Salah seorang Uwa’ku yang bernama Miskat. Asal muasal namanya, kalau menurut penuturan Uwa’ sendiri, adalah karena dia kebetulan lahir hari Kamis. Orangtua Uwa sambil mikir2 mencari nama2 yang cocok terus menerus menggumamkan hari lahir sang Uwa’ yakni Kamis, Kamis, Kamis ... dst. sehingga lama2 berhenti pada saat ucapan tersebut menjadi Miska, Miska Miska ... Namun supaya enak dan lengket di lidah, maka ditambahkanlah huruf t, sehingga jadilah Miskat.
Ayahku hanya nyengir setengah percaya mendengar penjelasan semau gue Uwa’ku ini - yang di masa mudanya pernah berprofesi sebagai sopir bus antar lintas Sumatera. Karena dengan metode ini, tentunya akan ada sejumlah anak yang bernama Guming, Lasase, Ninse, Bura dan At’jum. Namun belakangan justru Ibu yang menemukan ternyata dalam salah satu ayat Al Qur’an yang terkait dengan cahaya, terdapat kata Miskat.
Demikianlah, maka sewaktu liburan ke Bandung untuk mengunjungi cucunya, Uwa’ Miskat mengubek2 pelosok Bandung untuk membeli mobil Landrover tua yang kemudian dibahandelnya (direparasi/ diolah) oleh beliau, yang memang pecinta bongkar pasang mesin ini, untuk dipakai pulang kampung bersama Uwi’ (kami memanggil istri Uwa dengan nama Uwi’ sebagai padanan dari kata Uwa’).
Masih dari atas landrover tuanya yang baru, dengan menahan rasa haru dan mata berkaca – kaca, Uwa’ berpesan agar kami segera berkunjung ke kampung Uwa’ (yakni daerah Sibakkua, perkebunan salak yang terkenal, yang berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan dari Padang Sidempuan). Selain karena sudah dekat waktunya memanen kebun salak, Uwa’ juga berikrar akan manguras tobat (menguras kolam ikan alias memanen ikan) khusus guna menyambut kedatangan kami sekeluarga.
Namun, Uwa Miskat sendiri, yang sering menjuluki dirinya dengan Uwa Tiang Gol (karena gigi depannya ompong semua kecuali taring kiri dan kanan sehingga menyerupai tiang gawang sepakbola ini) meninggal dunia sebelum kami, sekeluarga besar, sempat memenuhi undangannya.
Meninggalnya Uwa’pun mendadak. Kejadiannya sehabis Uwa’ ambil wudhu hendak sholat Jum’at. Mendadak beliau merasa sakit kepala. Beliau akhirnya terpaksa membaringkan dirinya di tempat tidur dengan wajah, tangan, kaki dan sebagian sarung yang masih basah kena air wudhu. Sejak membaringkan dirinya itulah, beliau tidak pernah lagi membuka matanya. Dan demikianlah Uwa’ Tiang Gol menghadap Sang Khalik.
Adapun Uwi’ yang pendiam dan banyak senyum itu, menyusul Sang Khalik tidak lama setelahnya. Walaupun Uwi’ selama pengamatanku, tampak pendiam dan ’tanpa daksa’, kalau menurut Uwa’ sendiri, justru Uwi’ yang tampak ’tak berdaya’ itulah yang pada saat2 tertentu akan ’mengaum’, bertindak spontan, tidak terduga dan nekad.
Misalnya penuturan Uwa’, Uwi’ ini dulu pernah menguber2 Uwa’ sambil mengayun2kan lading (parang) saat Uwa’ ditengarai Uwi’ main mata dengan cewek2 lain. Maklum sebagai sopir, pergaulan Uwa’ luas, dan pembawaannya yang humoris, gampang membuat cewek2 terpikat.
Lain lagi ketika, Uwi’ pun pernah pula nyebur sumur. Namun ini karena Uwi’ tidak kuat menahan perasaannya. Ceritanya, salah seorang anak Uwa’, saat hari penikahannya (sanak famili dan para undangan telah berkumpul semua), mendadak kabur dengan pilihan hatinya di menit2 terakhir. Seluruh persiapan pesta, semua tamu2 yang dundang, segenap kaum kerabat, semua mendadak menjadi beban yang menghantam fikiran dan perasaan Uwa’ dan Uwi’ berdua. Bagaimana mungkin mereka bisa menjelaskan semua2nya ? Bagaimana harus bersikap kepada calon besan ? Yang notabene semua undangan yang datang masih ada hubungan kekerabatan ?
Tak kuat menahan emosi, Uwi’ yang buntu akalnya berlari ke belakang rumah dan plung.. !! Uwi’ nyebur ke sumur. Untung ada tetangga yang sempat mendengar dan berteriak seketika, sehingga sanak saudara berhamburan menolong dan Uwi’ dapat tertolong dan diselamatkan. Melihat keadaan Uwi; yang runyam itu, calon besan dan sebagian saudara mulai cooling down. Para hatobangon (tetua) setempat kemudian memberikan penerangan dan penenangan pada tetamu dan kaum kerabat. Bahwa soal perjodohan itu termasuk bagian dari rahasia Allah. Manusia punya rencana, namun Allah pun demikian pula, memiliki rencanaNya sendiri. Akhirnya semua pihak mengangguk maklum dan bisa menerima.
Anak Uwi’ tersebut sekarang telah memiliki 3 orang anak yang semuanya sudah mandiri. Saat anak Uwi’ tersebut (aku memanggilnya Abang) bercerita padaku belasan tahun kemudian, Abang mengatakan bahwa, dengan bercermin dari pengalaman masa lalunya, dia berjanji akan membebaskan anak2nya untuk menikah dengan siapapun juga yang menjadi pilihan hatinya. Namun sayangnya niat Abang untuk mengawinkan anak2nya itu pun tidak kesampaian, karena Abang meninggal pada usia yang cukup muda, disaat anaknya yang paling sulung masih duduk di bangku SLTA.
No comments:
Post a Comment