Sunday, September 18, 2016

Riwayat Baginda Karapatan #12 dari 17 Anak Ke #4 : Oloan Pohan (Sutan Oloan)


Menikah dengan : Dahlia Matondang

Putra dan Putri sbb;

  • Elissa Pohan
  • Erlina Pohan (Alm)
  • Ahmad Amru Pohan
  • Royce Arnold Pohan
  • Edrina Pohan
  • Rudi Ramon Pohan


Cerita mengenai sosok Oloan Pohan dalam tulisan kali ini 90% bersumber dari Rudi Ramon Pohan, anak bungsu beliau. Dari sisi penulis,  hal unik mengenai beliau yakni, saat suatu hari beliau mengirim surat pada Ayah saat kami masih di Denpasar,  Bali. Disitu tertulis kalimat yang kurang lebih berbunyi seperti ini “Bagaimana kabar anakku yang kutitipkan pada kalian ?”. Karuan saja membaca surat ini membuat Kakakku dan Abangku saling bertukar pandang karena mengira salah satu dari mereka adalah anak angkat. Namun kakakku yang paling terpukul, karena dia berusia dua tahun saat Abangku lahir, artinya Abangku kemungkinan besar memang anak kandung Ayah dan Ibu, namun Kakakku sebaliknya. Ayah dan Ibu juga seakan akan menikmati drama tersebut dan tidak secara langsung menjelaskan bahwa kalimat Oloan Pohan adalah sebagai ekspresi keakrabannya pada keponakannya sendiri.

Saat Ayah dan Ibu sempat konflik di menjelang kepindahan kami dari Sibolga ke Denpasar, daripada mendamaikan rumah tangga adiknya,  Oloan Pohan saking sayang pada keponakannya malah lebih memilih menyiapkan tempat tinggal bagi aku dan ketiga saudaraku, yang nota bene sudah dianggapnya sebagai anak-anaknya sendiri. 

Beberapa kali beliau juga datang  saat kami di Bali, selain ngobrol sampai pagi dengan ayah, mereka juga berenang di Sanur Seaside Cottage. Terkesan aku melihat beliau berenang bolak balik tanpa sama sekali terlihat lelah. Sambil tersenyum beliau menjelaskan bahwa dia bahkan mampu berenang lebih jauh dibanding jarak yang dia tempuh jika berjalan kaki.


Oloan Pohan

Saking dekatnya Ayah pada Oloan Pohan, sering sekali Ayah bahkan lebih mendengar apa kata abangnya, dibanding istri atau anak-anaknya. Hal ini mungkin diakibatkan Ayah sudah merantau sejak SMP dan Oloan Pohan saat itu lebih sebagai pengganti kedua orang tuanya. Kadang antara Ayah dan Ibu terjadi perselisihan, umumnya terjadi sepulangnya Ayah dari rumah Oloan Pohan.  Begitu juga saat Ayah pulang dari tugas pertamanya keluar negeri, daripada memilih langsung pulang ke Bandung, Ayah bahkan memilih untuk ke rumah Abangnya terlebih dahulu, lalu anak dan istrinya seakan akan hanya mendapatkan prioritas kedua dan sisa oleh-oleh.  Meski terasa aneh, namun itu juga yang menjadi alasan utama kenapa sembilan bersaudara ini benar-benar kompak. Bagi mereka boleh saja konflik hari ini , namun esok hari semua masalah seakan lenyap karena persaudaraan diantara mereka lebih kuat dan lebih penting. Baiklah kita langsung saja lanjut ke tulisan Rudi Ramon Pohan.

Merantau

Tamat dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Padang Sidempuan, Oloan Pohan kembali ke Sialaman yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Padang Sidempuan. Rasa galau menyelimuti hati beliau karena menurut ibunya Nursiti Siregar, Oloan Pohan diminta ayahnya Baginda Karapatan untuk berangkat merantau melanjutkan pendidikan SMA ke Yogyakarta.

Rasa takut, gamang serta gelisah menyelimuti hati Oloan Pohan, apalagi  Yogyakarta, tempat yang sangat jauh dari kampungnya yaitu sekitar 2 minggu perjalanan dengan kapal laut, juga bahasa yang dipergunakan umumnya adalah bahasa Jawa, bahasa yang tidak pernah beliau pelajari sedikitpun juga. Bahasa Jawa yang dia ketahui adalah bahasa yang dipakai sebagian orang di pasar Padang Sidempuan atau bahasa para pekerja kuli kontrak yang ada disekitar Sialaman.

Mengajar Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup

Singkat kata, sambil menyelesaikan SMA, Oloan Pohan berusaha menghidupi dan mencari makan sendiri. Baginya tidak pantas lagi jika dia masih berharap kiriman uang dari Baginda Karapatan yang masih memiliki tanggung jawab paling tidak lima adik-adiknya, karena kedua kakanya Djaunar Pohan dan Salbiah Pohan sudah menikah, sedangkan Maradjo Pohan abangnya sudah merantau duluan dan saat itu sudah berdiam di Bandung.  

Beliau mencari nafkah dengan mengajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Yogyakarta. Namun satu SMP saja tidaklah cukup, sehingga terpaksa beliau mengajar di beberapa SMP. Setiap mengajar beliau mengendarai sepeda ontel dari satu SMP ke SMP lainnya. Kadang karena skedulnya berdekatan, dan agar tidak terlambat beliau terpaksa mengayuh sepeda ontelnya lebih kencang khususnya saat skedul mengajar berikutnya lebih agak jauh ke arah Bantul.

Makan Enak

Ditengah kesibukan mengajar, momen yang paling digemari  beliau adalah saat beliau bergabung bersenda gurau dengan teman-teman sesama parantauan dari komunitas Tapanuli Selatan yang ada di Yogyakarta. Apalagi jika ada undangan makan dari salah satu keluarga temannya yang biasanya dilengkapi dengan makanan khas seperti Ikan Mas Arsik, Sambal Goreng Limbat atau Ayam Gulai, serta tak lupa Sayur Daun Ubi Tumbuk tentu saja dengan Sambal Tuk-Tuk. Namun makanan yang paling digemari beliau adalah ayam. Demikian gemarnya beliau, sampai-sampai obsesi nya jika ekonomi membaik dan setelah menikah kelak akan meminta istrinya membeli dan memasak ayam kampung bulat-bulat, di gulai kemudian dipanggang untuk disantapnya sendirian tanpa nasi sama sekali.

