Sunday, September 18, 2016

Riwayat Baginda Karapatan #11 dari 17 Anak ke #3 : Maradjo Pohan (Sutan Nauli)


Menikah dengan istri pertama : Djamilah Pulungan.
Menikah dengan istri kedua  Siti Khadijah.
Menikah dengan istri ketiga : Seorang Wanita Manado bermarga Mohede (nama masih belum diketahui).

Putra dan Putri sbb;
  • Idris Baginda Pohan (dari istri pertama)
  • Ida Farida Pohan (dari istri kedua)
  • Desi Yanti Pohan (dari istri kedua)
  • Yani Pohan (dari istri kedua)
Asal usul Rumah di Jalan Gandapura 8


Saat  Belanda gagal dalam clash kedua, dan terusirnya mereka beberapa masa setelah proklamasi, Bandung sebagaimana kota-kota lain rusuh tidak terkendali. Aset-aset Belanda seperti rumah dengan segera diduduki massa.  Termasuk sebuah rumah besar di jalan Riau sempat diduduki Ayah. Namun yang berhasil Ayah duduki hanya lantai dua saja, karena Ayah masih sendiri dan melihat abang ayah alias Maradjo Pohan lebih membutuhkan, maka Ayah memberikan rumah tersebut pada abangnya. Konon kabarnya Maradjo Pohan setelah beberapa saat  menjual rumah tersebut dan menggunakan dana pembeliannya membeli sebuah rumah di daerah elite yakni Gandapura No 8.


Maradjo Pohan


Sambutan Hangat

Saat kami pertama kali pindah kembali ke Bandung dari Denpasar sekitar tahun 1980, dengan menaiki kereta api jurusan Surabaya - Bandung. Di Stasiun Bandung, Maradjo Pohan yang biasa kami panggil Uwa Gandapura, , dengan wajah gembira menyambut kami, bersama VW Variant  1968 berwarna krem kesayangan beliau. Bukannya langsung menuju Jln Gandapura 8, Uwa malah mengajak kami keliling Bandung.

Terkesan sekali melihat kota kelahiran 12 tahun sebelumnya,  yang selalu ada dalam mimpiku, jalan yang turun naik, rumah-rumah bekas Belanda yang asri, pohon2 yang rindang, udara sejuk akhirnya kami melewati Jalan Dipati Ukur, lalu Uwa menunjuk Universitas Padjadjaran, dan mengatakan "Ucok, nanti kau kuliah disitu ya amang". Lalu lanjut ke Jalan Ganesha, dan menunjuk kampus Institut Teknologi Bandung, dan berkata "Ade nanti kau kuliah disitu ya amang". Kami diam saja mendengar kata2 Uwa yang rasanya tidak mungkin kami capai itu.

1982, Bang Ucok ternyata masuk ke Universitas Padjadjaran jurusan Manajemen, dan meski sedikit terlambat aku menyusul kuliah di Paska Sarjana, Institut Teknologi Bandung tahun 1996 jurusan Software Engineering. Entah kata2 Uwa adalah doa, atau kami menjadi terobsesi karenanya, namun setiap hal itu teringat kami terus termotivasi hingga kini.

Belakangan VW Variant Double Barrel Made in USA yang dibawa beliau saat pulang dari ekspedisi perdamaian Pasukan Garuda di Kongo, dijual oleh istri ketiga Maradjo Pohan, lalu aku beli dari papa,  dan akhirnya menjadi milikku. Namun saat menikah karena istri tidak terbiasa menggunakan stir kiri, maka aku jual kembali ke abangku. Sayang tape aslinya sudah hilang akibat di reparasi oleh sepupuku Royce Arnold Pohan, dan menurut Maradjo Pohan, tape tersebut lalu tak jelas dimana keberadaannya.

Tidak Semua Tentara Berperang

Saat aku masih SMA, suatu saat beliau mampir ke rumah kami di Awiligar. Tahu aku mau pergi cukuran, beliau malah menawarkan diri untuk mencukur aku. Saat itu aku selalu berpikir yang namanya veteran perang kemerdekaan pasti ikut bertempur. Jadi pas dicukur dengan penasaran aku bertanya berapa banyak Belanda yang ditembak mati oleh beliau.

Eh beliau senyum-senyum dan lalu berkata bahwa sebenarnya tidak pernah menembak Belanda, lantas beliau bercerita tidak semua tentara pergi perang, sebagian di departemen logistik, zeni konstruksi, dan kebetulan beliau memang di garis belakang. Saat itu, salah satu tugas beliau adalah mencukur rambut gerilyawan yang sering-sering  gondrong dan bahkan gimbal serta tentu saja kutuan.

Saat perang usai, maka TNI dibentuk dan setiap gerilyawan diminta bergabung, namun pangkat boleh memilih sendiri sendiri, ada yang pilih jendral dan beliau memilih pangkat lain. Alhasil beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kapten Infanteri

Surat Sakti Maradjo Pohan

Menjelang lulus SMA, aku bimbingan di Saut Santosa, salah satu bimbingan kelas malam paling top di Bandung. Saat itu sekitar tahun 1987, seperti biasa dengan mengendarai motor butut Suzuki A100 eks Pos dan Giro yang suara khasnya sangat dinantikan remaja yang merindukan surat dr kekasihnya akupun meluncur.

Namun malang tak dapat ditolak, mendadak ada razia diujung jalan. Tak membawa STNK, dan juga tak memiliki SIM, akupun memutar balik dan memutar gas sekencang-kencangnya. Tak mau kehilangan aku, pickup polisi dengan bak terbuka, langsung memotong jalur motor, disusul dengan terhempasnya aku ke aspal.

Lalu serombongan polisi turun, yang satu merampas motor, yang lain memaksa aku menyandar di pickup dengan membelakanginya, lalu menggeledah aku dari ujung kepala sd ujung kaki, sementara yang lain memeriksa tas diktat bimbingan. Singkat kata motor kesayangan ditahan, dan dengan lunglai aku berjalan kaki kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Bang Ucok abangku, menghiburku dan lalu atas nasihat papa, malam itu juga kami menuju rumah Maradjo Pohan. Saat itu aku merasa heran, dengan saran papa, kira2 apa yang akan dilakukan beliau,  bukankah beliau tentara pensiunan yang sudah berusia 60 sekian.

Dengan tenang beliau, mengeluarkan secarik kertas, lalu menulis dengan mantap, kira2 isinya, tolong jangan diperpanjang dan segera lepaskan motor keponakan saya, dst, lalu dibagian bawah tertulis Kapten Infanteri Marajo Pohan dan serangkaian nomor yang mungkin merupakan nomor registrasi tentara beliau.

Kira-kira menjelang jam sepuluh malam kami pun memasuki Kantor Polisi sektor Cihapit, menjelaskan maksud kami, menyerahkan surat Uwa. Polisi jaga yang bertugas, terdiam, dan lalu tanpa banyak kata2, beliau melepaskan kami membawa kembali motor tersebut.

Rahasia Bagiku Namun Bukan Rahasia Bagi Orang Lain

Di Medan, selesai prosesi pemakaman, beliau dibisiki kakaknya Salbiah Pohan, ada satu rahasia yang disimpan Nursiti SIregar selama ini tentang anak lelaki pertamanya Maradjo Pohan yang beliau pasti belum tahu. Dengan penasaran beliaupun bertanya apa itu, tapi Salbiah Pohan menahannya, "Nanti setelah ketiga hari kita acarah yasinan, akan aku beri tahu" demikian Salbiah Pohan.

Tiba malam ketiga, acara yasinan telah selesai, beliaupun bergegas mendekati kakaknya. Karena beliau terus mendesak akhirnya kakaknya menceritakan rahasia yang terpendam selama ini dari. Maradjo Pohan terharu dan menangis sesunggukan, meski sehari-hari bersikap lembut dan tenang, hari itu dia menjeritkan tangis.

Selesai rangkaian acara di Medan, beliau mampir di Jakarta di rumah adiknya yakni Oloan Pohan, sebelum meneruskan perjalanan ke Bandung. Maka berkumpullah semua kerabat di rumah Oloan Pohan. Setelah menunggu cukup lama dan memastikan semua hadir maka beliau mengatakan akan menyampaikannya sesuatu diluar masalah warisan dan sangat serius, ungkapnya.

Lalu beliau pun cerita, sebenarnya Nursiti Siregar seperti kebanyakan masyarakat Batak yang patrilineal,  dahulu amat sangat mendambakan kelahiran seorang anak laki-laki, apalagi karena selama ini anak pertama dan kedua perempuan semua. Sedangkan dalam adat batak, anak laki-laki adalah penerus marga dan gelar-gelar lainnya. Jika belum punya anak laki-laki maka belum sempurnalah keluarga itu.

Saking inginnya Nursiti Siregar membahagiakan suaminya Baginda Karapatan dengan memiliki anak laki-laki, maka Nursiti Siregar bernazar jika Allah memberikan anak laki-laki, maka beliau berjanji tidak akan pernah melewatkan sholat lima waktu sekalipun juga.

Akhir kata doa Nursiti Siregar pun terkabul, cuma masalahnya jika beliau lupa atau alpa tidak sholat satu kali saja, maka kontan jatuh sakit pulalah Maradjo Pohan. Hal ini terjadi sejak Maradjo Pohan dilahirkan dan terus berlanjut sampai saat itu. Sambil berurai airmata Maradjo Pohan bertutur kepada semua yang hadir. Tapi seluruh keluarga malah tertawa terbahak-bahak. ternyata cerita itu sudah bukan rahasia lagi bagi mereka. Nursiti Siregar kerap atau bahkan terlalu sering menceritakan peristiwa itu pada semua orang kecuali ke anaknya sendiri Maradjo Pohan, lalu pertemuan pun bubar begitu saja dengan antiklimaks.

Lanjut ke Anak Ke #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-12-dari-17.html

*Mengenai “Rahasia Bagiku Namun Bukan Rahasia Bagi Orang Lain” sesuai cerita Rudi Ramon Pohan.
*Asal usul rumah di Gandapura 8  sesuai cerita Siti Hajar Lubis.
*Selebihnya pengalaman penulis langsung saat berinteraksi dengan almarhum.


No comments: