Di komik Benny Racmadi, Alas Roban digambarkan dengan seram, namun sepertinya kami diarahkan lewat jalan untuk mobil kecil sedangkan truk2 besar diarahkan ke jalan bagian atas melintasi bagian terseram dari Alas Roban. Sebelum melewati tempat ini kami harus menghadapi kemacetan parah, untungnya ada penjual pisang rebus dan kacang rebus hemm sedap, sepuluh pisang dan empat bungkus kacang rebus langsung dibantai rombongan.
Karena kami tidak melewati bagian atas, rasanya hutan yang konon kabarnya sangat angker ini, tidak begitu menyeramkan saat kami lewati. Meski si bungsu sempat ketakutan karena pernah membaca sosok kakek berlampu dalam komik Benny Rachmadi yang konon kabarnya sering terlihat di Alas Roban. Konon kabarnya keseraman Alas Roban ini salah satunya dipicu kasus Petrus di zaman Pak Harto, yang memang menjadikan hutan ini sebagai lokasi pembuangan mayat. Selain itu hutan ini sering dijadikan lokasi pembegalan kawanan penjahat. Dari beberapa informasi yang kami baca, di warung terakhir seelum masuk hutan, khususnya di malam hari kebanyakan kendaraan akan menunggu kendaraan lain sampai berjumlah cukup untuk sama-sama masuk melewati hutan ini.
Setelahnya kami menuju Batang , meski tadinya sempat tertarik untuk ke ke Batang Dolphin Center, karena sudah malam kami lanjutkan perjalanan ke Kendal menempuh sekitar 70 km. Saat malam kami akhirnya tiba di Semarang, dan langsung ke penginapan di Hotel Neo, hotel minimalis yang dikelola dibawah manajemen Aston. Kami memesan dua unit kamar, untuk menghindari pertanyaan manajemen Hotel, kami masuk duluan, lalu anak2 menyusul kemudian. Maklum tidak semua Hotel mengizinkan satu keluarga menggunakan satu kamar saja.
Malamnya saat hujan mengguyur Semarang, kami menuju Semarang Bawah dengan tujuan makan di Nasi Sego Kucing Pak Gik di daerah jalan Gadjah Mada. Sayangnya beliau baru buka jam 24:00 malam, dan karena sudah lapar akhirnya kami parkir di sekitar alun2, sementara hujan mengguyur deras dan jalan sangat macet karena sedang ada persiapan sirkuit untuk balap motor keesokan harinya. Istri dan adik-nya akhirnya memutuskan untuk membeli saja makanan di alun2, dan kami makan di hotel. Dalam keadaan lapar menu capcay, udang saos, dan ikan goreng terasa sangat nikmat.
Keesokan paginya setelah membeli shampo kaca mobil di samping hotel, kami sarapan di Soto Pak No yang juga terkenal dengan sate kerangnya yang memang enak dan di warung sebelahnya kami membeli Serabi Notosuman yang sangat lezat. Lalu kami menuju Lawang Sewu Jl. Randusari Spaen, dengan diantar guide berkeliling dari satu bangunan ke bangunan lain-nya. Tak lupa kami berdoa di lubang menuju ruang bawah tanah yang menurut guide merupakan tempat mengurung sampai mati ratusan pejuang Indonesia yang memiiliki ilmu kebal. Guide disini berpakaian ala era kolonial dan ramah-ramah.
Kami terpesona dengan arsitektur Lawang Sewu, termasuk bangunan sumur yang sangat dalam dan menurut guide sekitar 1.000 meter untuk menghindari air asin, keramik bagian luar yang didatangkan langsung dari Jerman, lampu-lampu hias, desain jendela yang membuka keatas, engsel pintu jati tanpa sekrup, langit2 yang tinggi, ornamen kaca hias di jendela, toilet yang sengaja dipisahkan jauh dari bangunan utama, lantai yang bergema, ruang bawah tanah yang tergenang dengan air saat musim hujan serta aula besar dengan konstruksi jati yang sebenarnya langit-langit Lawang Sewu. Di Langit-langit Lawang Sewu ini masih terlihat garis-garis marka lapangan Badminton, menurut guide, memang sempat digunakan TNI sebagai lapangan olahraga. Tentu kami tidak akan tahu itu semua jika tidak mengandalkan guide. Kebiasaan kami sekeluarga untuk menyewa guide memberikan informasi yang jauh lebih komprehensif di banding jika membacanya sendiri. Kami juga menikmati museum Kereta Api yang berada di lantai bawah dengan koleksi-koleksi lengkap tidak kalah dengan area disekitar Peak Tram yang pernah kami kunjungi di Hongkong.
Lalu kami menuju Pandanaran untuk membeli oleh-oleh Bandeng, Wingko dan Lun-pia serta Jambu Air (Cincalo) yang terasa sangat segar. Tujuan berikutnya adalah Klenteng Sam Poo Kong di Jalan Simongan Raya, sayang petugas di bagian depan terlihat kurang bersahabat dan bersikap ketus. Klenteng ini dibangun dengan indah, berada di dalamnya serasa berada di Negeri China. Tujuan ke Ambawara untuk wisata kereta tua lewat Ungaran kami coret karena sudah puas menyaksikan berbagai sejarah Kereta Api di lantai dasar Lawang Sewu yang dahulunya memang merupakan Gedung Pusat Pengelolaan Kereta. Api.
Siangnya kami shalat Lohor di Masjid Agung, Semarang yang sangat megah namun sayang terlihat kurang terawat dan ternyata sudah tidak sesuai dengan publikasi yang kami akses via internet sehingga rencana makan siang di resto berputar di salah satu menara batal dilakukan. Di Masjid Agung Semarang, saat itu cuaca cukup terik, lantai keramik sangat panas, berbeda dengan lantai marmer di Mekkah yang tidak panas meski cuaca jauh lebih terik. Ketika lewat dan meringis dan meloncat loncat kepanasan saya bercanda, kalau di Masjid saja begini panas, bagaimana di Neraka ya.
Lalu kami ke Toko Es Krim Oen Jl. Pemuda no. 52 namun karena petugas saat itu tak berani menyatakan menu-nya halal akhirnya Toko Es Krim terkenal tersebut kami tinggalkan.
Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-5-of.html
No comments:
Post a Comment