Sebelum Masaru Emoto membuat beberapa buku yang meraih best seller terkait dengan keajaiban air, sebenarnya saya sudah lama tertarik dengan air, masalahnya persentasi terbanyak dalam tubuh kita didominasi oleh air, dan kesimpulan Emoto mengenai kemampuan air merekam pesan dan bereaksi terhadap pesan tsb menjadi terkesan wajar bukan karena cuma masalah dominasi air dalam tubuh kita tetapi juga bahwa faktanya air yang didoakan banyak digunakan dalam proses pengobatan di Indonesia. Sehingga “penelitian“ Emoto terkesan melegalkan tradisi kebanyakan masyarakat Indonesia terhadap air.
Masalahnya, penelitian Emoto sudah dicoba beberapa peneliti lain tapi tak kunjung menemukan apa yang dimaksud dengan kemampuan air sebagaimana yang dimaksud oleh Emoto. Belum lagi bahwa latar belakang Emoto bukanlah sains melainkan humaniora, dan gelar “Doctor” yang dimiliki berasal salah satu universitas terbuka di India, yang dikenal sebagai perguruan tinggi yang sangat longgar dalam memberikan gelar. Disamping itu metodologi yang digunakan Emoto tidak mengandung kaidah double blind (pembuat dan pengecek harus merupakan sosok yang berbeda) dan model sampling pemotretan-nya terkesan hanya mengambil sampel yang sukses dan mengabaikan sampel yang tidak sukses, sehingga konsistensi metoda-nya meragukan.
Emoto juga mengaitkan penelitian ini dengan HADO, sejenis kepercayaan di kelompok tertentu di masyarakat Jepang, yang meyakini adanya energi pada setiap benda. Misal ketika kita mengeluarkan kata kata negatif ke air, maka otomatis, akan terciptalah energi negatif yang akan direspon air dengan cara yang negatif juga.
Buku ini melontarkan kritik terhadap Emoto, tapi bukan dengan penelitian dibalas penelitian tandingan, melainkan mengutip penelitian Khristopher Setchfield, Kenneth Librecht, Kelompok Amanda White, Robbie Else dan Scott Wilson, dll. Akibatnya meski mengunakan kata pengantar Prof Soewarno Soekarto, bobot ilmiah buku sebagai jawaban atas buku Emoto jadi terasa kurang.
Meski demikian tanpa bermaksud menyerang Emoto secara pribadi, secara umum buku2 Emoto mengajarkan hal2 prinsip dalam berhubungan dengan air, yaitu memelihara lingkungan dan air disekitar kita, berpikir positif, mencintai dan bersyukur akan adanya air dalam kehidupan. Tentu saja ini sebuah pesan positif.
Masalahnya, penelitian Emoto sudah dicoba beberapa peneliti lain tapi tak kunjung menemukan apa yang dimaksud dengan kemampuan air sebagaimana yang dimaksud oleh Emoto. Belum lagi bahwa latar belakang Emoto bukanlah sains melainkan humaniora, dan gelar “Doctor” yang dimiliki berasal salah satu universitas terbuka di India, yang dikenal sebagai perguruan tinggi yang sangat longgar dalam memberikan gelar. Disamping itu metodologi yang digunakan Emoto tidak mengandung kaidah double blind (pembuat dan pengecek harus merupakan sosok yang berbeda) dan model sampling pemotretan-nya terkesan hanya mengambil sampel yang sukses dan mengabaikan sampel yang tidak sukses, sehingga konsistensi metoda-nya meragukan.
Emoto juga mengaitkan penelitian ini dengan HADO, sejenis kepercayaan di kelompok tertentu di masyarakat Jepang, yang meyakini adanya energi pada setiap benda. Misal ketika kita mengeluarkan kata kata negatif ke air, maka otomatis, akan terciptalah energi negatif yang akan direspon air dengan cara yang negatif juga.
Buku ini melontarkan kritik terhadap Emoto, tapi bukan dengan penelitian dibalas penelitian tandingan, melainkan mengutip penelitian Khristopher Setchfield, Kenneth Librecht, Kelompok Amanda White, Robbie Else dan Scott Wilson, dll. Akibatnya meski mengunakan kata pengantar Prof Soewarno Soekarto, bobot ilmiah buku sebagai jawaban atas buku Emoto jadi terasa kurang.
Meski demikian tanpa bermaksud menyerang Emoto secara pribadi, secara umum buku2 Emoto mengajarkan hal2 prinsip dalam berhubungan dengan air, yaitu memelihara lingkungan dan air disekitar kita, berpikir positif, mencintai dan bersyukur akan adanya air dalam kehidupan. Tentu saja ini sebuah pesan positif.
No comments:
Post a Comment