Kehidupan Kuliah

Tamat SMA, beliau diterima menjadi mahasiswa di IKIP Yogyakarta Fakultas Sastra Inggris. Mata pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran favoritnya sejak SMP dan SMA. Tapi semasa kuliah himpitan ekonomi masih saja menjadi persoalan, untuk itu beliaupun tetap bekerja sambil kuliah dengan mengajar di beberapa SMA. Salah satu SMA tempatnya mengajar adalah Sekolah Tata Boga (sejenis Sekolah Menengah Kejuruan SMK - sekarang). Ada satu murid wanita di Sekolah Tata Boga itu yang sering menarik perhatiannya sambil sesekali curi-curi pandang, rambut keriting, cantik dan mungil. Belakangan setelah mencari tahu, ternyata gadis tersebut adalah orang Batak yang juga ternyata saudara perempuannya teman beliau diperkumpulan Tapanuli Selatan. Dahlia Matondang demikian namanya tinggal di Yogyakarta dengan menumpang pada abang kandungnya Abu Sanif Matondang yang saat itu telah berkeluarga dengan sembilan anak.

Perlahan beliau mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menaklukkan gadis itu, dan sengaja menekan lalu mempersulit pemberian nilai pelajaran untuk gadis itu agar mendapatkan perhatian lebih. Namun jurus-jurus itu ternyata belakangan diketahui tidak begitu berhasil. Namun belitan ekonomi yang dialami gadis tersebut dan berakibat seringnya terlambat membayar uang sekolah lah yang menjadi pintu bagi beliau untuk mengenal lebih dekat gadis tersebut.


Oloan Pohan dan Dahlia Matondang

Beliau mulai lebih intens berbicara dan menyimak curahan hati Sang Gadis tersebut. Tinggal bersama Sang Abang (satu-satunya laki-laki di keluarganya) yang juga guru rendahan dengan sembilan anak membuatnya harus ikut prihatin.  Belum lagi ketidak cocokannya dengan kakak ipar yang kebetulan berasal dari suku yang berbeda. Himpitan ekonomi membuat kakak ipar sering terlihat gusar, dan seakan tidak suka keberadaan Sang Gadis yang juga adik iparnya.

Beliau lalu menyarankan bagaimana kalau mereka menikah saja, sekaligus berhenti sekolah (saat itu Sang Gadis masih kelas 2 SMA). Maka menikahlah akhirnya Oloan Pohan dan Dahlia Matondang di Yogyakarta dengan dihadiri oleh teman-teman perkumpulan Tapanuli Selatan, tanpa kehadiran orang tua kedua belah pihak sama sekali. Meski Baginda Karapatan sudah sejak awal lebih menginginkan ketiga anak lelakinya menikah dengan marga Siregar.

Pindah Ke Karangkajen

Situasi sosial politik Indonesia yang masih belum stabil ditandai gejolak-gejolak pergerakan disana-sini makin menghimpit perekonomian rumah tangga beliau. Untung ada teman beliau yang memiliki dua putri dan menginginkan beliau mengajar les privat Bahasa Inggris. Sebagai bayarannya beliau beserta keluarga boleh menempati rumah kosong milik Sang Teman di jalan raya Karangkajen di depan batik GKBI dan boleh ditempati tanpa batas waktu. Rumah yang cukup besar, dengan model Belanda walau tidak sebesar dan setinggi Rumah Belanda pada umumnya. Dapurnya terpisah dari rumah utama yang dihubungkan dengan lapangan semen cukup luas.

Namun ekonomi semakin runyam saja, G30S PKI makin sewenang-wenang melakukan sweeping dari rumah ke rumah, sementara di masa itu gaji mengajar ditambah pembagian beras campur jagung (beras bulgur) lebih mirip makanan ayam. Minyak tanah untuk masak makin susah dan mahal, sampai-sampai Dahlia Matondang sering mengajak anak perempuannya ke pemotongan kayu dan meminta Sang Anak dengan badan kecilnya menyuruk-nyuruk di bawah meja untuk mengambil serbuk gergajian lalu mengoperkan ke pada Sang Ibu. Sesampai di rumah Dahlia Matondang menjadikan serbuk kayu gergajian itu sebagai bahan pengganti kompor.

Tinggal di rumah di pinggir jalan raya Karangkajen memiliki berkah tersendiri, sering pedati-pedati yang ditarik sapi atau kerbau lewat depan rumah, kebetulan Pasar Telo Cuma berjarak 100 meter dari rumah tersebut. Mereka membawa hasil bumi seperti singkong, sayur tebu dan lain-lain. Dengan jalannya yang sangat lambat, karena pedati-pedati dan kusirnya sudah menempuh jalan yang sangat jauh berapa hari yang lalu. Saking lambatnya sering anak perempuan Oloan Pohan tinggal menggapaikan tangannya ke gerobak pedati untuk mengambil singkong atau menahan tebu yang menjorok keluar agar perlahan mulai terlepas dari ikatannya tanpa sepengetahuan sang kusir yang terangguk-angguk sambil mengantuk.

Beternak Ayam

Untuk menyalurkan hobi beliau makan ayam panggang, maka beliau mulai memelihara ayam di gang samping rumah hingga belakangan mencapai ratusan ekor. Sepertinya ayam-ayam itu tidak tahu dan tidak menyadari bahwa sebenarnya ketika beliau sering mengelus-elus ayamnya satu persatu itu bukan karena sayang, tapi yang terbayang betapa lezatnya ayam panggang utuh harum sedap dengan asap panas mengepul.

Mudik Setelah Kelahiran Putra Pertama

Tak terasa lahirlah dua putri beliau, yakni Elissa Pohan dan Erlina Pohan, lalu disusul kelahiran putra pertama yakni Achmad Amru Pohan. Begitu suka cita Oloan Pohan dan Dahlia Matondang menyambut putra ini sehingga mereka berupaya dengan segala cara untuk bisa mudik ke kampung di Padang Sidempuan. Kebetulan memang Oloan Pohan sudah sekitar 17 tahun tidak pulang kampung.  Zaman itu, perjalanan mudik memang luar biasa, paling tidak 2 minggu naik kapal laut sampai ke Belawan, lalu disambung dari Medan 2 hari naik bus ke Padang Sidempuan. Ditengah kepadatan bus itu ayah meski mengurusi ke dua putrinya yang tiada henti-hentinya muntah karena mabuk. Satu bersandar di tangan kiri, satunya lagi bersandar di tangan kanan. Terpaksa Oloan Pohan menjadikan tangannya sebagai ember penampung muntah untuk kemudian dibuang ke luar jendela. Sementara Achmad Amru Pohan kecil sedang lincah-lincahnya, berlari-lari kesana sini.  Untungnya penumpang lain suka sekali dengan anak ini sehingga beberapa dengan sukarela mau membantu menjaganya.

Rasa haru, bangga, bahagia campur rindu tak henti-hentinya menyelimuti Nursiti Siregar menyambut si anak hilang yang sudah sekitar 17 tahun tak berjumpa. Apalagi si anak itu sudah berkeluarga dan membawa cucu yang begitu menyenangkan dan menggemaskan, terlebih cucu laki-laki yang dalam adat Batak sangat penting untuk meneruskan marga. Baginda Karapatan yang dulu sempat tidak setuju Oloan Pohan menikahi Dahlia Matondang karena mengira Dahlia adalah orang Minang, akhirnya menerima rombongan dengan tangan terbuka.

Ditengah haru-biru di rumah Baginda Karapatan itu, tiba-tiba seorang anak dengan mengendarai sepeda menyelonong ngebut, masuk ke dalam rumah bahkan sampai ke ruang tengah tanpa turun dari sepeda. Sontak Oloan Pohan berteriak, menghardik dan menghampiri anak itu seakan hendak menampar, namun Nursiti Siregar lekas-lekas menghampiri dan melindungi anak itu dan berkata kepada Oloan Pohan, anaknya sbb

“Ulang amang, ulang dipukul ho, baberemu do on amang...” (jangan nak, jangan kau pukul anak ini, dia keponakanmu) 

sergah Nursiti Siregar sambil mengusap kepala anak itu.

Ha...? ise lakna ia umak ? (Hah, anak siapa ini rupanya ?) tanya Oloan Pohan

“On ma na margoar Dahrun Efendi Siregar, anak ni si Salbiah, amang....baberemu do on..” (inilah yang bernama Dahrun Efendi Siregar, anak kakakmu Salbiah Pohan) 

jelas Nursiti Siregar

Kemarahan Oloan Pohan  serta merta mereda, dipandanginya anak yang tersipu malu campur takut itu dibelakang badan Nursiti Siregar.

Kembali ke Yogyakarta dan Mulai Merintis Karir Sebagai Tour Guide

Kembali ke Yogyakarta, maka Oloan Pohan kembali kepada rutinitas semula, beliau dikejar-kejar skedul mengajar di beberapa sekolah, mengurus rumah tangga dengan enam anak yang kadang sakit bergiliran. Salah satu yang paling parah adalah Erlina Pohan.  Selama bertahun selalu saja kakinya bersisik dan melepuh kadang mengeluarkan darah juga nanah.

Namun semua itu dilalui beliau sambil belajar dan berusaha tetap konsentrasi menyelesaikan kuliah. Sudah hampir 10 tahun beliau kuliah dan belum juga tamat.  Doktorandus (Drs), gelar yang sangat ingin disandangnya dan akan melengkapi menterengnya plat nama depan rumah di atas kusen pintu rumah Drs. O. Pohan adalah impiannya sejak kuliah.

Rasa humor dan setia kawan membuat beliau banyak mempunyai teman di Yogyakarta. Salah satunya adalah temannya yang kerja di hotel dan suka memberinya order menjadi guide bila ada tamu bule. Beliau akan suka cita menerima order itu karena disamping honornya yang lumayan besar dibanding honornya mengajar selama ini, tips yang didapat dari para bule itu pun biasanya dapat mengobati rasa rindunya pada ayam panggang kesukaannya.

Kondisi Ekonomi Yang Tak Juga Membaik

Di seberang rumah kami, berdiri sebuah koperasi batik GKBI dengan gedung yang termasuk megah untuk masa itu. Kadang Oloan Pohan ikut dan disertakan dalam beberapa acara mereka. Menjadi ritual menyenangkan bagi keenam anaknya setiap hari adalah, menyeberang ke gedung GKBI pagi-pagi sekali, biasanya ada ibu-ibu di situ yang jika melihat keenam anak Oloan Pohan, maka ibu itu langsung mengajak masuk dari belakang gedung dan memberikan bubur kacang hijau semangkuk satu orang. Bagi keenam anak tersebut, rasa bubur kacang hijau segar dan enak sekali dan masih terkenang hingga kini, apalagi sejak kondisi ekonomi semakin sulit, mereka bisa dikatakan jarang sekali makan bubur seperti itu di rumah.

Beliau akhirnya menyelesaikan kuliahnya, tak lama anak ke tujuh lahir prematur di rumah sakit langganan keluarga. RS Brontokusuman demikian nama Rumah Sakit tersebut, sayangnya bayi kecil tersebut hanya bertahan hidup lima hari saja. Oloan Pohan memberikan nama Ucok Pohan lalu dimakamkan di pemakaman umum di Karangkajen, Yogyakarta.

Himpitan ekonomi terus saja menggayuti kami, sampai pada suatu hari ayah mendapat kabar bahwa kawan-kawan seperjuangannya kuliah dan sesama perantau dari Tapanuli Selatan dulu itu sudah banyak yang pindah ke Jakarta. Mereka membuka usaha EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) PT. Bina Samudera Raya di Tanjung Priok. Beliau diajak bergabung ke Jakarta dari pada harus terus bertahan tinggal di Yogyakarta yang semakin sulit untuk dijadikan sebagai tempat mencari nafkah.

Huru Hara Setelah Pemberontakan PKI

Selain situasi ekonomi di Yogyakarta, hal lain yang membuat Oloan Pohan menjadi emosional lalu memperkuat keputusannya untuk segera meninggalkan Yogyakarta adalah saat tentara mendatangi rumah beliau dalam rangka sweeping kerumah-rumah untuk mencari aktivis PKI. Kebetulan sekali di Yogyakarta, PKI kebanyakan memang berprofesi guru seperti beliau.

Ditengah malam yang hening, sekumpulan tentara mendobrak rumah beliau, suara dobrakan yang sangat kuat mengagetkan Oloan Pohan sekeluarga. Dahlia Matondang saat itu tidak berada di rumah karena sedang menonton film di bioskop dengan adik-adiknya. Sementara anak-anak beliau yang ketakutan, terkecing-kencing lari ke belakang rumah menerobos pagar kawat menuju sawah. Mereka lari sekencang-kencangnya sambil menangis ketakutan tanpa bersuara, beberapa diantara anak-anak beliau celananya tersangkut kawat berduri dan tertusuk kawat hingga berdarah.

Sampai hari ini tidak jelas benar, bagaimana beliau selamat dari sweeping dimalam hari itu. Setelah situasi tenang, anak-anak kembali ke rumah. Sementara tak lama kemudian Dahlia Matondang, pulang dari bioskop ibu bersama adik-adiknya sambil tertawa masuk kerumah dan langsung terkejut karena melihat anak-anaknya pucat pasi.

Pindah ke Jakarta

Beberapa kali beliau ke Jakarta untuk melihat secara langsung prospek usaha ekspedisi tersebut, hingga pada kunjungan yang ke tiga pada tahun  Jakarta 1970, maka beliau memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Tiba di Jakarta di stasiun kereta Jatinegara, kedatangan mereka dijemput Sakban Pohan yang menunggu dan menjemput lengkap dengan mobil marinirnya, sebuah Jeep Land Rover warna hijau lumut langsung mengantar kami kerumah yang sudah dikontrak Oloan Pohan di Utan Kayu.

Lalu anak-anak beliau mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga, main bersama dengan bahasa Jawa yang medok, dan membuat anak-anak tetangga merasa heran. “Wong mBatak kok iso ngomong jowo yo...?” (orang Batak kok bisa bahasa Jawa) demikian mungkin apa yang ada di pikiran para tetangga yang juga banyak berasal dari Jawa. Apalagi pada masa itu orang-orang merasa risih bergaul dengan orang Batak karena mereka mendapat kabar bahwa orang Batak suka makan orang. Entah dari mana asal gosip itu.

Memulai Usaha Ekspedisi

Usaha ekspedisi Oloan Pohan berjalan dengan baik. Suatu hari beliau mengajak anak-anaknya jalan-jalan berkunjung ke kantornya yang sangat beliau banggakan. Lalu anak-anak beliau bersalaman dengan karyawan kantor tersebut yang ternyata didominasi oleh keluarga sendiri.

Lalu jalan-jalan berlanjut ke stasiun kereta Tanjung Priok yang megah dengan atap stasiun buatan Belanda yang menjulang tinggi. Siangnya anak-anak diajak beliau makan direstoran Padang langganannya. Semua karyawan itu kenal beliau dan memanggilnya dengan sebutan Tulang yang artinya paman. Mata Si Bungsu Rudi Ramon Pohan nyaris tidak berkedip memandangi para karyawan rumah makan bolak balik membawa piring lauk bertumpuk-tumpuk dengan sebelah tangan. Bagi anak-anak nikmatnya masakan Padang masih terkenang hingga kini, terlebih hal ini merupakan pengalaman pertama mereka makan di restoran.

Usaha Ekspedisi Mulai Bergejolak

Dua tahun kemudian, perusahaan EMKL dimana Oloan Pohan berkerja  mulai goyah, salah satu penyebabnya adalah peraturan pemerintah yang makin mempersempit ruang gerak EMKL sekelas tempat beliau bekerja. Dimana perusahaan EMKL harus sudah memiliki armada kapal laut sendiri untuk menekan dampak percaloan yang semakin membebani biaya angkutan laut. Disamping adanya peraturan pemerintah tersebut, ada pelanggan besar EMKL (kalau tidak salah bernama PT. Bah Bolon) yang mengajukan komplain serius mengenai kiriman yang bermasalah. Lengkap sudah cobaan yang dialami, Yogya sudah ditinggalkan, jabatan Kepala Sekolah di SMA YUB pun tidak dapat meringkankan beban ekomomi keluarga, dan harus mengundurkan diri dari EMKL tempat beliau bekerja.

Keakraban Ayah dan Anak, Hikmah Tersebunyi Dibalik Kesulitan Ekonomi  

Kedekatan hubungan Oloan Pohan dan anak-anaknya dimasa ini semakin terjalin akrab, sebab beliau total menganggur dan anak-anaknya lebih leluasa bercengkrama sepanjang hari di rumah. Kadang beliau mengambil alih tugas ibu memasak dengan ide-ide masakannya yang kadang agak keterlaluan, misalnya masak nasi goreng porsi dua piring dengan taburan telur sampai lima butir. Capek memasak beliau mulai membuatkan anak-anaknya mobil-mobilan dari kayu yang belakangan sesuai penuturan putra bungsu beliau dibuat dari potongan kayu balok keras yang dipaksa dibentuk mirip mobil-mobilan. Setelah selesai menariknya dengan tali masih membutuhkan tenaga ekstra karena beratnya luar biasa.

Kondisi ekonomi ternyata tidak membaik, namun Oloan Pohan sekeluarga tetap harus mensiasati situasi ini untuk tetap survive. Saat itu semua anak-anaknya sudah mulai bersekolah. Sering sekali Dahlia Matondang memasak sarapan pagi dengan hanya bermodalkan telur ayam 2 butir, tapi cabe gilingnya sampai satu piring, lalu diaduk dan dijadikan telur dadar. Wajan sengaja dimiring-miringkan sehingga telur makin melebar. Sampai-sampai anak-anaknya lebih suka menjulukinya Cabe Dadar Telur dibanding Telur Dadar Cabe, karena lebih banyak cabe daripada telur. Setelah masak, Dahlia Matondang membagi Cabe Dadar Telur itu sesuai jumlah mulut yang ada yakni 8 bagian. Dibuat agak asin, agar cocok untuk menemani nasi sepiring penuh.

