” semprot beliau dengan bahasa Indonesia yang masih terpatah-patah dan kaku. 

Sang resepsionis tersentak menjawab,”Apa bapak belum saya kasih lilin tadi ?” dengan penuh percaya diri beliau balas menjawab, Tidak ada, nah kalo begitu... ayo tolong nyalakan lilin tersebut sekalian agar saya bawa ke kamar”. Resepsionis pun segera menyalakan lilinnya, sekaligus membantu beliau memecahkan misteri lilin. Dalam hati ia tersenyum senyum dan bergumam, Hemm.. kena kau...akhirnya aku punya dua buah lilin”


Mayurida Pohan


Menonton Film di Bioskop

Tidak jauh dari loaksi losmen, kebetulan berdiri sebuah gedung bioskop. Tunggal Siregar  yang tidak pernah menonton film di bioskop, merasa  terheran heran kenapa banyak orang berkerumun mematung berdiri memandangi  poster film-film yang sedang dan akan diputar keesokan harinya. Sementara gambar para pemain bintang film  yang ada di poster film itu tidak bergerak-gerak sama sekali. Dalam benaknya ia berkata, kenapa banyak sekali orang bodoh  rela membeli karcis segala, hanya untuk  memandangi poster film yang tidak bergerak gerak itu. Sungguh beliau  tidak pernah tahu bahwa itu memang hanya poster, sementara filmnya diputar di dalam gedung bioskop. Seiring waktu berjalan, lama-lama barulah beliau tahu apa fungsi bioskop dan akhirnya mulai mencoba menonton film. Dalam waktu singkat beliau mulai merasa cocok dengan para koboy yang dimasa itu memang banyak diputar.

Terinspirasi dari film-film koboi itulah beliau suka sekali memakai topi yang sering dikenakan para bintang film koboi, sembari memelihara jambang dan kumisnya sedemikian rupa agar mirip-mirip sosok Charles Bronson salah bintang film idolanya.   Kekagumannya pada bintang-bintang film koboi terus terbawa hingga ia berumah tangga, maka dinding rumah beliau banyak ditempelinya poster-poster bintang film koboi dengan pose mununggang kuda, lengkap dengan background pemandangan padang prairie yang luas dan  bukit-bukit cadas, seperti yang sering terlihat papan reklame rokok Marboro atau Lucky Strike. Bisa jadi juga beliau teringat dengan pemandangan kampung halamannya Padang Bolak yang  kering dan tandus dan tidak dapat menjanjikan apa-apa bagi masa depannya.

Menjaga Kedai

Sekian lama beliau hidup luntang lantung tidak ada pekerjaan, akhirnya persediaan bekal uang dikantongnya  semakin menipis dan kandas, maka tidak bisa tidak ia harus bisa mencari pekerjaan apa saja, yang penting bisa makan dan ada tempat berteduh. Akhirnya ada Sang Juragan  pemilik kedai kelontong yang kebetulan semarga dengan ayah bersedia memperkerjakannya menjaga kedai kelontongnya.

Sang juragan jatuh kasihan dan simpati mendengar kisah dan kuatnya tekad beliau merantau. Selain menjaga kelontong ternyata ayah ditugaskan Sang Juragan mengantar jemput anaknya ke sekolah yang lumayan jauh dari rumah mereka dengan sepeda ontel model palangnya. Tunggal Siregar yang selalu menutupi asal usulnya dari udik, dengan mantap dan percaya diri mengiyakan tugas mengantar jemput anak juragan, meski sebelumnya ia tidak pernah sama sekali mengenderai  sepeda.

Belajar Bersepeda

Bagaimana mungkin ia bisa mengenderai sepeda, karena di kampungnya memang tidak pernah ada sepeda, mengingat jalanan di kampungnya penuh batu-batu besar dan naik turun bergelombang. Akhirnya tibalah saat beliau harus mengantar anak Sang Juragan ke sekolah, maka dinaikkanlah anak tersebut di boncengan belakang. Namun sepanjang jalan  sepeda itu tidak dinaikinya, malah digiringnya berjalan. Si anak merasa heran, kenapa beliau  tidak kunjung menaiki sepedanya dan mengayuhnya. Melihat beliau terus menerus menggiring sepedanya, lalu sang anak mengomel agar beliau menaiki sepedanya. Beliau tidak menanggapi  omelan si anak, namun omelan si anak bukanmnya mereda dan malah makin menjadi-jadi. Tidak tahan mendengar omelan, akhirnya dengan nekadnya beliau berkata dalam hati "Apa kali rupanya hebatnya  naik sepeda ini, sementara di kampungku saja, kuda yang begitu liar pun bisa kutunggangi,  apalagi sepeda kek gini. Kecillah...!" .

Beliau lalu mengambil ancang-ancang menggiring sepedanya sambil berlari kencang, setelah yakin dengan kestabilan larinya, lalu tiba-tiba melompat ia  ke atas sadel sadel sepeda itu, dan  berusaha secepat mungkin untuk bisa mengayuh pedal sepeda. Tehnik konyol yang dilakukannya tentu membuat lajunya sepeda menjadi limbung tidak tentu arah, stangnya liar tidak terkendali. Hanya sepersekian detik akhirnya sepeda tercebur ke kali, untung si anak tidak terluka.  Sambil menangis dia mengadukan perihal cara Tunggal Siregar bersepeda, namun Tunggal Siregar  yang tidak mau dipermalukan malah membela diri, sambil mengatakan anak majikan lah yang yang bawel, padahal sudah kencang masih merengek terus minta lebih kencang lagi, akhirnya kukayuhlah sekencang mungkin, hingga akhirnya tercebur ke kali.

Bekerja di Terminal

Hanya beberapa minggu menjadi calo bus terminal, nama beliau cukup terkenal di kawasan terminal. Itu berawal ia dikeroyok para calo lain yang tidak senang dengan kehadirannya, mereka menganggap kehadiran beliau di tengah-tengah mereka mengurangi penghasilan mereka. Padahal beliau tidak pernah memanggil-manggil, mencurangi  atau memotong calon penumpang bus sasaran mereka sebagai calo. Justru merekalah yang sering berbuat demikian terhadapnya, namun beliau tetap menahan diri untuk sabar, karena sadar diri sebagai pendatang baru di terminal tersebut harus selalu menjaga sportifitas.

Lagipula Tunggal Siregar Ayah yakin bahwa rezeki kita tidak pernah tertukar dengan orang lain, maka tidak perlu iri atau syirik pada orang lain. Kebencian mereka terhadap beliau mungkin telah dipuncak ubun-ubun, mereka ingin memberi pelajaran dan perhitungan  pada beliau. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba wajahnya ditinju seorang calo yang dianggap sebagai saingan beratnya. Lewat jurus-jurus silat yang pernah diajari orang tuanya yang kebetulan memang pesilat tangguh di kampungnya, maka dengan mudah beliau melumpuhkan calo yang pukul curi itu.

