Kami pun memulai penjelajahan kembali menuju Malang yang berjarak sekitar 24 km dari Batu alias seharusnya bisa dicapai dalam waktu sekitar setengah jam saja, namun jalanan sangat macet, dan kami terpaksa menempuhnya dalam dua jam. Apa tujuan kami kali ini ?, sesuai informasi dari salah seorang karyawati di Klinik kami, yakni Bidan Alina yang memang berasal dari Malang, Baso Malang yang benar-benar mewakili Malang ya Bakso President yang lokasinya dekat rel kereta api. Kami sampai disana sudah cukup siang, dan langsung menyantap berbagai varian Baso Malang. Bagaimana rasanya ? kalau rasa sih sepertinya di banding Baso Malang Enggal Bandung mungkin sedikit dibawahnya, namun makan Baso Malang di Malang memang memberikan nuansa yang berbeda, apalagi jika saat makan kereta apinya lewat dengan suara yang khas. Namun es telernya memang nikmat sekali apalagi kalau dimakan sebagai pendamping Baso Malang.
Dari Malang kami pun menuju Blitar, saya berhenti lagi di sebuah toko asesoris mobil untuk mengganti lampu rem yang mendadak mati. Hujan turun dengan derasnya, sehingga membuat kami ragu untuk ziarah ke makam, namun karena sudah terlanjur ada di Blitar dan kami sudah mencoret Bromo serta Masjid Turen dari itinerary sayang sekali rasanya kalau melewatkan ziarah di makam salah satu tokoh yang saya kagumi ini.
Karena masih hujan dan sudah waktunya makan siang, kami memutuskan mengikuti sebuah plang nama Sop Buntut Biang Goprak yang ternyata jalannya masih masuk kedalam meninggalkan jalan utama, namun karena disebutkan hanya berjarak 2,17 km kami coba untuk mencarinya, bayangkan Sop Buntut saat hujan, apalagi yang lebih nikmat dari hal tersebut. Ehh sudah 2 km lebih masih belum ada, dan lalu kami menemukan spanduk kedua, lebih kedalam lagi dan tetap dengan 2,17 km, hemm aneh juga, lantas kami ikuti lagi, setelah 2 km tambahan ehh akhirnya muncul spanduk ketiga, namun tetap dengan jarak yang sama 2,17 km lagi ? dan di depan mulai terlihat hutan di kiri dan kanan jalan, akhirnya kami memutuskan untuk makan di Ayam Bakar Bu Mamik, dan ternyata makan disini nikmat sekali, saat hujan terus turun dengan hidangan Ayam Kampung Goreng ala Suharti, Gurame Goreng, Cap Cay dan berbagai lalapan di halaman belakang di samping ladang jagung. Demikian nikmatnya Gurame-nya sehingga keponakan kami Farras masih terus sibuk membersihkan Gurame tulang demi tulang, saat yang lainnya sudah selesai makan. Interior restoran ini dihiasi pernik-pernik Jawa klasik, fasilitas parkir-nya luas, kamar mandinya bersih serta tersedia mushalla yang nyaman bagi para pengunjung.
Setelah kenyang dan sholat kamipun melanjutkan perjalanan ke makam Bung Karno.
Makam terletak tidak jauh dari situ, namun hujan terus turun dengan derasnya sementara payung cuma dua, setelah parkir di homestay sekitar makam, maka dengan berlari dan sebagian anggota rombongan menggunakan jaket sebagai pengganti payung, kamipun sampai di makam yang tiket masuknya cukup membayar Rp. 2.000 saja. Saat itu sedang ada pengajian, suasana terasa sangat khusuk, tak terasa mata saya berkaca kaca ketika berdoa di makam beliau yang jasanya bagi bangsa dan negara ini sangatlah besar. Teringat saya perlakuan tidak manusiawi pada beliau saat mengakhiri jabatannya sebagai presiden oleh rezim setelah beliau, yang saya baca di buku karya Peter Kasenda. Ketika keluar ternyata kami tidak boleh menggunakan jalur masuk, dan di”paksa “ melalui lorong-lorong tempat masyarakat setempat berjualan, sayangnya lorong ini cukup berputar putar dan jauh, sehingga rasanya tidak fair khususnya bagi pengunjung yang memang tidak niat berbelanja dan kesulitan berjalan jauh misalnya. Saya jadi teringat Borobudur dan Prambanan yang menggunakan taktik serupa.
Lalu kami pun melanjutkan perjalanan, kali ini jalannya berbelok belok dan saat melewati Ponorogo kondisi jalan yang berkelok kelok membuat mual penumpang termuda dalam rombongan kami, akhirnya Farras demikan nama-nya terpaksa memuntahkan seluruh makanan yang sempat sangat dia nikmati saat di Ayam Bakar Bu Mamik, Blitar. Setelah jalanan agak sepi, lalu kresek penuh muntah pun melayang dari dalam mobil. Saya termasuk orang yang sangat tidak suka melihat sampah dibuang sembarangan, dan kami selalu menyiapkan kantong kresek untuk menampung semua sampah lalu membuangnya di tempat sampah terdekat. Namun muntah adalah hal yang berbeda, bau asamnya bisa membuat penumpang lainnya ikut terpancing. Jadi mohon maafkan saya sekali ini.
Lalu menjelang Ponorogo kami berhenti di sebuah warung makanan lain, yakni Soto Segar Mbok Nem, Jalan Trunojoyo menjelang perbatasan Ponorogo - Wonogiri. Saat saya ke kamar kecil, nampak dua pria duduk menghadap toilet dengan lagak mencurigakan, sehingga saya meminta si sulung menemani istri dan anak perempuan saya ketika mereka menggunakan kamar kecil untuk mencegah hal2 yang tidak diinginkan.
Untuk referensi tambahan silahkan baca di http://hipohan.blogspot.com/2012/10/hari-hari-terakhir-sukarno-nya-peter.html
Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-11.html
No comments:
Post a Comment