Ibu Mengambil Alih Peran Ayah

Kondisi ekonomi yang lambat laun semakin parah membuat Oloan Pohan sepertinya sudah kehabisan ide akan mengerjakan apa dan dimana. Melihat situasi tersebut Dahlia Matondang pun mengambil inisiatif, bermodalkan surat-surat perusahaan EMKL PT. Bina Samudera Raya yang masih hidup, beliau pergi ke perusahaan-perusahaan sekitar lapangan Banteng Jakarta demi mencari order angkutan barang. Setiap hari Dahlia Matondang sendirian naik turun bus Pelita Mas Jaya jurusan Cililitan -Lapangan Banteng No 40. Dari sekian banyak perusahaan atau instansi yang didatangi Direktorat Angkutan Sungai dan Penyeberangan (ASDP) yang relatif bisa menerima. Hampir setiap hari Dahlia Matondang hadir menunggu berjam-jam di Bagian Logistik itu, maka lambat laun, para karyawan pun mulai kenal dan hapal dengan beliau. Entah karena bosan, karena bosan maka Pimpinan Direktorat itupun memanggil Dahlia Matondang ke ruangannya, lalu dibentangkannya sebuah peta dihadapan Dahlia Matondang.

“Bu, ada order mengangkut Kapal Ferry dari Jakarta ke danau Sentani di Papua” 

demikian Pimpinan tersebut membuka pembicaraan sambil menunjuk peta asal dan tujuan.

Dahlia Matondang memandang dengan tatapan kosong kearah titik-titik yang disebutkan dalam peta itu.

“Hampir semua perusahaan ekpedisi di sini tidak ada yang sanggup...., namun kalau ibu mau garap, silakan, ini datanya dan saya tunggu kabar baik dari ibu secepatnya ya”

“Terimakasih pak” 

hanya itu yang sanggup Dahlia Matondang ucapkan, sambil membungkuk memberi hormat beliau segera pulang ke rumah. Oloan Pohan terkaget-kaget mendengar proyek tidak biasa seperti yang dituturkan istrinya itu.

Sebuah tantangan yang luar biasa besar namun sangat menarik buat seorang yang sudah lama menganggur seperti Oloan Pohan. Lalu beliau membaca dan membolak-balik peta itu. Sekejap beliaupun bergegas siap berangkat menjumpai kerabat-kerabat dan perusahaan mantan koleganya dahulu. Namun tak satupun perusahaan ekspedisi dan kerabatnya yang sanggup menggarap proyek itu, tak terasa sudah 3 hari berlalu. Mendadak beliau teringat pada Perusahaan Pertamina yang biasa melakukan pengeboran minyak di hutan-hutan maupun di laut. 

Keesokan harinya, beliau berangkat ke Kantor Pertamina di Gambir. Menjumpai pejabat-pejabat di sana, dan tidak disangka-sangka salah satu pimpinan Pertamina itu ternyata bermarga Pohan juga. Dengan lancar beliau menuturkan semua detail proyek itu dengan semangat berapi-api. Para pejabat Pertamina itu tersenyum-senyum mendengar teori dan konsep ayah menangani proyek itu. Ternyata bagi mereka, pekerjaan mengangkut Kapal Ferry itu bukanlah hal yang sulit, mereka sudah sangat terbiasa dengan itu. Beliau terkejut dan melongo, ketika Pertamina bersedia membantu karena sesama institusi pemerintah. Dengan lega beliau bersandar di kursi tamu Kantor Pertamina itu, sekaligus menghela nafas panjang, akan selesainya masalah yang sudah menghantuinya berhari-hari.

Kelak belajar dari pengalaman pahit selama berumah tangga, Dahlia Matondang, tidak mau lagi berpangku tangan dengan tinggal di rumah tanpa bekerja. Dengan percaya diri setelah sukses dalam proyek Kapal Ferry, Dahlia Matondang pun memutuskan berusaha menopang ekonomi keluarga dengan menjalankan usaha ekspedisi sendirian.

Akhirnya Memiliki Rumah

Akhirnya selesai jugalah proyek tersebut, Oloan Pohan terbebas untuk sementara dari situasi menekan selama beberapa lama. Saat itu keuntungan proyek lumayan banyak buat ukuran Oloan Pohan sekeluarga. Maka beliau dan istri memutuskan membeli sebuah rumah di Kayumanis IX, secara cash. Memang rumah ini tidak dipinggir jalan seperti di kontrakan Utan Kayu, melainkan masuk ke dalam gang. Namun Oloan Pohan sekeluarga terbebas dari kewajiban membayar kontrakan.

Sambil menempati rumah itu Oloan Pohan mulai melakukan rehab, termasuk menimbun tanah kosong di belakang rumah yang dulunya bekas tempat pembuangan sampah kelapa kopra. Lalu diubah menjadi 2 set kamar mandi, ruang makan serta dapur secara permanen dengan lantai keramik. Sementara kamar-kamar serta ruang tengah dan ruang tamu dibiarkan berdinding papan.

Pada masa pembangunan area belakang rumah itu ada hal yang mengagumkan, dimana setiap akhir minggu khususnya Sabtu dan Minggu, adik ipar beliau yakni Partaonan Dalimunthe selalu datang ke rumah pagi hari. Begitu ganti baju dengan baju kerja, beliau langsung membantu pengerjaan ruang belakang.

Putra bungsu Oloan Pohan, yakni Rudi Ramon Pohan saja sebenarnya ingin menghindar dari pekerjaan berat tersebut, eh malah Partaonan Dalimunthe jauh-jauh datang dari Tanjung Priok hanya untuk membantu. Demikanlah adat budaya Batak, dimana Partaonan Dalimunthe tengah melaksanakan adat Dalihan Na Tolu, sebagai barisan anak boru yang selalu siap sedia membantu sang mora. Demikianlah keindahan adat Batak yang menjunjung tinggi keluarga dari pihak istri.

Fokus Mengajar sebagai Dosen.

Masih trauma dengan usaha EMKL, akhirnya Oloan Pohan meninggalkan usaha ekspedisi, dan memutuskan untuk fokus mengajar di Universitas atau Akademi di Jakarta. Sementara Dahia Matondang tetap melanjutkan usaha ekspedisi yang kembali bangkit setelah transaksi besar dari ASDP. Sejak itu baik Oloan Pohan maupun Dahlia Matondang bekerja keras setiap hari. Keputusan untuk bekerja bersama-sama, bisa jadi untuk menghindari trauma kesulitan ekonomi yang mendera mereka sekeluarga di periode sebelumnya.

