Wednesday, September 28, 2011

Arti keluarga

Suatu malam di akhir minggu, ketika menyetir menuju Bandung lewat Cipularang, di sekitar kilometer 82 an, aku menerima berita dari Si Sulung, bahwa dia mengalami sesuatu. Saat itu Si Sulung sedang menuju salah satu perumahan elite di daerah Padalarang untuk menyaksikan konser Jazz. Tepatnya di Bale Pare di Kota Parahyangan.

Sebenarnya aku dan anak2 sudah berjanji untuk bersama-sama menyaksikan konser ini, entah apa yang ada di pikiran-nya, bukan-nya menonton bersama ayah dan adik-nya dia malah memutuskan untuk pergi nonton duluan dan seorang diri.

Sayangnya malang tak dapat ditolak ketika melaju dengan kecepatan sekitar 70 km/jam (menurut pengakuan-nya kemudian), mendadak sebuah motor keluar dari SPBU, dari jalur lambat langsung menuju jalur cepat untuk memutar balik kearah berlawanan dimana mobil anak ku lewat.

Dan brakkk...!, anak ku menabrak tanpa ampun sepeda motor tanpa spion tersebut sehingga terpental kekanan sekaligus membuat garpu dan kerangka motor melengkung, sedangkan tubuh pengendara motor melayang menghantam kap mobil kiri lalu kepala-nya membentur kaca depan sampai hancur dan tubuhnya terpental kekiri. Dengan radiator bocor, dudukan lampu patah, gril dan bemper kiri remuk, Si Sulung menghentikan mobil-nya sampai menimbulkan bunyi berdecit keras dan panjang, serta jejak hitam ban kiri yang kempes seketika sekitar 7 meter-an di aspal (jejak ban ini nantinya tidak menghilang selama dua mingguan) serta langsung dikerubungi security kompleks dan polisi (yang kebetulan bertugas mengamankan acara konser jazz). Menurut saksi mata, sebagian penonton konser kaget mendengar decitan ban dan suara tabrakan, berlarian keluar meninggalkan konser untuk melihat kecelakaan tersebut.




Saat aku sampai dilokasi, Si Sulung berdiri dengan wajah galau, shock dan pucat pasi sambil menatap ku dengan ekspresi memohon pertolongan berdiri diantara beberapa polisi yang terkesan sedang mengintimidasi-nya dan security kompleks yang sedang memroses BAP. Sedangkan korban telah dibawa ke UGD Rumah Sakit terdekat (Cahya Kawaluyaan) dengan menggunakan mobil security kompleks.

Kilas balik sedikit, belakangan ini Si Sulung setelah mulai memasuki masa remaja, selalu mempunyai acara sendiri, sehingga tidak seperti setahun yang lalu dimana kami sekeluarga selalu bersama-sama menghabiskan acara saat weekend, maka saat2 seperti sekarang, hal ini sudah sangat sulit untuk dilakukan. Aku selalu menyampaikan pada Si Sulung betapa waktu2 bersama keluarga adalah hal penting, karena begitu lewat, masa ini akan jadi kenangan yang tak dapat kembali dinikmati. Bahwa teman untuk bersenang-senang akan sangat mudah ditemukan dimanapun sebaliknya saat2 kesulitan keluarga lah yang lebih dapat diandalkan, tetapi apa2 yang aku sampaikan seakan akan masuk telinga kiri dan langsung melompat keluar dari telinga kanan.

