Entah kenapa kedua anak lelaki Ibu (aku dan abang ucok demikian kami sekeluarga biasa memanggilnya) dimasukkan ke sekolah dasar saat usia kami masih lima tahun. Jadi kami berdua hampir selalu menjadi anak yang paling kecil / muda di kelas masing2. Meski demikian di usia itu, aku sangat bangga bisa bersekolah, karena rasanya tidak enak setiap hari melihat Bang Ucok dan Kak Eli berangkat dengan seragam rapi serta membawa tas dan pergi belajar. Kalau boleh memilih memang lebih enak meninggalkan (pelaku) dibanding ditinggalkan (korban).
Semalam sebelum hari pertama masuk sekolah, Ayah dan Ibu bersama aku belanja semua kebutuhan sekolah dengan menggunakan motor dinas Suzuki A100, andalan Ayah. Setibanya di toko maka kami segera berbelanja pinsil warna, buku tulis, peruncing pinsil, tempat pensil serta buku2 pelajaran, yang semuanya dimasukkan dalam koper plastik berwarna biru. Pada masa itu dan seperti umumnya di kota2 kecil, toko biasanya merangkap untuk berjualan berbagai produk, misalnya toko buku bisa saja merangkap sebagai toko pakaian.
Sungguh tas yang benar2 berat ketika akhirnya semua-nya dimasukkan, tetapi entah kenapa aku tidak mau berpisah dengan semua peralatan itu, meski Ibu sudah berulang kali menjelaskan kita cukup membawa buku pelajaran hari itu saja. Kasihan karena tas yang terlalu berat, malam2 Ibu mengeluarkan beberapa peralatan belajar, tetapi ketika paginya aku merasa ada yang salah dengan berat koper, maka aku memeriksa dan akhirnya mengetahui apa2 saja yang dikeluarkan, serta merengek untuk meminta semuanya dikembalikan ke koper. Maka dengan berat hati Ibu melepas anak bungsu-nya (saat itu adikku belum lahir) yang sambil terhuyung huyung tetapi penuh semangat berjalan terseok seok mengikuti Kak Eli dan Bang Ucok menuju SDN 11 Sibolga.
Meski paling kecil di kelas, aku relatif masih belum ada masalah, sampai suatu hari di sekolah kami, pada pelajaran Agama, saat biasanya kelas dibagi menjadi dua. Karena di Sibolga persentase Agama Islam dan Kristen nyaris berimbang, maka setiap pelajaran Agama Kristen, seringkali justru anak2 Islam mengalah pindah ke kelas lain. Ketika guru mengatakan anak2 Kristen tetap dikelas, aku memutuskan untuk bertahan karena tidak mengerti apa agama ku. Lalu melihat aku bertahan, maka dengan semangat Guru agama Kristen memulai pelajaran tentang penyaliban, penebusan dosa, dll sambil wajah-nya sering2 diarahkan padaku dengan penuh minat.
Sepertinya teman2 Kak Eli ada yang melihat situasi ini, dan lantas melaporkan-nya. Tidak terbayang betapa kagetnya Kak Eli melihat adik-nya belajar Agama Kristen. Lantas berusaha memberi isyarat lewat jendela, tetapi aku memilih bertahan karena tertarik gambar Salib dan Yesus yang oleh guru dibuatkan ilustrasi-nya di papan tulis. Frustrasi dengan penolakanku, Kak Eli memberanikan diri mengetok pintu, dan lantas minta izin mengajak aku ke luar kelas, tetapi Guru dengan tenang mengatakan “Biarlah adikmu memilih mana yang cocok bagi-nya”. Kak Eli dengan sedikit histeris menolak dan segera menyeret tanganku keluar kelas, dan dengan demikian upaya ku berpindah agama yang pertama dan sekaligus terakhir gagal.
Hal yang paling sulit saat bersekolah adalah membaca, aku menggunakan metode yang salah dalam hal ini yaitu dengan menghapal keterkaitan antara gambar dengan setiap teks pada setiap halaman. Pada awalnya cukup lancar, sampai akhirnya tibalah masa2 sulit yaitu halaman2 tanpa gambar. Saat itu lah baru Ibu tahu aku masih saja tidak bisa membaca, maka sambil menggendong adik bungsuku, Ibu turun tangan mengajarku membaca berhari hari, dengan mengeluarkan ilmu Guru-nya, sampai akhirnya aku menjadi yang paling cepat membaca di kelas. Ada cerita lucu saat mulai mengenal huruf, bosan melihat Ayah yang sepertinya selalu berpikir saat mengisi TTS, maka dengan sok taunya aku juga memiliki hobi mengisi TTS, bedanya aku bisa lebih cepat karena tak perlu melihat pertanyaan, melainkan cukup mengisi setiap kotak dengan huruf apapun yang bisa aku tulis.
Saat itu beberapa guru yang kurang disukai anak2 di beri julukan. Sering mendengar cerita Kak eli dan Abang Ucok tentang p'Sompel, salah satu guru yang ditakuti, aku jadi berhati-hati apabila berpapasan dengan beliau. Namun suatu hari beliau memanggilku lalu mengatakan "Bilang sama Ayah, pak Guru ingin sekali kalender Pos dan Giro", dan aku mengangguk mengiyakan seraya ketakutan. Saat itu kalender adalah benda yang sulit ditemukan, jadi biasanya kalender yang di cetak perusahaan sering menjadi rebutan. Namun Ayah tak pernah benar2 merespon masalah yang aku hadapi. Situasi ini menyebabkan aku selalu menghindari p'Sompel. Namun untung tak dapat diraih dan malang tidak dapat ditolak, suatu saat aku kepergok, dan p'Sompel, langsung menagih kalendar, dan dengan gugup aku menjawab terbata-bata "Ka ka ka lendar-nya ti ..tidak ada pak Sompel". Tertegun mendengar nama ejekan-nya aku sebutkan, namun p'Sompel cepat mengendalikan perasaan-nya, dan berkata "nama bapak bukan pak sompel, jangan pakai nama itu lagi ya". Aku tertegun dan segera menyingkir, menyadari nama itu nama ejekan yang di sematkan anak2 pada beliau.
No comments:
Post a Comment