Cerita Lain : Kisah Dahlia Matondang

Dahlia Matondang merupakan anak ketiga dari Sutan Sinaro Mantondang dan Tinar Lubis. Asli berasal daru Huta Pungkut, sekitar 7 kilometer dari Kotanopan, Mandailing. Karena letaknya bersebelahan dan berbatasan dengan Sumatera Barat, adat serta bahasanya sudah banyak dipengaruhi budaya Minang. Huta Pungkut sendiri sebuah desa sejuk yang dimanjakan alam dengan dengan airnya yang mengalir deras diseluruh pelosok desa dan disetiap parit-parit rumah tangga. Sayangnya mereka hanya memanfaatkan air yang melimpah itu untuk mengairi tanaman padi, padahal padi tidak pernah butuh air sebanyak itu. Seyogyanya pemerintah atau masyarakat mampu membuatkan kolam ikan air deras untuk memanfaatkan air itu, mungkin Huta Pungkut bisa memainkan peran sebagai sentra penghasil ikan.

Karena sangat dekat dengan Sumatera Barat, maka meski menggunakan bahasa Batak Mandailing namun nadanya mengalun tidak seperti Batak Toba yang intonasinya lebuih menghentak, meski secara kosa kata sebenarnya sangat dekat. Seperti sebutan “Bujing” untuk memanggil adik perempuan Ibu, dalam istilah orang Batak, maka penduduk daerah ini menggunakan “Etek”, atau sebutan “Tulang” untuk memanggil saudara lelaki Ibu menggunakan panggilan “Mamak”.

Cerita Lain : Hobi dengan Anak-Anak

Turun dari oplet sepulang mengajar dengan baju safari Oloan Pohan  jalan kaki melintasi jembatan menuju rumah. Serta merta anak-anak kecil diseberang jembatan pun berteriak-teriak histeris berlari menyambut beliau; 

"Pak Pohaann..! pak Pohaan...!" 

Demikian seru mereka bersahut-sahutan layaknya berjumpa artis idola. Beliau segera merogoh kantong dan mengeluarkan uang receh yang memang sudah di siapkan sebelumnya, satu persatu beliau menyebut nama anak-anak itu sambil membagikan uang receh. Aktifitas ini selalu membuat wajah beliau terlihat sumringah. 

Saat keluarga menyelenggarakan pesta pernikahan Royce Arnold Pohan putra beliau, maka beliau tak lupa mendaulat pasukan ciliknya itu untuk terlibat di kepanitiaan. Mereka semua sekitar 12 orang dibelikan seragam baju kaos kuning. Tugasnya adalah sebagai Pasukan Semut, antara lain mengumpukan piring-piring serta gelas yang sudah selesai dipakai tamu undangan lalu mengangkatnya ke tempat cucian piring, dengan syarat tidak boleh pecah.


Begitu semangat dan bangganya para Pasukan Semut ini, hingga beberapa mereka malah ada yang sampai berebutan piring kotor, bahkan ada sengaja menunggu sang tamu menghabiskan makanannya. Begitu sendok terakhir selesai, langsung tangan-tangan kecil itu menjulur menjemput sang piring. Tak pelak para tamu tertawa terbahak-bahak, dan ada pula tamu yang malah sengaja mempermainkan anak-anak itu dengan memperlambat makannya. Suasana resepsi makin hangat dan ceria melihat tingkah Pasukan Semut itu.

Cerita Lain : Menyenangkan Cucu

Saat kelahiran cucu merupakan saat paling membahagiakan begi beliau.

"Naa kuskusan pahoppu ku on.." (Wangi sekali cucuku ini)

Ujarnya dengan mata berkaca-kaca, setelah menciumi pipi sang cucu. Cucu yang sempat merasakan nikmatnya dimanja beliau adalah Nurul Annisa Lubis dan Helena Neva Pohan. Ritual mengajak jajan es krim menjadi keharusan nyaris setiap sore. Beliau menjemput sang cucu satu persatu, dengan berpakaian kaus kutang dan bercelana pendek coklat muda favoritnya. Lalu dengan menggandeng sang cucu dikiri-kanan, beliau memperhatikan ekspresi sang cucu menjilat nikmat es krim itu sampai tuntas. 

"Enak pung..?", "Kita beli lagi pung..?"


Tanyanya sambil tangannya mengambil handuk kecil mengusap mulut Sang Cucu yang berlepotan.

Cerita Lain : Aktivitas Sebagai Ketua RW

Keterlibatannya dalam beberapa kegiatan sosial akhirnya membawa beliau terpilih sebagai ketua Rukun Warga (RW) Kayumanis 9. Hobinya berkelakar dengan anak-anak bahkan remaja membuat beliau dikenal warga. Lalu beliau menjadikan rumah kosong disebelah sebagai sekretariat dan ruang serbaguna RW. Sekretariat itu selalu ramai dikunjungi anak-anak dan remaja setiap harinya. Ada satu orang anak yang kurus hitam dengan kaki pincang yang menjadi salah satu ikon pengisi acara hiburan tetap masa itu, mengingat seringnya dia didaulat menyanyi. Dengan percaya diri dia melantunkan lagu-lagu Euis Darliah yang sedang hits saat itu. Suaranya juga lumayan bagus, lantang dan merdu. Selesai menyanyi 4-5 lagu dengan tersenyum suminringah, dia  menerima uang receh yang diserahkan beliau. 

Tiba perayaan hari ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus, beliau melayangkan ide untuk membuat sebuah ritual "Malam Renungan Suci" tanggal 16 Agustus jam 12.00 malam hari. Saat itu seluruh warga diminta hadir mematikan lampu sekitar dan menyalakan lilin di lapangan badminton. Setelah acara renungan dilanjutkan dengan makan bersama "Nasi Gerilya" yaitu nasi bungkus sumbangan warga RW. 

Tak disangka cerita Rudi Ramon Pohan, yang saat itu sebagai panitia, ternyata menerima kiriman hampir 1000 nasi bungkus kiriman warga dengan lauk beraneka. Saking banyaknya bahkan ada beberapa anak yang sengaja menyortir nasi bungkus untuk mencari lauk kegemarannya. Sisanya dibagikan pada orang yang kebetulan lalu lalang melewati tempat tersebut.

"Dulu dizaman perang gerilya para pejuang kita selalu disuguhi nasi bungkus oleh masyarakat dimana para pejuang itu singgah.." jelas beliau sambil mengenang.

Keesokan paginya diadakan upacara pengibaran bendera merah putih dengan beliau sebagai Inspektur Upacara dan Rudi Ramon Pohan dengan berseragam sekolah didaulat sebagai salah satu pengawalnya. Para remaja, bapak dan ibu-ibu ada yang sambil menggendong bayi dengan khidmat dan lugu ikut dalam barisan peserta upacara. Menurut Rudi Ramion Pohan, hari itu Perayaan 17 Agustus yang paling meriah, lengkap dan namun juga bersahaja yang pernah dia alami.

Cerita Lain : Hobi Musik Oloan Pohan

Oloan Pohan mampu memainkan beberapa alat musik seperti suling,  dan juga gitar. Bahkan beliau merekam sendiri permainannya di rumah a.l. Onang-Onang diiringi suling yang ditiupnya sendiri. Hobi yang paling sering dilakukannya adalah mendengarkan lagu klasik berjam-jam, entah itu Chopin, Johann Sebastian Bach, Mozart maupun Beethoven. Tape recorder kesayangannya merk JVC Nivico plus Speaker Bass ditambah 2 buah Tweeter (dengan crossover). Agar lebih nikmat beliau sengaja mematikan lampu, menaikkan kaki,  lalu merokok sambil menikmati perubahan nada dan tempo. Sebagaimana Suku Batak pada umumnya, tidak ketinggalan koleksi lagu-lagu Batak seperti Trio Golden Heart yang didominasi petikan gitar mendayu-dayu atau kadang lantunan Jim Reeves, Lobo, Andy Williams, Frank Sinatra, Nat King Cole dan lain-lain. Koleksinya lumayan banyak dan disusun secara rapi sesuai warna dan labelnya di sebuah rak khusus.

Belakangan JVC kesayangannya hancur perlahan oleh tangan-tangan anak-anaknya untuk aliran yang berbeda seperti Koes Plus, D’lloyd, Panbers dan the Mercy’s. Bila suara sudah mulai kurang jernih, mulailah anak-anaknya mencari pentol korek api untuk mengganjal tutup kaset. Lambat laun tape mulai berjalan tidak sempurna. Lalu seperti biasa  anak lelaki keduanya alias Royce Arnold Pohan yang memang mendalami aliran “Terima Bongkar Tidak Terima Pasang”  pun mulai beraksi,  membongkar satu-persatu dan ujung-ujungnya bingung sendiri karena menyadari ada beberapa baut sisa yang seharunsya terpasang entah dimana. Persis seperti nasib tape asli VW Variant 1968 milik Maradjo Pohan, abang Oloan Pohan yang juga menjadi korban Royce Arnold Pohan.

Cerita Lain : Hobi Kuliner Oloan Pohan

Hobi lainnya adalah hobi kuliner / makanan. Selain Ayam Kampung yang di gule atau setelah digule lalu dibakar. Di Jakarta beliau sering mampir makan siang di sekitar terminal Kampung Melayu, makanannya adalah Soto Betawi. Tidak tanggung-tanggumg, dua mangkok soto plus satu piring nasi (sesampai di rumah beliau biasa mengaku sudah makan di kampus). Kesukaan lainnya adalah Tongseng Kambing, Sate dan lain-lain. Wajar kalau diusia yang relatif masih muda beliau sudah terserang diabetes. Apalagi setiap kali makan, lantas diikuti dengan minum teh manis dengan  gelas berukuran besar.

Jika kebetulan abangnya Marajo Pohan dan adiknya Saiful Pohan datang berkunjung, maka mereka bertiga layaknya Trio Golden Heart, langsung berkumpul dan begadang di rumah sampai pagi. Dua-tiga jam setelah makan malam dengan lahap karena masakan Dahlian Matondang  yang terkenal nikmat, lalu Saiful Pohan selalu memanggil jajanan yang kebetulan lewat di depan rumah. Kadang Mie Tek-Tek, lain kali Jagung Rebus, Bakso dan lain-lain, dan merekapun makan bersama (lagi).

Rudi Ramon Pohan cerita, pernah suatu malam sekitar jam tiga pagi mendadak terbangun karena mendengar suara Trio Golden Heart tertawa terbahak-bahak dari bawah (sedangkan kamarnya di lantai dua).  Saat turun dan  bergabung yang mereka bahas ternyata masih makanan, yakni nikmatnya ikan Gabus besar yang dipanggang lalu disiram kuah gulai, khususnya bagian daging di pipi Gabus yang lumayan tebal dan sangat lezat.

Soheh Pohan, salah satu kerabat bahkan pernah melihat mereka meski diusia pertengahan, masih bergelut dan bercanda layaknya remaja. Kehidupan yang terpisah dengan keluarga dan tinggal bersama di rumah kerabat, dan juga ketika di Yogyakarta membuat mereka bertiga sangat dekat.

Cerita Lain : Oloan Pohan Sebagai Dosen

Di Kampus Universitas Pancasila pun beliau sangat dikenal sebagai sosok yang dekat dengan semua orang, dari mulai karyawan tata usaha, sesama dosen ataupun mahasiswa. Beberapa mahasiswa bahkan menjadikan beliau sebagai tempat konsultasi curhat mereka. Pernah suatu kali sang mahasiswi yang juga artis Fanny Bauty datang keruangan beliau meminta pertimbangan sambil menangis karena di lamar Mark Sungkar, mantan suami Emilia Contessa. Beliau agak bingung karena status Mark Sungkar yang terpaut umur begitu jauh dan masih suami orang. Ayah lebih menyarankan Fanny untuk berfikir ulang masak-masak. Fanny akhirnya menerima pinangan sang Mark Sungkar itu dan melaporkannya kepada beliau sambil menangis karena harus berhenti kuliah.

Semua mahasiswapun jika berjumpa beliau pun biasanya  langsung menegur sopan dan kadang bercanda. Beliau memang suka menggoda para mahasiswa apalagi jika ada kerumunan mahasiswa di gang koridor kampus yang menutupi jalan, kontan beliau menyodorkan rokoknya menyala mengarah ke kerumunan itu sembari berteriak ;

"Minggir....minggir...!! Air panas...air panas...!!"

Sekejap kerumunan itu terbuka dan memberi beliau jalan. Tertawa mahasiswa itu pecah saat tahu yang berteriak itu adalah ayah. 