Kembali ke peristiwa kecelakaan, maka aku langsung ambil inisiatif untuk berbicara dengan polisi. Menggunakan mobil langka dengan bentuk aneh dan DRL yang terang benderang, serta ketika turun didampingi dua rekan berbaju batik yang entah kenapa posisi jalan-nya di belakang aku sehingga seakan akan terlihat lebih sebagai ajudan (maklum ada dua teman yang ikut nebeng dari Jakarta sampai Cimahi), membuat polisi sedikit "terintimidasi"  dan menyambutku dengan ekspresi "segan". Aku langsung saja melontarkan pertanyaan agak sedikit memaksa
"Maaf pak, saya ingin segera urusan ini selesai secepat-nya, langkah2 apa saja yang harus saya tempuh ?". Polisi lalu menyampaikan agar aku segera ke Rumah Sakit dan menyampaikan bahwa mobil dan motor akan di bawa ke Kantor Polisi. Lalu aku menyampaikan keberatan kalau mobil harus dibawa, dan Polisi mengatakan hal itu bisa saja, selama ada kesepakatan damai dengan keluarga korban.

Lalu aku segera menuju ke rumah sakit, diskusi dengan keluarga korban, diskusi dengan rekan2 kerja korban, konsultasi dengan dokter seraya membaca hasil rontgen, membayar uang muka perawatan, membuat surat pernyataan bersama keluarga/ wali korban rangkap tiga, kontak agen asuransi dan derek kendaraan. Saat salinan surat perdamaian aku serahkan pada Polisi, beliau menolak dengan alasan harus ada materai, seraya menyampaikan kembali pada wali korban, bahwa jika surat ini di sepakati, maka jangan salahkan Polisi kalau ada apa2 di kelak kemudian hari. Sempat terlihat keraguan di wajah wali korban, tak kehilangan akal aku mencoba meyakinkan resiko pada kedua kendaraan kami jika kesepakatan damai ini tidak berhasil. Dan lalu meminta bantuan administrasi Rumah Sakit untuk beberapa lembar meterai.

Tak lupa aku ajak Si Sulung untuk meminta maaf pada korban (sebagai bagian untuk mengajari-nya menjadi sosok yang bertanggung jawab), yang tengah terbaring dengan luka jahitan dikepala (ada retakan di kepala sesuai rontgen), memar disekujur tubuh, retakan di rusuk,  dan jari tangan patah. Akhirnya jam setengah dua belas malam selesai juga semua urusan penting yang melelahkan ini, meski masih harus ditindak lanjuti penyelesaiannya beberapa hari kedepan. Lalu setelah segala sesuatunya dapat dikendalikan, dengan wajah serius, Si Sulung menatap ku haru, dan dengan suara bergetar berkata “Papa, you’re the best, sekarang aku baru benar benar tahu apa arti keluarga”.

Lalu aku dan Si Sulung meninggalkan tempat itu sambil mengikuti mobil derek bak terbuka yang melaju di depan sambil menyalakan lampu emergency, dengan "city car" compang camping diatas-nya. Aku sama sekali tidak menunjukkan kemarahan dan ekspresi lain-nya, dengan kesenyapan suasana tersebut aku lebih ingin Si Sulung merenungi apa yang sudah terjadi. Beberapa lama setelah kejadian, hal ini memang pernah dia tanyakan, karena dia pernah melihat ayah teman-nya yang luar biasa murka, meski apa yang dia alami teman-nya masih dalam skala yang jauh lebih kecil.  Aku cuma menjawab, "Kamu sudah mengalami sesuatu yang lebih parah dari sekedar amarah papa, jadi gunakanlah kejadian ini untuk berubah, kalau tidak sekarang kapan lagi ?".  

Saat ini Si Sulung jauh berubah, dan semoga demikian seterusnya. Bagi Si Sulung malam itu adalah kepompong yang mengantar-nya dari ulat menjadi kupu-kupu. Beberapa waktu kemudian, aku membaca di internet, bahwa kecelakaan memang dapat membantu menyehatkan psikologis seseorang. Pelaku kecelakaan umum-nya akan berusaha ikut merasakan apa yang diderita oleh korban. Rasa bersalah akan mengubah cara pandang kita dan membuat kita lebih menghargai kehidupan dan menyadari penting-nya keluarga. Penelitian tentang ini dibukukan oleh Prof. Eric Wilson dari North Carolina dengan judul "Everyone Loves a Good Train Wreck : Why We Can't Look Away".

No comments: