Adat Batak mengenal istilah boru tulang, dimana boru = gadis sedangkan tulang = paman dari garis Ibu. Singkatnya jika seorang gadis memiliki sepupu lelaki yang merupakan anak saudara perempuan ayah maka sepupu lelaki tsb berhak meminang si gadis. Kebetulan ayah dan kedua abangnya memiliki enam saudara perempuan. Maka semua anak lelaki (21 orang) dari keenam saudara perempuan ayah dan kedua abangnya, berhak meminang putri-putri dari tiga lelaki bersaudara ini.
Siapa saja ? putri-putri dari Oloan Pohan (kami biasa menyebutnya Uwa Kayumanis) yakni Elisa Pohan, Erlina Pohan, Edrina Pohan, sementara putri-putri dari Maradjo Pohan (biasa dipanggil Uwa Gandapura) meski juga memiliki anak perempuan seperti Ida Farida Pohan, Desi Yanti Pohan dan Yani Pohan, namun karena usianya jauh lebih muda dari para sepupu lelaki, lagi pula saat Uwa Gandapura masih hidup beliau tidak banyak mengenalkan putri-putrinya ini, maka otomatis lolos dari radar. Terakhir putri-putri ayahku Syaiful Parmuhunan Pohan Rossa Yuliati Pohan dan Hanna Evawati Pohan.
Kak Eli alias Rossa Yuliati Pohan, memang usianya berdekatan dengan para sepupu lelakinya, otomatis Kak Eli adalah salah satu yang masuk dalam radar, sementara Hanna Evawati Pohan adikku juga lolos dari radar, karena terlalu muda alias lahir di tahun 1974. Jadi dengan hanya ada empat boru tulang (empat boru tulang lainnya, tiga putri Uwa Gandapura dan adikku tidak dihitung karena usia yang terlalu jauh), maka ada 21 sepupu lelaki yang dianggap layak masuk nominasi.
Sebulan lalu Bang Zekie Harahap, cerita saat aku mengantar beliau ke Bandung dalam rangka ziarah ke makam Kak Eli. Bahwasanya beliau dan Ibunya Bou Bukit Tinggi (alias Djaunar Pohan) sempat ingin melamar Kak Eli, namun saudara perempuan ayah yang lain yakni Bou Tanjung Priok (alias Nurdia Pohan) meradang dan melarang siapapun mendekati Kak Eli, karena beliau ingin menjodohkan anaknya Amazone Dalimunthe dengan Kak Eli. Salah strategi karena mereka ke Bandung Bersama Bou Tanjung Priok, akhirnya proses lamaran ini tak menemui hasil. Konon kabarnya Bou Tanjung Priok sempat meraung di kediaman Uwa Gandapura, karena sangat keberatan dengan lamaran ini.
Alhasil perjodohan Zekie Zulkarnaen Harahap dan Kak Eli pun gagal sudah. Entah karena lama tinggal di Tanjung Priok dan bergelut dalam usaha EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), Bou Tanjung Priok memang dikenal berwatak keras dan ekspresif. Itu sebabnya ayahku sempat wanti-wanti ke Ibu, bahwa beliau pun tidak ingin besanan dengan adiknya yang terkenal dengan kekerasan wataknya tsb.
Ibu sendiri sebenarnya suka dengan dua dari baberenya (panggilan tulang dan nantulang kepada anak lelaki dari saudara perempuan tulang). Siapakah mereka ? yakni Dahrun Siregar, putra sulung Bou Tanjung Kaso (Salbiah Pohan) dan juga Zekie Zulkarnaen Harahap , putra keempat dari Bou Bukit Tinggi. Sayang Dahrun Siregar saat itu pun sudah memiliki teman dekat wanita, sehingga bahkan lamaran pun tidak ada sama sekali.
Puncak dari semua situasi ini justru anti klimaks, alias tak pernah ada lamaran dari Bou Tanjung Priok, ironisnya setelah ybs berhasil menggagalkan lamaran Zekie Zulkarnaen Harahap. Pada akhirnya Kak Eli memutuskan menikah dengan sorang pria asal Jawa bernama Suparno Syahroni pada tahun 1991 ketika Kak Eli berusia 29 tahun, yang biasa kami panggil Mas Parno. Meski Kak Eli sebelumnya sempat dekat dengan seorang pria bermarga Nainggolan, juga seorang gitaris band indie bernama Djoko, eksekutif salah satu bank pemerintah bernama Mizwar dan dikejar-kejar seorang pria agresif asal Kalimantan bernama Budi (yang konon kabarnya sempat menempuh jalan supranatural).
Kisah boru tulang yang lain, konon kabarnya Andi Harahap putra kedelapan Bou Bukit Tinggi, sempat juga tertarik dengan Edrina Pohan, namun pada saat itu Uwa Kayumanis sepertinya lebih tertarik dengan Arlin Syafril, anak sulung Bou Lena (alias Nurlena Pohan). Hanya Bou Lena sendiri tidak pernah melamar Edrina Pohan. Situasi segitiga tarik menarik sekaligus saling tunggu ini akhirnya tak menghasilkan apapun, dimana Arlin Syafril, Edrina Pohan dan juga Andi Harahap berjodoh dengan pasangan mereka masing-masing.
* Penamaan Uwa Gandapura, Uwa Kayumanis, Bou Bukit Tinggi, Bou Tanjung Kaso, Bou Tanjung Priok mengacu pada lokasi tempat tinggal mereka, adalah bagian dari penghormatan, untuk menghindari penyebutan nama langsung, yang merupakan adat istiadat masyarakat Batak.