Dari Trowulan kami langsung menuju Batu, namun jalan yang dipilih Waze benar2 sepi, lalu Abang Ipar yang menunggu kami di Batu menelepon dan sempat dengan nada heran bertanya kenapa kami lewat situ, ketika kami bilang tidak ada pilihan lain, dia mengatakan agar kami berhati-hati karena akan melewati Hutan. Saat itu saya dan istri masih tenang-tenang saja, karena kami pernah memiliki pengalaman masuk Batu via Pujon yang di tahun 1999 saat jam 23:00 malam, dan rasanya sudah menjadi pengalaman yang sangat berkesan hingga kami melewati Cangar.
Namun jalan semakin seram, sempit dan berkelok tajam, sangat sedikit mobil yang melewati tempat ini, dan semakin dalam semakin sepi, kadang kami harus melewati beberapa jembatan tua yang terlihat sangat rapuh. Adik ipar yang kebetulan kebagian shift menyetir selalu membunyikan klakson manakala kami melewati jembatan. Ketika tanjakan semakin curam bahkan sekitar 40 derajat dengan sudut belokan nyaris patah, ban mobil berputar namun mobil seakan mendecit tertahan karena beban traksi yang tak sama. Di satu titik bahkan adik ipar sempat merasa lost power meski sudah menggunakan shiftronic di posisi satu, namun dia segera menginjak gas lebih dalam. Disini performa torsi Mitsubishi Pajero benar-benar diuji dengan baik.
GPS mobil, petanya sudah tidak akurat lagi di sini, saya lalu mengandalkan Waze, namun sinyal provider lalu hilang sama sekali, sehingga peta tidak tampil maksimal, tak lama kemudian giliran GPS Waze berkedip-kedip, dan di beberapa tempat bahkan sempat hilang. Setiap kali hilang sinyal, saya minta adik memperlambat kecepatan, namun membuat suasana semakin mencekam. Bayangkan sudah seram harus lambat pula. Si Sulung lalu bertanya, bagaimana sinyal pa ? haduhh jujur saja tak tega menjawabnya, saya cuma bisa bilang "Tidak stabil nak, namun teruslah berdoa semoga kita bisa segera melewati tempat ini".
Lagi-lagi kami semua sibuk berbisik membaca doa-doa, di beberapa tempat jurang menganga di sebelah jalan sementara di sebelah lainnya dinding tebing mengancam. Setiap kali ada yang berbicara yang lain menimpali dengan instruksi "shhhhh berdoa !", termasuk ketika kedua anak gadis di baris belakang berbisik bisik ketakutan. Farras, anak bungsu adik lalu menyeletuk, "Kalau mobilnya gak kuat naik bagaimana ?" kami semua yang tersentak kaget lalu berseru "shhhhh berdoa !". Cuaca benar2 gelap sementara hujan terus menerus mengguyur jalanan yang semakin licin sesekali kabut menutup pandangan. Lalu kembali memasuki hutan gelap dengan jalan berkelok kelok, hemm rasanya jauh lebih seram ini dibanding lewat Pujon bertahun -tahun yang lalu. Kami sempat melewati jalanan dengan sisa longsoran dan licin karena tertutup lumpur. Anehnya kami sempat melihat sebuah mobil berhenti di kegelapan, dan beberapa hari setelahnya kami membaca koran ditemukan mayat seorang pengusaha Surabaya yang dibuang pada malam dimana kami lewat, setelah beberapa minggu berselang ada mayat lainnya yang ditemukan. Hiiii ternyata memang lokasi ini lokasi yang dipilih pelaku kriminal dalam melenyapkan jejak korbannya.
Ketika akhirnya sampai ke Batu, meski kami bermaksud makan di Alun-alun Batu, namun Abang Ipar berkeras agar kami makan di Restoran Hotel Purnama, Selecta, akhirnya kami pun menyantap Cap Cay, Ayam Goreng Mentega dan Nasi Goreng ditengah udara pegunungan yang dingin di Batu. Lalu Abang Ipar cerita, kalau dia sendiri dan kebanyakan penduduk Batu, tak berani lewat jalur yang kami tempuh saat malam hari, daerah Hutan Lindung tersebut menurut Abang Ipar, masih banyak terdapat Harimau Jawa dan Monyet Hitam.
Setelah makan kami berkeliling Hotel Purnama melihat lihat tamannya yang indah, kebun Strawberry, Kolam Pemancingan dan restoran lantai atas yang memungkinkan kita memandangi lampu-lampu kota Batu di waktu malam serta persiapan Hotel Purnama menyambut Natal dan Tahun Baru. Dan lalu menginap di rumah Abang Ipar di antara kebun bunga di belakang Hotel Purnama.
Pagi hari saya dan adik ipar mencuci mobil yang luar biasa kotor dan penuh lumpur setelah sempat melewati daerah longsor di Cangar, lalu kami jalan kaki ke Hotel Purnama melewati kebun petani bunga. Melewati rumah2 kayu yang disewakan seorang pengusaha alumni ITB, dan berkunjung ke toko-toko penjual Pot Bunga serta melihat lihat villa-villa indah disekitarnya. Adik ipar terkesan dengan masjid-masjid di sekitar Batu yang rata-rata dibuat dengan cantik. Sebelum berjalan-jalan si Bungsu sempat berpose disamping mobil di depan tempat tinggal kakak dan abang ipar.
Untuk sarapan kami menuju Warung AMIN (yang menurut penjualnya singkatan Anda Makan Ingin Nikmat), di Jalan Surapati. Menu andalannya masih seperti dulu saat berjualan dekat Lampu Merah salah satu perempatan di Batu di Jalan Panglima Sudirman. Rawon Sapi dengan daging berukuran besar-besar, Gule Kambing dan Pecel Madiun yang menggunakan sayur khusus (daun kemangi) dan dimakan dengan rempeyek renyah. Lelaki tua si penjual yang berusia 65 tahun bercerita, dulu dia sempat bekerja sebagai Guru, lalu pindah bekerja ke Kalimantan dan akhirnya memutuskan untuk jualan makanan di Batu. Sayang kata beliau, lokasi lama tidak dijual oleh pemiliknya, sehingga dia terpaksa pindah. Beliau cerita, bahwa dia selalu membeli daging terbaik meski berharga Rp. 100.000 sekilo, dan tetap menggunakan cabe secara maksimal meski saat ini harganya terus naik. Pembelinya berdatangan dari Malang maupun Surabaya dengan membawa rantang.
Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-9-of.html
No comments:
Post a Comment