Melihat kawannya terkapar, lalu dua orang calo lainnya datang membantu mengeroyoknya, namun pertarungan tangan kosong itu  masih terlihat imbang. Di tengah serunya tarung bebas berlangsung, tiba-tiba kepala beliau dipukul dengan  sebilah balok oleh calo satunya lagi.  beliau terhuyung terhempas jatuh ke tanah, kepalanya robek penuh darah, hingga tidak sadarkan diri. Saat ia siuman ia kaget kenapa ia berada di rumah sakit dengan kepala dibalut perban, sepintas mirip orang sedang mengenakan surban putih. Matanya bengkak, hitam  kebiru-biruan,akibat darah beku di sekitar bola matanya.  Kancing-kancing  bajunya berlepasan, penuh bekas  ceceran-ceceran darah kering. Menyadari semua itu, beliau bukan malah ciut nyalinya. Sepulang dari rumah sakit, ia datangi LApo Tuak di mana para calo-calo lawannya selalu berkumpul. Dengan sebilah belati terselip di pinggang  ia kembali menantang calo yang mengeroyoknya, Hoiii...kalo kalian jago...ayo kita satu lawan satu!” teriaknya keras, demi melihat keberanian beliau datang menantang dalam kondisi seperti itu, pucat pasi dan ciutlah nyali mereka.

Akhirnya, dengan dimediasi pihak  pengawas keamanan terminal setempat  disepakatilah perdamaian antara mereka, di mana para calo yang mengeroyoknya meminta maaf padanya. Dan dengan lapang dada beliau menerima maaf mereka. Sejak peristiwa itu sosok beliau cukup disegani disekitar terminal, sampai-sampai ia dikira memiliki ilmu kebal, dan punya nyawa cadangan segala.

Sebenarnya keseharianya beliau lebih banyak diam. Entah karena katar belakang pendidikannya yang minim, namun memang beliau selalu berkata seadanya, seperlunya secara singkat namun padat. Lama mengalami hidup yang sulit di dunia terminal dan berkenalan dengan sosok berbagai profesi, mulai dari penjual rokok, pedagang dan bahkan tukang copet banyak mewarnai caranya menghadapi hidup.


Merencanakan Perampokan


Bergaul di dunia terminal akhirnya Tunggal Siregar, yang sebelumnya tidak pernah mengenal minuman keras akhirnya  sering minum minuman keras dengan para preman pasar yang sering terlibat melakukan tindakan kriminal berbagai rupa. Saking terbiasanya minum  minuman keras, beliau mudah saja membuka tutup botol minuman keras dengan giginya, dengan sekali sentak saja terbukalah botol minuman itu tanpa alat pengungkit  pembuka tutup botol samasekali. Saat tua, beliau masih dapat dengan mudah menggunakan giginya membuka berbagai botol seperti kecap, dll.

Di suatu sore,  di kedai tuak, Tunggal Siregar  dengan dua temannya asyik menenggak minuman keras. Di tengah asyik menikmati minuman keras, seorang temannya, mantan residivis, mengusulkan ide  untuk mencuri salah satu  toko emas terbesar di kota Rantau Prapat, milik etnis tertentu. Gayung pun bersambut, dan untuk memuluskan aksi, mereka menyelidiki toko emas yang akan mereka jadikan  target. Setelah persiapan segala sesuatunya matang, malam harinya dengan membobol atap mereka menggasak emas yang tersimpan di brankas.

Ternyata emas yang mereka gasak cukup banyak, untuk meninggalkan jejak mereka sepakat bertiga pergi melarikan diri ke Malaysia menggunakan  perahu tongkang lewat Tanjung Balai. Sebagian kecil emas haril curian telah mereka jual, dan sebagian besar lagi masih di tangan Sang Residivis. Sesuai kesepakatan saat hari keberangkatan ke Malaysia,  barulah emas hasil curian akan dijual dan semua dibagi rata sepertiga-sepertiga.

Hobi Film Koboi Berbuah Sial

Sehari sebelum hari keberangkatan ke Malaysia, Tunggal Siregar yang tergila-gila menonton film koboi, malam harinya masih menyempatkan dirinya berdua menonton film koboi di bioskop kesayangannya. Saat asyik-asyiknya menonton film tiba-tiba dari ruang operator terdengar  pengumuman. Dimana beliau Tunggal Siregar bersama rekannya Jalotup Sinaga diminta segera keluar, dan jangan sekali-kali mencoba  melarikan diri.  Smeentara bioskop ini telah dijaga ketat dengan senjata lengkap dari Polsek Rantau Prapat.

Gemetar dan terkesiaplah mereka berdua, rencana untuk merantau ke Malaysia  buyar sudah,  dengan langkah gontai beliau dan temannya menyerahkan diri tanpa perlawanan apa pun. Ternyata orang yang membocorkan identitas mereka adalah Sang Residivis.

Dengan memakai perantaraan tangan orang lain ia bocori tentang keberadaan Tunggal Siregar dan kawannya di dalam bioskop. Sementara Sang Residivis hilang begitu saja tanpa bekas, bagai di telan bumi. Saat itu Ayah dan temannya Jalotup Sinaga merasa dendam luar biasa dengan pengkhianatan yang telah dilakukan Sang Residivis, kalau saja mereka lolos ingin rasanya mereka habisi nyawa Sang Residivis.

Tertangkap

Namun akhirnya beliau bertambah kesal campur sedih, karena ternyata yang dimasukkan penjara hanya beliau seorang. Sementara temannya Jalotup Sinaga bermain mata dengan Sang Polisi karena kebetulan dia punya saudara pengacara hitam yang bisa mengatur agar dia tidak terlibat pencurian berat itu.

Tiga tahun di penjara membaut beliau merasa benar-benar malang, maksud hati merantau hendak mengubah nasib, akhirnya malah masuk penjara. Setelah  administrasi dan segala tetek bengek urusan pelimpahan dari tahanan polisi ke rumah penjara selesai, mulai detik itu babak baru kehidupan rumah penjara dirasakannya.

Kehidupan di Penjara

Situasi kehidupan penjara dimasa itu ada semacam hukum tidak tertulis, bahwa setiap orang yang baru masuk dalam penjara harus terlebih dahulu ditato oleh sesama napi atas perintah pemimpin non formil para narapidana sebut saja Si Algojo. Tato itu  dimaksudkan untuk membedakan orang yang telah pernah masuk penjara dan orang yang tidak pernah masuk penjara. Tak seorangpun di penjara tersebut yang berani menolak, kecuali dia siap babak belur dihajar Si Algojo dang gangnya.

Beliau yang merasa tak sanggup jika suatu saat sekeluar dari penjara memiliki tato dibadannya, menolak dengan keras (dan juga karena masih tersisa pendidikan agama dalam dirinya yang menganggap tato haram hukumnya). Alhasil beliau tetap melawan dan meronta-ronta sehingga anak buah Si Algojo belum juga berhasil mentatonya. Si Algojo yang tidak sabar langsung maju dan mencengkram buah zakar beliau. Saat nyaris pingsan kesakitan, sipir penjara tiba-tiba masuk karena mendengar kericuhan dan  melarang mereka mentato beliau.

Melawan Si Algojo

Melihat betapa berani beliau mempertahankan prinsipnya agar dirinya tidak ditato, membuat Si Algojo akhirnya sedikit segan pada beliau, terlebih-lebih narapidana lainnya. Sampai saat itu hanya beliau lah satu-satunya narapidana yang berani menolak untuk ditato

Khusus pada beliau, Si Algojo pun tidak lagi sewenang-wenang namun para napi lain diperlakukan layaknya budak, mulai dari membersihkan kamar, mencuci pakaian sampai memijat-mijat badannya.
Apa saja yang diperintahkannya maka semua narapidana harus tunduk dan taat padanya, pendek kata ia bagaikan raja di penjara. Juga jika ada tamu narapidana yang berkunjung melihat saudaranya di penjara, semua pemberiannya sebagian harus manjadi upeti baginya. Jika tidak diberi, maka tendangan dan bogem mentah  yang akan dirasakan oleh narapidana lain, ditambah bonus caci maki.
Salah satu yang membuat segan para narapidana lain adalah karena mereka menganggap Si Algojo punya ilmu kebal dari berbagai senjata tajam. Sekali waktu, mereka menyaksikan sendiri betapa ia pernah berkelahi dengan narapidana lain, meski ditusuk pisau belati berkali-kali namun tetap saja tidak mampu menembus perutnya.

Membela Narapidana Lain

Sekali waktu, masuklah seorang narapidana baru, konon ia mantan seorang direktur perusahaan yang terlibat kasus penggelapan uang. Tidak tahu karena alasan apa, mungkin ada sikap orang itu yang membuat jengkel hati, Si Algojo memaksa narapidana baru tersebut meminum secangkir air seni segar hasil produksi Si Algojo, beliau yang tidak suka perbuatan tersebut menepiskan cangkir tersebut,

Lalu beliau  menasehati Si Algojo itu, betapa tidak manusiawinya memperlakukan orang seperti itu. SI Algojo urung melanjutkan perbuatan kejinya. Beliau yang sudah siap-siap menghadapi dampratan Si Algojo ternyata menunggu  dengan sia-sia. Si Algojo tidak bereaksi berlebihan atas cara beliau menggagalkan aksinya.

Berpindahnya Kepinding dan Kutu Busuk

Tidak lama berselang, masuklah lagi seorang narapidana baru, jalannya terseok-seok, dekat pergelangan kakinya ada borok besar menganga, hitam kebiru-biruan, busuk dan bernanah.  Ternyata ia tersangkut kasus pencurian sapi, dan sempat lari berbulan-bulan ke hutan. Ketika ditemukan aparat, kakinya telah telah luka dan menganga lebar.

Sebagai pendatang baru, ia  dianggap membawa berkah sendiri bagi narapidana lainnya, meski boroknya bau amis seperti bangkai. Kamar penjara yang selama ini penuh kutu busuk, kepinding, yang sepanjang malam mengggangu tidur mereka, tiba-tiba lenyap seketika. Mereka heran, kenapa malam itu mereka bisa tidur nyenyak tanpa diganggu kutuk busuk sama sekali. Kemana perginya kutu busuk itu gerangan, pikir mereka. Keheranan mereka terjawab pagi harinya, ternyata kutu busuk, kepinding, itu semua berkumpul di borok si narapidana baru yang menganga lebar. Begitu banyaknya kepinding dan kutu busuk sehingga cekungan lukanya sama sekali tertutup..

Pertarungan Akhir dengan Si Algojo

Beberapa bulan kemudian, masuklah seorang tahanan baru, seorang pemuda ganteng dan berkulit bersih. Si Pemuda dilaporkan oleh orangtua kekasihnya karena mencoba melarikan kekasih yang tidak direstui oleh orangtuanya. Si Algojo yang ternyata punya kelainan seksual tertarik dengan si pemuda tersebut. Suatu malam secara paksa ia ingin menggauli pemuda itu. Karena Si Pemuda menolak keinginannya, maka Si Algojo marah besar, dihajarnya Si Pemuda hingga terkapar dan lalu  dikencinginya (maaf) meski tengah terkapar lemah tidak berdaya. Melihat insiden itu, Tunggal Siregar berusaha mencegah dan berhasil menahan Si Algojo untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

Namun kebencian Tunggal Siregar  akhirnya semakin tak tertahan melihat kelakuan Si Algojo. Sejak itu Tunggal Siregar berusaha mencari kesempatan dan rajin mengasah sendok, dan terlebih dahulu mengolesinya dengan darahnya sendiri,lalu dihunjamkan ke tanah untuk memusnahkan ilmu kebal Si Algojo.

Lalu Tunggal Siregar menyusun rencana dan waktu waktu paling pas untuk mengeksekusi Si Algojo, yakni saat pembagian ransum yang memang merupakan tugas Si Algojo. Tunggal Siregar sengaja memilih antrian nomor dua. Ketika tiba gilirannya, dengan sendok terhunus tersebut secepat kilat  ia menusuk perut Si Algojo berkali-kali, hingga ususnya terburai keluar.

Darah yang menyembur membasahi ransum para narapidana, yang akhirnya menggagalkan acara makan saat itu. Namun dengan usus terburai, Si Algojo tetap melakukan perlawanan dan mengejar musuhnya, Tunggal Siregar segara ambil langkah seribu dan masuk ke ruangan kantor Kepala Sipir penjara, lalu mengunci pintunya.

Si Algojo terus berusaha mendobrak pintu sampai akhirnya tersungkur lemas karena kehabisan begitu banyak  darah. Tunggal Siregar lalu menjelaskan apa yang terjadi pada Kepala Sipir Penjara. Meski sempat kuatir Tunggal Siregar meraih pistol yang kebetulan terletak diatas meja, namun melihat Tunggal Siregar memang tidak bermaksud anah-aneh, Kepala Sipir segera mengamankan pistol tersebut.

Akibat tindakan tersebut Tunggal Siregar akhirnya dikenakan pasal perbuatan mencoba menghilangkan nyawa orang lain dan hukuman tambahan dikurung dalam sel 1 x 0,5 meter selama seminggu, dan hanya diberi makan satu kali dalam sehari.  Di dalam sel khusus tersebut, beliau mengalami penderitaan yang teramat sangat karena hanya bisa tidur dalam posisi jongkok atau bertekuk lutut, tanpa bisa meluruskan badan sama sekali. Saat itu beliau berdoa agar tidak seorangpun keturunannya merasakan kehidupan di penjara.

Namun setelah persistiwa tersebut situasi penjara menjadi semakin kondusif. Sejak itu sosok Tunggal Siregar  dianggap sebagai pahlawan di antara sesama napi, karena menghormati keberanian beliau. Setelah menanti cukup lama akhirnya beliau bisa keluar dari penjara, meski sempat kaget melihat bajunya yang dititipkan saat masuk dulu sudah robek-robek dimakan rayap, untungnya narapidana lain mau berbagi pakaian ganti.


Kembali Pulang 

Setelah keluar dari penjara Tunggal Siregar baru kembali pulang kampung setelah anak dari istri pertamanya berusia sekitar 5 tahun. Sepanjang jalan, matanya berkaca-berkaca, ia merindukan anak nya Guntur Siregar, orangtuanya, adik-adiknya, dan semua teman-teman sepermainannya dulu. Rasanya bus yang ditumpanginya begitu lambatnya, ingin rasanya ia terbang bersama angin agar segera sampai.

Saat hendak memasuki pintu rumahnya,  persis di halaman rumah dilihatnya ada beberapa  anak kecil laki-laki usia sekitar lima tahunan, bertelanjang dada bermain pedang-pedangan. Karena  ia tidak mengenal siapa anak itu, akhirnya tidak ia hiraukan samasekali.

Pas di mulut pintu, beliau mengucap salam, dan berteriak “Ayah...Uma...Aku pulang...!” Demi mendengar suara yang tidak asing itu, kedua orangtuanya berhamburan keluar dari dapur memeluk anak sulungnya yang telah sekian lama tidak ada kabar berita, bagaikan ditelan bumi. Tangis anak beranak pecah seketika, mereka saling melepas rindu. Lalu beliau bertanya, “Mananya...si Guntur ....?”
Ibunya menjawab, “Itulah anakmu, si Guntur Siregar yang sedang main pedang-pedangan di luar sana” sambil menunjuk si anak kecil tersebut.

Beliau bergegas keluar rumah, dan langsung menggendong anak itu. Si Anak meronta-meronta  menangis minta dilepas dari pelukan Tunggal Siregar, karena ia tidak mengenal siapa orang yang tiba-tiba datang memeluknya. “Aku ini ayahmu nak” beliau berkata lirih sembari menangis terisak-isak, melihat anaknya tak mengenal beliau, sambil tetap dipeluknya erat sambil terus menangis sesenggukan. Kedua orang tua beliau ikut menangis haru melihat mereka, sambil berusaha meyakinkan anak itu ahwa Tunggal Siregar memang ayahnya.

Seiring waktu, lama-kelamaan itu Guntur Siregar akrab dengan beliau, yang sempat hilang tanpa kabar berita dan dan mulai suka bermanja-manja. Sejak itu pula Guntur Siregar menjadi anak yang jauh lebih periang dari sebelumnya.


Merantau Untuk Kali Kedua

Tak lama di kampung, setelah memulihkan kondisi psikisnya karena lama berada di penjara, maka Tunggal Siregar memutuskan untuk kembali merantau. Kalau pada perjalan pertama dia ke Rantau Prapat maka kini tujuannya adalah ke Padang Sidempuan.

Saat itu beliau untuk sementara tinggal di tempat kost adiknya. Kebetulan rumah kost tersebut adalah kepunyaan Baginda Karapatan. Adik Tunggal Siregar pun memberitahukan pada abangnya bahwa pemilik kostnya memiliki beberapa anak gadis yang salah satunya terkenal karena kecantikan, kecerdasan dan tentu saja keramahannya. Dan si adik tak henti-henti mengusulkan abangnya agar tak terus larut dalam kesedihan setelah perantauannya yang berakhir gagal dan peristiwa kematian istri pertamanya. 

Cinta di atas segalanya 

Setelah perkenalan, secara jujur Tunggal Siregar menjelaskan kondisinya, yakni anak desa, tidak bersekolah, duda dan punya satu anak lelaki. Saat itu Mayurida Pohan yang memang polos menerima kondisi Tunggal Siregar secara apa adanya, justru malah terkesan semakin jatuh hati campur kasihan melihat nasib Tunggal Siregar.

Mengetahui putrinya dan Tunggal Siregar menjalin hubungan, Baginda Karapatan marah besar pada putrinya. Jauh didalam hatinya dia tidak ingin anaknya yang berpendidikan dan juga berprestasi serta sangat diandalkan dalam bisnisnya ternyata berhubungan dengan duda yang tak jelas asal usulnya.

Kawin Lari

Namun kemarahan Baginda Karapatan hanya dianggap angin lalu oleh Mayurida Pohan, alih-alih mundur, Mayurida Pohan malah merencanakan untuk kawin lari. Sementara Nursiti Siregar hanya bisa pasrah dengan kenekatan putrinya tersebut. Dalam hal ini, Mayurida Pohan bukan hanya mengabaikan ayahnya, namun juga mengabaikan semua saran saudaranya yang ternyata juga tidak menyetujui keputusannya meneruskan cinta terlarang.

Kehidupan Pernikahan

Menjalani hidup berumah tangga tanpa restu orangtua bukan lah hal yang mudah, apalagi keluarga besar Mayurida Pohan satupun tidak ada yang setuju dengan keputusan yang beliau ambil. Dalam pelarian mereka, Tunggal Siregar bekerja serabutan apa saja, demi mencari nafkah keluarga. Seiring perjalanan  waktu saat keempat anaknya lahir, akhirnya Baginda Karapatan bisa menerima putrinya Mayurida Pohan apa adanya, dan melupakan semua yang telah terjadi. Karena Tunggal Siregar tidak punya pekerjaan tetap, maka sekeluarga mereka tinggal cukup lama bersama Baginda Karapatan, dimana  Tunggal Siregar akhirnya ikut dilibatkan  membantu bekerja di perusahaan Baginda Karapatan. Bahkan belakangan Baginda Karapatan dengan sukarela menyekolahkan cucu tirinya Guntur Siregar layaknya cucu kandung sendiri.

Mayurida Pohan dan Tunggal Siregar

Hijrah Ke Medan

Karena keinginan yang kuat untuk hidup mandiri, Mayurida Pohan sekeluarga akhirnya sepakat hijrah ke Medan. Di Medan lah Tunggal Siregar akhirnya mencari nafkah dengan usaha sewa buku komik yang berlokasi di bawah pepohonan yang berjajar di Lapangan Merdeka. Setiap pagi beliau dengan sepeda ontelnya membawa sebuah peti persegi sekitar ukuran setengah meteran dengan boncengan sepedanya. Peti itu berisi berbagai buku komik, sementara anak-anaknya secara bergantian sering ikut menyertainya, dan didudukkan di atas peti tersebut. Jika dilihat sepintas lalu persis seperti atraksi akrobat, agar tidak anak-anaknya biasanya berpegangan erat pada leher sang  ayah.

Usaha Persewaan Komik

Sesampai di Lapangan merdeka komik komik tersebut disusun sedemikian rupa di rak-rak buku layaknya penjual koran sekaligus bisa diangkat-angkat dan disimpan di sekitar pergudangan stasiun kereta api. Ada sebuah kursi panjang yang disediakan bagi pelanggan yang membaca komik. Bila turun hujan persewaan komik tidak bisa buka, karena atapnya hanya mengandalkan rerimbunan pohon-pohon besar dan rindang yang tumbuh di sekeliling Lapangan Merdeka.

Namun jangan harap pertanyaan tentang komik akan dijawab oleh Tunggal Siregar, beliau hanya tahu  gambarnya saja itupun kadang hanya gambar cover. Kenapa ? ya  karena beliau memang tidak bisa membaca sama sekali . Itu juga yang menjadi sebab kenapa anak-anaknya selalu dibawa beliau bergantian. Selain agar ada teman ngobrol, anak-anaknya juga diberdayakan agar bisa membantu mencarikan nama-nama komik pesanan pelanggan. Saat datang komik komik baru yang dipesan beliau, maka anak-anaknya  pun berebutan membacanya, aroma khas komik baru  itu rasanya harum semerbak bagi anak-anaknya. Hobi membaca tersebut, akhirnya menjadi kebiasaan anak beliau khususnya Erwin Siregar.  

Menjadi Penarik Becak

Namun malang tak dapt ditolak dan untung tidak dapat diraih, usaha komik ternyata tidak bisa bertahan lama.  Disebabkan ada peraturan Pemerinta Kota yang melarang pengusaha kecil persewaan komik membuka usahanya. Kali ini Tunggal Siregar banting stir alih profesi menjadi penarik beca. Erwin Siregar masih jelas mengingat bagaimana Tunggal Siregar,  ayahnya mengayuh beca hingga jari-jari kaki ayah menjadi kapalan, dan bentuknya berubah lebih mirip seperti segi tiga.

Anak-anak Ikut Membantu Orang Tua Dengan mengepul Barang Rongsok.

Karena tetap saja tidak cukup, demi menambah penghasilan rumah tangga, keempat anaknya selepas sekolah keluar rumah menjadi pemulung barang-barang bekas. Saat itu yang namanya kaca atau beling adalah termasuk barang yang punya nilai ekonomis atau layak jual, yang sangat diminati para pengepul barang rongsok.

Dengan bermodalkan karung kecil dan sebuah piring kaleng bekas, keempat anak tersebut pun turun ke sungai atau parit busuk yang letaknya persis di belakang rumah adik Mayurida Pohan alias Nurlena Pohan. Piring itu berfungsi untuk menyekop atau menyendok  dasar parit busuk itu agar bisa menemukan serpihan-serpihan kaca rumah tangga orang yang bisanya dibuang begitu saja ke sungai ataupun parit busuk.

Erwin Siregar sering merasa perlindungan Tuhanlah yang menjaga mereka berempat sehingga tidak terluka saat mencari pecahan-pecahan kaca. Putra Nurlena Pohan alias Syafril  sangat ingin membantu sepupunya mencari serpihan kaca di dasar parit itu namun dilarang oleh Nurlena Pohan. Karena berusaha tetap solider maka, Syafril hanya menjadi penonton di sisi sungai ataupun parit busuk persis di belakang rumahnya. Meskipun Syafril dan keluarga secara ekonomi terhitung orang berada, karena posisi ayahnya yang menjadi pejabat di Kepolisian, namun hubungan persaudaraan anak-anak Mayurida Pohan dan anak-anak Nurlena Pohan tetap kompak dan akrab tanpa mempermasalahkan kaya atau miskin.

Semua barang-barang rosok yang diperoleh dikumpulkan oleh anak-anak di bawah tempat tidur yang terbuat dari lembaran-lembaran papan, tanpa kasur dan hanya beralaskan sehelai tikar pandan. Biasanya menjelang satu bulan maka penuhlah semua timbunan barang rongsok di bawah tempat tidur. Lalu berbagai barang rosngok itu dimuat ke atas beca untuk dibawa Tunggal Siregar ke pengepul barang rongsok. Uang hasil penjualannya semua diserahkan oleh anak-anak pada Mayurida Pohan, lalu disisihkan oleh beliau sebagian untuk jajan keempat anaknya.

Menjadi Buruh Bongkar Muat

Menyadari profesi sebagai tukang beca tidak akan bisa merubah nasib jauh lebih baik, akhirnya Tunggal Siregar mencoba melamar pekerjaan sebagai buruh bongkar muat  barang, merangkap tukang bersih-bersih di perusahaan bus Batang Pane melayani trayek Medan-- Padang Sidempuan. Berkat kedisiplinan, kerajinan dan keuletannya bekerja ia mendapatkan penghasilan  yang jauh lebih baik ketimbang teman sekerja sesama buruh bongkar muat barang.

Seragam Bagi Empat Bersaudara

Karena kehidupan yang sangat sulit, Mayurida Pohan menjelang lebaran selalu membeli bahan kain yang sama bagi celana dan baju bagi keempat putranya. Kadang keempat putranya keberatan dengan pakaian tersebut, namun Mayurida Pohan mengingatkan bahwa seragam itu agar kelak mereka berempat tetap kompak.

Untuk sepatu, sengaja dibelikan yang berbahan karet dan dimasa itu sering dinamakan Partakos, sehingga sangat kuat meski kadang harus terendam air saat musim hujan. Bahkan saking kuatnya, salah satu putranya Erwin Siregar bercerita sengaja menginjak batu-batu yang runcing dan tajam agar memiliki alasan untuk segera diganti. Kini mengingat itu semua, kadang muncul sesal betapa saat kanak-kanak kita sering sekali tidak tahu bagaimana susahnya orang tua mengupayakan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya.


Promosi Menjadi Kepala Cabang Bus Batang Pane

Suatu ketika, Direktur Utama yang berdomisili di Padang Sidempuan menyuruh Tunggal Siregar menghadapnya. Beliau  heran dan bingung apa gerangan  terjadi sehingga dia disuruh menghadap Direktur Utama segala. Tentu itu tidak pernah terbayangkannya, karena ia menyadari ia hanya pegawai rendahan yang tidak mungkin ada sangkut pautnya dengan Direktur Utama. Rupanya Sang Direktur Utama menawarkan beliau jabatan sebagai Kepala Kantor Cabang Perusahaan Bus Batang Pane, karena Kepala Cabang Medan sebelumnya terlibat korupsi uang perusahaan, sehingga sesegera mungkin harus digantikan. Beliau kaget setengah mati mendengar tawaran itu, bagi dia itu bagaikan mendengar petir di siang bolong.

Betapa tidak, ia teringat bahwa ia tidak bisa baca tulis, dan berhitung sama sekali. Apa yang dia jalankan selama ini hanyalah bekerja sebaik baiknya, dan sama sekali tidak pernah bermimpi yang muluk-muluk. Apalagi dia tidak pernah duduk di bangku sekolah sama sekali. Sementara Kepala Cabang yang akan digantikannya adalah seorang alumnus Fakultas Ekonomi, yang memiliki gelar “Drs”. Beliau  bahkan lebih sering mengeja “Drs” sebagai “Doktorhandus”, dengan tambahan huruf “H”.

Demi menjaga kesan baik dan agar Sang Direktur Utama tidak tahu bahwa beliau tidak tahu baca tulis, maka beliau  pun pura-pura minta waktu dan bermusyawarah dengan istrinya alias Mayurida Pohan terlebih dahulu, dengan alasan ingin untuk mempertimbangkan apakah tawaran Sang Direktur Utama diterima atau tidak.

Sang Direktur Utamapun memberi dia waktu sekitar seminggu untuk menawab tawaran tersebut, untuk memutuskan apakah posisi Kepala Cabang Medan ini perlu ditawarkan pada kandidat lainnya. Beliau menyetujui waktu seminggu yang diberikan. Keluar dari ruang rapat direktur utama, hati beliau berbunga-bunga layaknya berjalan di atas awan, ia membayangkan betapa bahagianya istrinya jika mendengar kabar bahagia yang tidak pernah terpikirkannya sama sekali selama hidupnya.

Belajar Membaca dan Menulis

Saking girangnya beliau, sepulang kerja ia bergegas ke toko buku, dan membeli buku tulis besar dan tebal seukuran folio, buku ini sering disebut buku kustum, yang sering dipakai siswa yang kursus jahit menjahit, dan digunakan untuk menggambar pola-pola model baju dll. Beliau tidak bisa membedakan mana buku tulis biasa dan mana buku tulis kustum. Semua buku itu sengaja dibeli  karena di malam hari dia ingin belajar  pada istrinya  baca tulis, dan matematika sederhana. Dan yang tidak kalah penting, ia juga minta diajari bagaimana membuat tandatangan agar tandatangan terlihat elegan dan memiliki pola yang konsisten. Ia bertekad dalam satu minggu ia harus bisa menguasai semua pelajaran tersebut plus tandatangan tentu saja, agar tenggat waktu yang ditetapkan sang direktur utama jangan dilewatkan begitu saja.

Saat beliau pulang, Mayurida Pohan terkaget-kaget melihat suaminya membawa-bawa buku kustum segala. Lalu beliau pun memaparkan kabar bahagia itu. Mayurida Pohan  seakan bermimpi mendengar cerita suaminya dan malam itu juga dengan penuh sukacita dan kesabaran Mayurida Pohan  mengajari semua pelajaran yang dibutuhkan suaminya. Untungnya Tunggal Siregar tekun mengikuti apa apa yang diajarkan istrinya. Tidak sia sia memang  Mayurida Pohan dahulu sering juara kelas, dan kini dia  mampu mengajari suaminya. Bahkan sepertinya Mayurida Pohan tahu betul  metode dan teknik  belajar mengajar  kilat dan praktis agar suaminya mudah mencerna pelajaran yang diberikan dalam waktu seminggu. 

Berkat kegigihan dan besarnya  keingintahuan  Tunggal Siregar terhadap hal-hal yang baru dan menantang, akhirnya dalam waktu seminggu beliau bisa menguasai baca tulis dan matematika dasar. Dan tentu saja serta  tanda tangan yang polanya konsisten. Uniknya kualitas tulisan latin beliau bahkan lebih baik dibanding tulisan tangan anak-anaknya.

Maka persis setelah seminggu, beliau pun menghadap Sang Direktur Utama dengan penuh percaya diri dan penampilan bak selayaknya Kepala Kantor yang sebenarnya , meski pakaian yang dikenakannya adalah pakaian rombeng dan sepatu yang dibelinya di Pajak Sambu. Sejak itu resmilah beliau menjadi pejabat Kepala Kantor Bus Batang Pane. Semua teman sekerjanya respek dan mendukung karena selama ini dia memang pandai bergaul dan lurus lurus saja. Hingga beliau meninggal dunia tidak ada seorang pun orang sekantornya yang tahu bahwa dia tidak pernah duduk di bangku sekolah sama sekali.

Bahkan ketika kawan sekantornya menanyakan  ia tamatan sekolah apa, dan dia jawab dengan jujur, justru mereka yang bertanya tidak mempercayai jawabannya sama sekali. Beliau biasanya diam saja, karena dia memang selalu menjawab apa adanya

Pindah Ke Perusahaan Bus Sampagul

Berselang  kurang lebih lima tahun menjabat Kepala Cabang Perusahaan Bus Batang Pane, mengingat kinerjanya yang lumayan bagus, lalu sebuah Perusahaan Bus Sampagul yang jauh lebih besar dan maju ketimbang bus Batang Pane, datang menawarikan  beliau agar bersedia  menjabat Kepala Cabang Perusahaan Bus Sampagul. Kepala Cabang yang lama diberhentikan karena dinilai kurang cakap manangani  perusahaan sehingga sulit bersaing. Peluang tawaran bagus ini tentu tidak disia-siakan beliau mengingat  kebutuhan hidup  yang terus saja semakin meningkat. Juga karena keempat anaknya  anaknya bersekolah semua. Lalu beliau pun minta izin dan pamit secara baik-baik kepada Direktur Utama Batang Pane, dan ternyata pihak perusahaan lamanya rela melepas kepindahan ayah dengan tangan terbuka, tanpa ada masalah sedikitpun.