"Ahh...Pak Pohan...!" 

Ujar mereka sambil terbahak. Dari situ ayah semakin tenar dikalangan mahasiswa walau belum tentu pernah mengajar mereka.

Tapi kemarahannya akan timbul manakala ada mahasiswa yang berani datang ke rumah membawa makanan apalagi menawarkan uang untuk meminta nilai ujian mata kuliah lebih. Serta merta dia akan menghardik mahasiswa itu dan mengusirnya dari rumah. Dengan mata melotot dan gigi menggigit bibir bagian bawah karena menahan amarah, maka sumpah serapahnya bertubi-tubi ke mahasiswa itu;

"Dasar kau tidak patut jadi mahasiswa. Masih ingusan sudah mau main suap segala...!!" 

Hardiknya dengan muka memerah,

"Sana kau pulang saja..!, Indonesia ini butuh orang yang gentlemen dan jujur tidak seperti kau..!"


Sambil beringsut mahasiswa itu tergopoh-gopoh mengenakan sepatunya lagi lalu membungkuk meminta maaf dan segera pergi.

Cerita Lain : Kemeriahan Kuliner Iedul Fitri

Bila hari raya Iedul Fitri sudah akan tiba, Oloan Pohan akan dengan cerewet membuat daftar menu masakan yang harus disiapkan istrinya Dahlia Matondang. Biasanya menu utama di hari raya Sop Buntut Sapi, bukan cuma satu, melainkan 4 sd 5 ekor buntut.

Meski begitu banyak, malam hari pertama Iedul Fitri,  dipastikan Sop Buntut sudah tiada dan hanya menyisakan remah dan kuahnya saja. Namun hari kedua beliau sudah pula menyiapkan Gulai Ayam Kampung. Sebagai cadangan masih ada Limbat Goreng Sambal atau Ikan Asap serta Dendeng Daging sudah pula tersedia. Lebaran selalu menjadi momentum kuliner sempurna untuk beliau. Menurut Rudi Ramon Pohan, nyaris semua anaknya juga memiliki hobi kuliner yang sama.

Cerita Lain : Masakan Ala Dahlia Matondang

Salah satu andalan masakan Dahlia Matondang adalah Sambal Goreng. Baik Teri Sambal Goreng (yang juga merupakan makanan favorit Royce Arnold Pohan sampai sekarang), Tempe  Sambal Goreng, Limbat Sambal Goreng, Terong Sambal Goreng lalu masakan lain seperti Perkedel, Tempe Tumis (setelah Tempe diinapkan 2-3 hari di kulkas). Lalu masakan unik yakni Tahu Goreng setengah matang namun dengan sambal yang nyaris gosong.

Sambal Goreng ini tidak hanya untuk makanan segar namun diterapkan pula dengan menggunakan Sardencis kalengan (biasanya merk Botan), setelah kuahnya dibuang lalu diaduk dengan Sambal Goreng.  Menurut Rudi Ramon Pohan, aku dan abangku Anwar Syafri Pohan pernah nyaris terlambat pulang ke Bandung karena menikmati racikan Dahlia Matondang, dan setiap kali  nasi habis lalu diikuti dengan sepiring nasi berikutnya.

Bukan hanya anak-anak, Partaonan Dalimunthe yang merasa tidak diajak makan pernah dengan kecewa lalu mengadu pada adik Oloan Pohan yang juga istrinya yakni Nurdia Pohan. Selang beberapa lama Nurdia Pohan berkunjung ke rumah Oloan Pohan. Lalu sambil bertanya pada Dahlia Matondang sbb;

"O kak....piga ari na kewat ro do opungmunu to bagason kan...?." (Kak, suami ku kesini kan beberapa hari lalu ?) 

tanya Nurdia Pohan.

Tanpa beban Dahlia Matondang menjawab:

"Olo.....mabia lakna ?" (Iya, ada apa gerangan ?)

"Inda kak...hacit ilala ia harana na dipio mangan dison..." (Iya kak, dia sakit hati karena tidak dipanggil makan).

Dahlia Matondang pun kaget.

"Ala....le...mangido moop ma au eda, nanggo taringot au i harana na sibukan hami pauli bagason....mangido maap ma au eda dah....ulang hacit rohamunu...au do na sala.." (Aduh, minta maaf dik, aku tidak ingat sama sekali, minta maaf ya dik, jangan sakit hatimu, aku kok yang salah).

Cerita Lain : Menjadi Ibu Rumah Tangga Sekaligus Mencari Nafkah

Meski sibuk karena turut menjalankan usaha ekspedisi, Dahlia Matondang tetap memasak bagi keluarganya. Belanja pagi-pagi sekali ke pasar, masak untuk menu sarapan sekaligus dengan menu makan siang. Lalu sekitar jam 10.00 pagi beliau kemas-kemas dan segera meluncur ke BTN Kantor Pusat Harmoni, untuk menyongsong order pengiriman barang.

Meski punya keahlian memasak yang banyak dipuji orang, uniknya Dahlia Matondang justru tidak menyukai masakannya yang lezat itu. Dia malah lebih memilih makan rebusan Daun Pepaya, Paria atau Sawi Pahit dengan Sambal Tomat atau kadang Sambal Jeruk. Aneh rasanya makan dengan menu sederhana diantara kepungan masakan lezat ala beliau.

Cerita Lain : Oloan Pohan dan Koes Hendratmo

Dalam salah satu wawancara dengan wartawan, Koes Hendratmo mengatakan sosok yang terus memberikan motivasi untuk terus menggali bakat menyanyinya adalah gurunya Oloan Pohan. Saat itu Koes pelajar yang tidak berprestasi secara akademik, namun Oloan Pohan membesarkan hati Koes untuk menekuni apa yang menjadi minatnya.

Tapi Koes menyayangkan karena tidak lagi tau dimana guru idolanya tersebut berada. Oloan Pohan yang tahu soal penjelasan Koes pada wartawan memilih tidak menemui Koes yang saat itu sedang di puncak karir.

Lanjut ke Anak Ke #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-13-dari-17_21.html

*Nyaris 90% sesuai penuturan Rudi Ramon Pohan.
*Beberapa tambahan kecil dari Husni Pohan (juga Siti Hajar Lubis mengenai surat Oloan Pohan) dan Soheh Pohan.






No comments: