Mulai kenal Kim Dong Hwa di komik Chicken Soup yang sangat menyentuh, akhirnya membuat saya memutuskan untuk membeli trilogi novel grafis warna Tanah, Air dan Langit (2003) ini. Ketiga buku ini cukup tebal dan masing2 sekitar 300 halaman serta berformat lebar, dan dibungkus dalam sebuah kotak karton cantik, yang sekaligus merupakan wadah dari trilogi ini.
Cerita-nya sendiri berpusat pada kehidupan dua wanita di Namwon sebuah kampung kecil di Korea, yaitu seorang janda dan anak perempuan-nya Ehwa. Sang Janda memiliki warung yang sering menjadi tempat persinggahan para pria petani yang sebagian besar merupakan warga di desa kecil dimana mereka tinggal. Sang Janda yang cantik digambarkan dengan sabar menahan diri dari godaan lelaki iseng yang justru merupakan langganan loyal meski akhirnya jatuh cinta pada seorang tukang gambar keliling. Khusus Ehwa, mendapat fokus lebih, di buku ini, karena perkembangan-nya, menstruasi pertama, cinta monyet sampai akhirnya malam pengantin digambarkan dengan komprehensif oleh Kim.
Ada kesan yang kuat kalau wanita merupakan sosok yang sangat familiar bagi Kim, karena kedua perempuan tokoh utama yang ada di buku ini memiliki karakter dan penggambaran yang sangat feminin. Cara berpikir, tindak tanduk Ehwa dan Ibunya dalam nofel grafis semua menunjukkan kemampuan Kim dalam menyelami pikiran wanita. Bagi kebanyakan pria, komik ini mungkin tidak menarik, karena tidak adegan perkelahian seru, sangat banyak dialog dan terobsesi dengan berbagai bunga.
Tokoh negatif dalam buku ini cukup banyak, mulai dari sepasang teman Ehwa yang “gatal”, dan cenderung melakukan hal2 tidak senonoh, Bos-nya Duksam ataupun para petani genit yang senantiasa mengeluarkan kata2 “mesum” ke Sang Janda. Sebaliknya Ehwa digambarkan sebagai seorang gadis pemalu yang baik hati, sebagaimana Ibu-nya. Selain Ehwa dan Ibu-nya, ada beberapa tokoh dalam buku ini merupakan sosok yang mewakili citra baik seorang pria, misal seorang Tuan Muda yang merupakan anak salah satu tokoh terpandang, pendeta muda Chung Myung, tukang gambar kekasih Si Janda ataupun Duksam yang akhirnya berhasil meminang Ehwa.
Novel grafis ini sendiri tidak direkomendasikan bagi pembaca belasan tahun, karena cukup banyak adegan2 dewasa, yang sempat membuat saya terkaget kaget atau bahkan malu sendiri. Mulai dari adegan pasangan gatal teman Ehwa, sampai dengan malam pengantin di Warna Langit saat Ehwa akhirnya memutuskan menikah dengan Duksam. Bertolak belakang dengan penggambaran yang agak “panas”, kata2 di buku ini lebih layak dianggap sebagai puisi dan terkesan filosofis.
Beberapa hal yang bagi saya tidak nyaman, penggambaran pasangan “gatal” teman Ehwa yang berlebihan dan terkesan vulgar, lelaki genit di warung yang kadang bahkan tanpa malu merogoh rogoh “senjata-nya” di depan Si Janda (sehingga terkesan eksibisionis), atau pasangan tua yang ikut2an melakukan ritual malam pengantin pada saat yang sama dengan Ehwa dan Duksam sehingga merusak gambaran keindahan malam pengantin Ehwa. Juga jadi tanda tanya bahwa meski Ehwa dinikahkan secara resmi, akan tetapi pernikahan Sang Janda dengan Tukang Gambar keliling sama sekali tidak digambarkan, padahal dengan karakter ibu yang sudah protagonis, sayang kalau status ini menimbulkan pertanyaan.
Diluar itu dialog yang indah, kepribadian Ehwa yang membuat pembaca ikut jatuh hati, nasib percintaan pendeta budha muda yang tragis, merupakan faktor plus dari novel grafis ini. Tentu dibalik dialog yang indah tersebut, kita tidak boleh melupakan Rosi Simamora, yang tanpanya maka karya ini akan turun kelas. Lewat buku ini, secara tidak langsung kita juga belajar adat istiadat Korea, yang dengan rajin dijelaskan oleh Kim pada footnote2 khusus.
Cerita-nya sendiri berpusat pada kehidupan dua wanita di Namwon sebuah kampung kecil di Korea, yaitu seorang janda dan anak perempuan-nya Ehwa. Sang Janda memiliki warung yang sering menjadi tempat persinggahan para pria petani yang sebagian besar merupakan warga di desa kecil dimana mereka tinggal. Sang Janda yang cantik digambarkan dengan sabar menahan diri dari godaan lelaki iseng yang justru merupakan langganan loyal meski akhirnya jatuh cinta pada seorang tukang gambar keliling. Khusus Ehwa, mendapat fokus lebih, di buku ini, karena perkembangan-nya, menstruasi pertama, cinta monyet sampai akhirnya malam pengantin digambarkan dengan komprehensif oleh Kim.
Ada kesan yang kuat kalau wanita merupakan sosok yang sangat familiar bagi Kim, karena kedua perempuan tokoh utama yang ada di buku ini memiliki karakter dan penggambaran yang sangat feminin. Cara berpikir, tindak tanduk Ehwa dan Ibunya dalam nofel grafis semua menunjukkan kemampuan Kim dalam menyelami pikiran wanita. Bagi kebanyakan pria, komik ini mungkin tidak menarik, karena tidak adegan perkelahian seru, sangat banyak dialog dan terobsesi dengan berbagai bunga.
Tokoh negatif dalam buku ini cukup banyak, mulai dari sepasang teman Ehwa yang “gatal”, dan cenderung melakukan hal2 tidak senonoh, Bos-nya Duksam ataupun para petani genit yang senantiasa mengeluarkan kata2 “mesum” ke Sang Janda. Sebaliknya Ehwa digambarkan sebagai seorang gadis pemalu yang baik hati, sebagaimana Ibu-nya. Selain Ehwa dan Ibu-nya, ada beberapa tokoh dalam buku ini merupakan sosok yang mewakili citra baik seorang pria, misal seorang Tuan Muda yang merupakan anak salah satu tokoh terpandang, pendeta muda Chung Myung, tukang gambar kekasih Si Janda ataupun Duksam yang akhirnya berhasil meminang Ehwa.
Novel grafis ini sendiri tidak direkomendasikan bagi pembaca belasan tahun, karena cukup banyak adegan2 dewasa, yang sempat membuat saya terkaget kaget atau bahkan malu sendiri. Mulai dari adegan pasangan gatal teman Ehwa, sampai dengan malam pengantin di Warna Langit saat Ehwa akhirnya memutuskan menikah dengan Duksam. Bertolak belakang dengan penggambaran yang agak “panas”, kata2 di buku ini lebih layak dianggap sebagai puisi dan terkesan filosofis.
Beberapa hal yang bagi saya tidak nyaman, penggambaran pasangan “gatal” teman Ehwa yang berlebihan dan terkesan vulgar, lelaki genit di warung yang kadang bahkan tanpa malu merogoh rogoh “senjata-nya” di depan Si Janda (sehingga terkesan eksibisionis), atau pasangan tua yang ikut2an melakukan ritual malam pengantin pada saat yang sama dengan Ehwa dan Duksam sehingga merusak gambaran keindahan malam pengantin Ehwa. Juga jadi tanda tanya bahwa meski Ehwa dinikahkan secara resmi, akan tetapi pernikahan Sang Janda dengan Tukang Gambar keliling sama sekali tidak digambarkan, padahal dengan karakter ibu yang sudah protagonis, sayang kalau status ini menimbulkan pertanyaan.
Diluar itu dialog yang indah, kepribadian Ehwa yang membuat pembaca ikut jatuh hati, nasib percintaan pendeta budha muda yang tragis, merupakan faktor plus dari novel grafis ini. Tentu dibalik dialog yang indah tersebut, kita tidak boleh melupakan Rosi Simamora, yang tanpanya maka karya ini akan turun kelas. Lewat buku ini, secara tidak langsung kita juga belajar adat istiadat Korea, yang dengan rajin dijelaskan oleh Kim pada footnote2 khusus.
No comments:
Post a Comment