Saat jalan2 ke Toga Mas Buah Batu, mata saya tertarik melihat pojok discount buku2 Mizan, dan tertumbuk pada dua buah komik Dwi Koendoro edisi koleksi 85-86 dan 87-88. Komik ini tadinya merupakan serial yang muncul di Kompas Minggu. Muatan utama-nya merupakan kritik dan diperankan oleh beberapa tokoh. Bagi penggemar komik pastilah nama Dwi Koendoro ini tidak asing, dan tidak tanggung2, dalam keluarganya bukan cuma Dwi Koendoro yang terjun dalam dunia coret mencoret, nama istrinya yang sering ditulis dengan Cik DK juga merupakan ilustrator rubrik sains dalam beberapa majalan anak2.
Tokoh utama adalah Panji Koming sendiri yang merupakan sosok pemuda dengan karakter polos dengan pipi tembem, dan sahabatnya diperankan Pailul seorang pemuda kurus, bungkuk dan kritis. Untuk meramaikan cerita Dwi Koendoro menempatkan pasangan wanita dari masing2 tokoh , yaitu Ni Woro Ciblon dan Dyah Gembili, serta tak lupa sosok yang mewakili pejabat pemerintah yang digambarkan sebagai sosok sok tau yaitu Adipati Arya Kendor yang sering lupa “berdiri” karena keasikan “duduk”. Serta sosok penting yang penampilannya bagaikan Gandalf di Lord of The Ring, yaitu si mbah, yang memberikan nasihat bila mana perlu dan, kadang jadi dukun, dan bahkan mampu melakukan teleportasi obyek2 dimasa depan untuk dimunculkan di abad Majapahit.
Hal2 yang dikritik oleh Dwi Koendoro sangat beragam, mulai dari kedatangan artis luar negeri, kenaikan BBM, SDSB, bencana alam, janji pemilu, dll. Karikatur-nya sendiri digambarkan dengan sangat halus tetapi tajam, sepertinya pengakuan Dwi Koendoro bahwa ybs merupakan turunan Ronggo Warsito meski cuma kebagian “gila”nya cukup beralasan. Tak heran kalau pada masanya Kompas dan Dwi Koendoro berkali kali mendapat teguran bahkan beberapa sempat mendapat larangan tayang. Pada era Soeharto sebagaimana kita ketahui sensor sangatlah ketat, dan rezim pendukung Soeharto kadangkala menginterpretasikan sekedar “batuk kecil” dari Sang Penguasa menjadi proses breidel, meski mengorbankan hajat hidup banyak orang.
Secara teknik gambar, tidak banyak yang bisa kita angkat, karena Dwi Koendoro cenderung bermain aman, dan tidak bermain dalam ranah perspektif, gelap terang ataupun sejarah “wardrobe” dan teknologi di era Majapahit. Akan tetapi Dwi Koendoro harus diakui cukup banyak akal untuk menterjemahkan masalah saat ini ke era dulu, misal mengganti kecelakaan pesawat ke kecelakaan gerobak, dll.
Sebagai saran bagi peminat komik ini, yang diperlukan selain kecerdasan, salah satunya adalah latar belakang kenapa suatu strip dirilis, tanpa pemahaman soal latar belakang ini, akan sulit memahami “sindiran” Dwi Koendoro. Rasanya terima kasih banyak mesti kita ucapkan bagi Mizan, yang mau bersusah payah menerbitkan komik menarik ini. Akhir kata Ironis juga menyadari bahwa obyek yang menjadi bahan kritikan Dwi Koendoro saat ini ternyata masih sangat banyak yang relevan dengan kekinian, sepertinya apa yang pernah disampaikan Soekarno, mengenai idiom “Jas Merah” (jangan melupakan sejarah) masih sangat mengena.
No comments:
Post a Comment