Dalam perjalanan karena memang sudah jam makan, kami memutuskan untuk berhenti di salah satu warung di pinggir jalan. Menunya agak unik yakni Ikan Mangut Asap yang disajikan dengan kuah seperti kari, namun rasanya enak. Gule kari ini mengingatkan saya akan Gule Ikan Limbat Asap yang merupakan makanan khas Sumatera Utara, tepatnya Mandailing. Disamping Ikan Mangut, ada juga bebek goreng berukuran besar, sayang-nya sangat alot. Dan kejutan, meski warung-nya kecil ketika harus membayar, ternyata makan disini adalah salah satu yang termahal selama perjalanan.
Sesuai itinerary kami lanjut ke Lamongan melewati Babat, dengan rencana wisata ke Gua Maharani, sayangnya sampai menjelang malam perjalanan terkendala. Saat melewati Babat teringat riwayat keluarga saya yang sempat tinggal disini, dan Ayah bahkan sempat jadi salah satu pimpinan PNI. Ayah yang memang berbakat orator dan terbiasa berpidato di depan massa sempat ditawari menjadi Ketua DPRD, sayang-nya Ibu tidak setuju. Di sini juga Ayah yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pos, nyaris melepas nyawa saat di hajar oleh tentara Kavaleri ketika tidak bisa menerima keputusan Ayah memecat adik si tentara yang merangkap menjadi anggota PKI kala itu. Ibu cerita saat Ayah kembali ke rumah kami dengan sekujur wajah berlumuran darah dan memeluk abangku. Saya masih ingat jam kesayangan Ayah merk Titoni buatan Swiss, kacanya pecah berantakan saat mencoba menangkis pukulan gesper. Sejak itu Ayah termasuk dalam top list jajaran orang-orang yang akan dibunuh PKI.
Karena sayang kalau melewatkan Gua ini, maka kami memutuskan tidak jadi menginap di Surabaya, melainkan mencari penginapan di Lamongan agar keesokan paginya bisa langsung ke Gua. Sayang juga Soto Lamongan yang menjadi andalan daerah ini sudah tutup jam 17:00 sehingga kami terpaksa makan ala kadarnya di Depot Kaliotik dengan rasa standar.
Ternyata hotel Mahkota di Lamongan cukup mahal, sertelah berputar –putar dari satu hotel Mahkota ke hotel Mahkota yang lain karena memang ada tiga hotel Mahkota, kami akhirnya memutuskan menginap di Hotel Elresas. Disini kami memesan tiga kamar, namun lokasinya yang dilantai tiga dengan desain tangga yang tidak pas, membuat kami yang membawa banyak tas ngos2an. Disini saya sempat bertemu dengan salah seorang teman saat masih di Metrodata Group, jadi ingat saat wisata ke Macau saya juga bertemu dengan teman Metrodata.
Lokasi Gua Maharani ini, terletak di kawasan Paciran, Lamongan, disini kami bisa menikmati stalagtit dan stalagmit yang dikelilingi kebun binatang mini serta wisata bahari di bagian depannya. Lokasinya relatif mudah ditemukan karena di tepi jalur utama Pantura atau Jalan Raya Daendels di Lamongan. Setiap rombongan kami bergerak di dalam gua, seorang pria yang membawa botol aqua dengan air berwarna keruh selalu mengikuti, tak jelas apa sebenarnya yang dia inginkan, saya menduga dia bermaksud menjual air tetesan gua, namun dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Sebelum lupa, aneh rasanya melihat setiap Stalagtit dan Stalagmit di sini diberi nama, seakan akan mahluk hidup. Istri saya mengatakan memang budaya Jawa seperti itu.
Setelah mengunjungi Gua, kami diarahkan ke sebuah lokasi yang penuh dengan koleksi berbagai batu fosil. Batu-batu tersebut sangat cantik dan disusun dalam lemari kaca dengan keterangan lengkap. Saat mendekati pintu keluar, kami melewati set manusia prasejarah, istri dan adiknya sempat ketakutan ketika melewati tempat ini.
Paul Sastro Sandjojo atau biasa dikenal dengan Pak Sastro lah yang memulainya dengan Club Bunga Butik Resort, dan lalu mendirikan perusahaan PT Bunga Wangsa Sejati untuk mengelola semua tempat rekreasinya termasuk Jatim Park 1, Jatim Park 2 (Secret Zoo), Museum Angkut, dll. Konon kabarnya Pak Sastro selain mengembangkan usaha bersama Pak Ciputra, juga akan mengembang Kaltim Zoo.
Gua nya sendiri tidak terlalu istimewa, namun dikelola secara baik. Tadinya seperti yang digambarkan di brosur saya mengira stalagtit dan stalagmitnya memang berwarna warni, ternyata hanya permainan cahaya. Suasananya terasa sangat sumpek, dan air menetes menetes dari langit-langit gua mengingatkan saya akan cerita Tom Sawyer saat Joe si Indian harus menghabiskan sisa umurnya dengan menunggu tetesan air setetes demi setetes untuk memuaskan dahaganya.
Kembali ke mobil, kaget saya melihat mobil sudah dicoret-coret dengan jari (karena memang berdebu), dengan tulisan "Wong Edan". Sementara istri dan adiknya melihat lihat berbagai snack unik seperti Kerupik Cumi (ada yang bertinta dan tidak), Kerupuk Rajungan, dan berbagai jenis ikan asin. Istri membeli ikan asin kesukaan ibu, saya, dan baunya yang menyengat akhirnya menyertai perjalanan kami dan rasanya masih menempel di mobil hingga kini. Istri yang mengira air Legen sama dengan Nira menyarankans saya membelinya, namun baunya tidak nyaman, sehingga hanya dari tiga botol yang kami beli, kami hanya sanggup menghabiskan satu seperempat-nya saja.
Beberapa kisah tentang Ayah dapat dibaca di link ini
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-saat-di-babat.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-dan-pni.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/02/ayah-terjun-ke-politik.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-sebagai-politikus-pni-part-1.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-sebagai-politikus-pni-part-2.html
http://hipohan.blogspot.com/2013/04/ayah-sebagai-politikus-pni-part-3.html
Silahkan ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2014/12/petualangan-mengelilingi-jawa-part-6-of.html
No comments:
Post a Comment