Setahun beliau mengepalai Perusahaan Bus Sampagul, maka perusahaan tersebut  semakin maju pesat, bahkan yang sebelumnya trayeknya hanya melayani Medan - Padang Sidempuan, akhirnya melebarkan sayap hingga trayek Medan- Jakarta. Meski memiliki jabatan sebagai Kepala Cabang tidak berarti beliau  memanfaatkan kedudukannya untuk memberi fasilitas gratis pada keluarganya sesukanya. Sesekali saja anak-anak beliau memanfaatkan bus tersebut,seperti saat Erwin Siregar dan Syafril mengunjungi rumah bibinya  di Bukit Tinggi semasa liburan sekolah. Satu hal yang selalu diingat Erwin Siregar adalah disiplinnya beliau saat bekerja. Beliau telah hadir pagi-pagi sekali sebelum semua pegawai yang lain datang, dan pulang belakangan setelah pegawai yang lain pulang. Pernah suatu pagi, beliau melihat kantor belum dibuka, sementara hari telah terang benderang, tanpa basa basi beliau menerjang  pintu kamar tidur penjaga kantor tersebut hingga lepas kunci engselnya. Sontak  sang pegawai kantor tersentak bangun ketakutan, dan minta maaf, lalu  beliau menasehati dia dengan  baik-baik  agar tidak mengulangi lagi kebiasaan buruknya.

Keluarga Besar Berdatangan

Saat para sanak keluarga di kampung pada tahu bahwa Tunggal Siregar telah menjabat sebagai Kepala Perusahaan Bus Sampagul, maka banyaklah para sanak keluarga berdatangan ke Medan dengan menumpang Bus Sampagul, dengan berbagai kepentingan masing masing. Maka jadilah rumah Tunggal Siregar bak losmen penginapan sementara, sehingga rumah tidak pernah sepi disinggahi para keluarga, yang kuatir akan keamanan Medan serta untuk menghindari tersesat di kota besar.

Mayurida  Pohan menyambut semua sanak keluarga yang berkunjung dengan sukacita, semua diperlakukan sama, baik keluarga dari pihak Tunggal Siregar atau pihak beliau. Saking santernya kebaikan Mayurida Pohan melayani mereka , maka saban waktu ada terus saja sanak keluarga yang berkunjung ke Medan, bahkan ada yang sekadar ingin  pelesiran atau melancong melihat kota Medan saja. Ada juga yang minta dijadikan pembantu rumah tangga Mayurida Pohan, meski tidak digaji pun  mereka bersedia, yang penting tinggal di kota Medan. Tidak sedikit ada orang yang mengaku-ngaku
“keluarganya keluarga” berkunjung ke rumah kami dengan berbagai kepentingan, namun semua itu tetap dilayani Mayurida Pohan dengan sukacita.

Nasihat Tunggal Siregar

Pencapaian karir Tunggal Siregar hingga bisa menjabat sebagai Kepala Cabang, meski samasekali tidak pernah duduk di bangku sekolah menjadi inspirasi bagi beliau saat menasehati anak-anaknya. Beliau sering berkata, “Lihat lah aku, anak dusun yang tidak pernah duduk di bangku sekolah pun bisa diangkat  Kepala Cabang, seharusnya kalian yang sudah sekolah tinggi tidak lagi tinggal di Indonesia, tapi justru tinggal dan sukses di Amerika, Jerman, Prancis dan lain sebagainya”. Apa yang dikatakan beliau itu bisa jadi memang benar adanya, karena kenyataannya menurut Erwin Siregar pencapaian karir anak-anak beliau yang malah pernah duduk di sekolah tinggi  belum ada yang bisa mengimbangi karir puncak beliau.

Bagi beliau keuletan, kegigihan, kesabaran, ketabahan, dan kejujuran di atas segala-segalanya. Percuma punya gelar titel berderet-deret di depan dan di belakang nama tidak memiliki hal-hal mendasar yang dia sebutkan.

Erwin Siregar sendiri akhirnya menyadari,semua yang dijelaskan beliau itu memang benar adanya, sebelum perihal kecerdasan emosional ramai dibicarakan para pakar sebagai tolok ukur kesuksesan hidup seseorang, Tunggal Siregar sudah mempraktekkan dalam kehidupannya justru karena ia menyadari  minimnya bekal pendidikan yang dia punyai. Maka jalan satu-satunya adalah dengan menyempurnakan etos kerja.

Nasihat Mayurida Pohan

Kepada anak-anaknya, Mayurida Pohan sering memberi nasihat agar mengikuti jejak saudara lelakinya yakni Maradjo Pohan, Oloan Pohan dan Syaiful Parmuhunan Pohan, yang berusaha untuk merantau, kerja keras dan sekolah setinggi mungkin. Selain itu agar meniru bagaimana mereka sembilan bersaudara selalu kompak meski menghadapai berbagai masalah kehidupan.



Cerita Lain : Hasan, Nunung dan Maraonom

Saat Ayah bekerja di Perum Pos dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia), Mayurida Pohan dan Nurmina Pohan meminta anak-anak mereka Hasan dan Nunung agar dimasukkan sebagai pekerja di kantor. Ayah meminta tolong pada sahabat-sahabatnya untuk memasukkan keponakan-nya bersama-sama dengan salah satu kerabat dari keluarga Nursiti Siregar bernama Maraonom.

Tahun-tahun berlalu, hanya Maraonom yang benar-benar tekun meneruskan karirnya sampai dengan pensiun. Sementara Hasan dan Nunung karena berbagai sebab akhirnya keluar begitu saja. Nunung bahkan sempat terlibat kasus penyalah gunaan dokumen dan paket pos. Untuk menjadi pegawai Perum Pos dan Giro memang dibutuhkan sosok amanah yang dapat menjaga titipan pelanggannya. Maraonom juga terus menjalin hubungan kekerabatan dengan meluangkan waktu untuk selalu mampir ke rumah Mayurida Pohan saat-saat istirahat dari bertugas.

Cerita Lain : Bertetangga Dengan Adik Sendiri

Karena di satu masa pernah berdekatan tempat tinggal dengan Nurmina Pohan, maka anak-anak mereka bisa dibilang cukup dekat dan bergaul sehari hari. Bukan cuma saling berkunjung, mereka juga cukup sering saling bertukar menu dan saling bertukar dapur. Namun sesuai cerita Erwin Siregar, mereka berempat tetap harus memantau situasi mengingat suami Nurmina Pohan alias Zulkifli Daulay dikenal sebagai sosok yang agak temperamental.

Cerita Lain : Perkelahian Hasan dan Arman

Meski Mayurida Pohan bersaudara sangat akrab satu sama lain, namun anak kesatu dan kedua dalam keluarganya dikenal selalu berkelahi satu sama lain yakni Hasan dan Arman.  Sementara anak ketiga dan keempat relatif berkarakter lebih tenang, yakni Erwin dan Zulfan. Kalau melihat kedua anaknya berkelahi, Mayurida sering sekali menangis.


