Sebenarnya saya tidak tertarik dengan buku2 tentang Dahlan Iskan kecuali yang memang dia tulis sendiri. Namun meski bukan karya Dahlan Iskan karena kata pengantar buku ditulis langsung oleh beliau (baca : direkomendasikan), maka saya tetap memutuskan untuk membeli buku “Sepatu Dahlan” karya Khrisna Pabichara. Karena tidak persis sama dengan sejarah hidup Dahlan Iskan, maka dalam kata pengantar Dahlan tetap menulis kalimat yang mengingatkan pembaca bahwa ini adalah Novel, jadi sah2 saja jika ada tokoh fiktif-nya.
Bagi yang pernah membaca “Ganti Hati” pastilah tidak asing dengan pembukaan sekaligus penutup buku setebal 369 halaman ini, meski menarik bagi yang belum membaca “Ganti Hati” namun bagi saya sedikit terasa membosankan karena seperti mengulang ulang membaca buku yang sama, namun ide flash back saat operasi di Cina ke kisah Dahlan semasa kecil ini sebenarnya cukup menarik. Sedikit catatan untuk cover, rasanya gambaran mengenai silhuet sepeda tidak menunjukkan model sepeda zaman itu, begitu juga ilustrasi dalam buku terasa tidak mengigit, dan kurang nendang.
Buku ini sangat lancar dalam berkisah, ada kesan buku “Negeri Lima Menara” nya Ahmad Fuadi disini terutama latar belakang kemiskinan, penolakan orang tua untuk mengikuti sekolah formal, kisah percintaan dengan kelas sosial yang lebih tinggi serta pendidikan pesantren-nya, khusus untuk pertandingan Volley yang diikuti Dahlan dan teman2 karib-nya saya merasakan aura “Laskar Pelangi” saat lomba melawan anak2 dengan level kesejahteraan yang lebih tinggi (baca : anak orang kaya) begitu juga sosok ayah Dahlan yang pendiam sekaligus pekerja keras mengingatkan saya akan sosok ayah yang sama karya Andrea Hirata.
Bagi saya topik paling menarik adalah saat penculikan tokoh2 Agama di Madiun oleh Laskar Merah, dan lalu sebaliknya pembalasan musuh2 Laskar Merah saat 1965. Ada ironi di sini bagaimana perbedaan kepercayaan dapat membuat tempat kecil yang ramah, aman dan damai ini menjadi menakutkan. Kisah tentang sumur yang menjadi pembuangan mayat2 tokoh2 Agama seperti Kyai Mursjid terasa mencekam, dan dampak-nya terhadap kelangsungan pesantren yang sedang memasuki masa jaya-nya terasa tragis. Begitu kisah saat2 Ibu menghadapi maut di ceritakan Khrisna dengan detail yang kuat dan membuat mata kita berkaca-kaca (tak aneh kalau Tina Talissa bersaksi menangis membacanya). Membayangkan ibu-nya menjemput ajal dengan perut membuncit dan wajah menghitam terasa getir, apalagi karena masa itu orang langsung menghubungkan-nya dengan ilmu hitam.
Dahlan juga “menelanjangi” dirinya sendiri disini karena mencuri tebu untuk menenangkan adiknya yang kelaparan saat kedua orang tuanya sedang di rumah sakit akibat serangan mendadak terhadap kondisi kesehatan ibu-nya, lalu sempat mencuri tabungan Ayah-nya meski kemudian mengembalikan-nya kembali karena sangat ingin-nya membeli sepatu. Namun semuanya terasa sangat manusiawi.
Kisah cintanya dengan Aisha digambarkan dengan sangat menarik dan membuat turut kita jatuh cinta juga pada karakter tokoh ini. Meski penggambaran sosoknya dengan gadis berambut panjang terasa agak aneh, karena pada masa itu IMO semua gadis pastinya berambut panjang. Begitu juga kata2 perpisahan yang beberapa kali disusun ulang oleh Dahlan membuat kita penasaran akan kelanjutan kisah cinta ini, meski saat ini kita tahu Dahlan sudah memiliki istri yang "lain". Meski Khrisna mengaku melakukan riset, namun saya masih agak sedikit aneh dengan perbandingan harga tiga kambing gemuk dan satu sepeda, ataupun harga sepatu masa baru itu yang masa itu di sebutkan berharga puluhan ribu.
Kisah cintanya dengan Aisha digambarkan dengan sangat menarik dan membuat turut kita jatuh cinta juga pada karakter tokoh ini. Meski penggambaran sosoknya dengan gadis berambut panjang terasa agak aneh, karena pada masa itu IMO semua gadis pastinya berambut panjang. Begitu juga kata2 perpisahan yang beberapa kali disusun ulang oleh Dahlan membuat kita penasaran akan kelanjutan kisah cinta ini, meski saat ini kita tahu Dahlan sudah memiliki istri yang "lain". Meski Khrisna mengaku melakukan riset, namun saya masih agak sedikit aneh dengan perbandingan harga tiga kambing gemuk dan satu sepeda, ataupun harga sepatu masa baru itu yang masa itu di sebutkan berharga puluhan ribu.
Berbeda dengan kisah Iwan Setyawan dalam “9 Summers 10 Autumns” yang menggambarkan pengorbanan kakak perempuan-nya untuk berhenti kuliah dan memutuskan bekerja untuk membantu sekolah adik2nya, dalam kisah Dahlan kedua kakak perempuan-nya terkesan sudah sangat sibuk dengan urusan masing2. Sehingga sosok Ayah lah yang terus menerus menjadi andalan keluarga Dahlan yang ditinggal semua anggota perempuan dalam keluarga melarat ini.
Akhir kata, buku ini meminjam istilah Majalah Tempo enak dibaca, meski unsur kocaknya tidak sebanyak Andrea Hirata atau bahkan buku Dahlan yang juga memang sangat kocak, namun buku ini memiliki kata2 yang disusun secara indah. Tak aneh jika Khrisna (kadang dipanggil dengan Daeng Marewa) mampu membuatnya demikian, jam terbang yang tinggi dari pengarang belasan buku pengarang asal Jeneponto ini menjadi jawaban-nya. Mari kita tunggu sama2 apakah seri kedua (Surat Dahlan) dan seri ketiga (Kursi Dahlan) dapat mengikuti jejak sukses buku pertama.
1 comment:
saya bikin kuis di blog berhadiah buku inspiratif ini, silakan berkunjung jika berkenan :D
Post a Comment