Erwin, Zulfan, Arman dan Hasan


Cerita Lain : Putri Pilihan Nursiti Siregar

Saat Baginda Karapatan meninggal dan sesuai kesepakatan maka Nursiti Siregar diberi kesempatan untuk memilih dengan putra dan putri yang mana beliau ingin tinggal. Beliau memilih Mayurida Pohan. Karena rumahnya cukup sempit, maka diputuskan untuk membeli rumah dibagian belakang untuk tempat tinggal Nursiti Siregar. 




Cerita Lain : Memanfaatkan Teh Tersisa

Suatu hari datang lima orang tamu yang merupakan sahabat-sahabat Tunggal Siregar saat mereka masih di Jalan Perjuangan. Mayurida Pohan langsung membuat teh manis para tamu tersebut. Setelah para tamu pulang, ternyata tidak semua teh manis dicangkir habis diminum.

Tak lama berselang saat beliau mau tidur siang, mendadak datang lagi tamu yang lain. Kali ini mereka cuma berdua. Mayurida Pohan langsung kembali ke dapur mengambil dua cangkir baru, lalu menuangkan sisa isi lima cangkir rombongan tamu pertama tadi ke dalam dua cangkir baru tersebut. Lalu terhidanglah jamuan dua cangkir teh manis berikutnya dan beliau pun segera masuk kembali ke kamar melanjutkan tidur siangnya.

Cerita Lain : Mayurida Pohan dan Anak Monyet

Pada suatu hari Guntur Siregar, anak tiri Mayurida Pohan datang dari Gunung Tua ke Medan, dengan membawa seekor bayi monyet, yang masih merah. Anak monyet itu dia bawa karena ia teringat Zulfan Siregar adik tirinya pernah merengek minta monyet agar dapat dipelihara. Guntur Siregar berkisah anak monyet itu ia dapatkan dgn menembak induknya, jatuhlah sang induk dan anak yg masih dalam gendongannya sambil terus mengisap puting susunya induknya yang sedang sekarat.

Demi mendengar kisah itu Mayurida merasa iba. Saban hari ia beri susu bayi SGM hingga bayi monyet tersebut perlahan lahan tumbuh besar.  Monyet ini sangat manja juga jinak pada Mayurida Pohan, bahkan tidur pun mereka seranjang. Tapi ya namanya juga monyet,  mahluk satu ini memang suka usil, akibatnya para tetangga mengeluh karena merasa makanan mereka sering hilang.

Melihat betapa sayang Mayurida Pohan pada monyet kecilnya, akhirnya putra beliau Arman Siregar bersama teman-temannya membuang monyet itu. Mengetahui monyetnya hilang, Mayurida Pohan merasa sedih sekali. Terus menerus cemas dan sedih berkepanjangan, akhirnya teman Arman Siregar yang tidak tega, memberitahu Mayurida Pohan bahwa dialah bersama sama Arman Siregar yang membuang  monyet tersebut.

Bukannya mereda, beliau malah menangis semakin menjadi jadi dan merepet berkepanjangan pada putranya Arman Siregar.  Dalam hidupnya peristiwa Itu adalah salah satu kesedihan yang paling memilukan. Anehnya Arman Siregar hanya diam membisu,sepertinya dia tidak merasa bersalah dan berdosa melukai hati ibundanya.

Cerita Lain : Mayurida Pohan dan Anak Burung

Suatu hari, di halaman rumah Mayurida Pohan, ada sangkar burung gereja jatuh dr pohon, terlihat anaknya yang masih merah dengan bulu-bulu yang belum tumbuh sempurna. Karena kasihan maka Mayurida Pohan, memberi makanan setelah sebelumnya dikunyah terlebih dahulu. Burung ini beliau rawat penuh kasih sayang, sampai bulu bulunya tumbuh dan mulai belajar terbang. Setiap hari burung itu terbang keluar rumah, anehnya setiap sore sore kembali pulang ke laci mesin jahit Mayurida  Pohan. Jika beliau sedang menjahit kadang dia sering hinggap di bahu atau bahkan di kepala. Lambat laun Si Burung sudah seperti bagian dari keluarga.

Namun malang tidak bisa ditolak, sekali waktu Sang Burung menemui ajalnya karena dimakan kucing garong, maka beliau lagi lagi bersedih dan menangisi kematian burung yg sudah dia anggap layaknya anaknya sendiri.

Mengenang peristiwa itu, salah satu putra beliau, Erwin Siregar jika menemui sangkar burung jatuh. Selalulah ingatan nya melayang pada ibunya Mayurida Pohan. Betapa lembut hati beliau, dan Erwin Siregar berdoa semoga arwah beliau di alam sana dipertemukan dengan  monyet dan burung kesayangannya.

Berpulangnya Mayurida Pohan

Saat Ayah menangisi jenazah Mayurida Pohan, sesuai dengan cerita Erwin Siregar, beliau mengatakan bahwa Mayurida Pohan lah saudara yang paling disayanginya melebihi saudara-saudaranya yang lain. Ayah juga memuji karakter Mayurida Pohan yang tidak pernah bertikai dengan sesama saudaranya. Dan hal tersebut tidak lain karena sifat nya yang penyabar, lembut dan juga periang. Secara karakter Mayurida Pohan lah yang paling mirip dengan ibunya alias Nursiti Siregar.

Bukan hanya Ayah yang perhatian, abang Mayurida Pohan, yakni Oloan Pohan juga rajin mengirim surat-surat sebagai nasihat pada adiknya saat menghadapi pasang surut kehidupan rumah tangga. Pada dasarnya nyaris semua saudara Mayurida Pohan memang kurang sreg dengan Tunggal Siregar, namun Mayurida Pohan tetap menjaga keutuhan pernikahan mereka sehingga maut memisahkan. Surat-surat dari abangnya,  beliau susun dengan rapi dan disimpan baik-baik.

Adik bungsunya alias Nurlena Pohan juga begitu terpukulnya meninggalnya kakaknya tersebut, apalagi baginya Mayurida Pohan  sudah dianggapnya sebagai pengganti ibunya sendiri. Saat kecil Mayurida lah yang menggendong adik bungsunya kemana-mana.

*90 % cerita ini merupakan tulisan langsung dari Erwin Siregar
*Anekdot mengenai teh daur ulang sumbangan Rudi Ramon Pohan
*Sisanya merupakan tambahan penulis dari sana sini dengan nara sumber Siti Hadjar Lubis.  




No comments: