Sebenarnya saya sudah lihat buku
ini beberapa kali, dan sama sekali tidak “ngeh” kalau buku ini adalah karya
Dee. Sebelumnya saya nyaris menonton film-nya juga bersama keluarga, namun di
saat terakhir saya memilih menonton karya Deddy Mizwar. Beberapa hari yang lalu
si bungsu minta dibelikan "PK", karena menurut teman2nya ini merupakan buku yang
bagus, hemmm bagus untuk remaja, tetapi apakah untuk seusia saya buku ini bagus
? belum lagi covernya yang berkesan “abg” itu. Singkat kata, saya akhirnya
membeli buku yang judul-nya juga pernah digunakan sebelumnya oleh Sapardi Djoko
Damono. Namun sebelum diberikan pada si bungsu saat week end, rasanya tidak
ada salahnya saya coba untuk membaca-nya di saat week day sekaligus
mengaktifkan radar orang tua untuk mencegah hal2 negatif jika ada .
Kesan awal buku ini memang terkesan seperti “teenlit” atau kisah2 remaja tanggung kelas akhir SMA atau tingkat2 awal perguruan tinggi. Hemm rasanya topik yang aneh juga kalau mengingat usia Dee yang sudah menjadi seorang istri dan sekaligus ibu. Namun jawaban-nya adalah karena buku ini memang sempat dibuat di tahun 90’an meski untuk kalangan terbatas dan tidak dalam kesatuan yang utuh, namun buku yang direncanakan muncul secara bersambung ini terhenti selama lebih dari 10 tahun. Saat sebuah perusahaan provider mengajak Dee untuk kerja sama dengan menawarkan space untuk menampung karya Dee, eh Dee malah menyarankan untuk menggunakan karya yang ini, karena memang belum pernah dipublikasikan. Provider menyambut dengan senang hati, dan langsung memberikan dead line yang super ketat.
Akibat janji pada provider, maka Dee terpaksa menyepi selama 55 hari, dan bahkan tinggal di tempat kos, yang sekaligus menyegarkan-nya dengan kehidupan mahasiswa di Bandung yang memang merupakan tema sentral novelnya kali ini. Keluarga Kugy yang digambarkan sering pindah, kuliah di Bandung, memiliki seorang adik perempuan, sepertinya menggambarkan kisah hidup Dee sendiri yang kebetulan memang “anak kolong” dan sering mengalami pindah rumah.
Berbeda dengan Supernova #1 (Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh) yang terkesan dewasa, pada awalnya buku Perahu Kertas ini terasa kekanak2an, namun makin kesini makin terlihat bahwa ini memang karya orisinil-nya Dee meski indikator-nya tidak banyak. Meski skenario-nya terasa lemah, penokohan-nya cukup kuat, emosi tokoh2nya digambarkan secara baik, Kugy yang tampak luarnya kekanakan namun dewasa, Keenan yang pendiam dan tertekan karena figur ayah-nya (yang juga merupakan nama anak Dee dari pernikahan pertama-nya) , Ojos yang kecewa dengan sikap Kugy, Wanda yang mengharap cinta Keenan, Luhde serta Remi yang cintanya tak terbalas, dan tokoh2 lainnya. Begitu juga ciri khas Dee yang sering memasukkan unsur “ilmu” dalam novel2-nya, semakin terlihat menjelang akhir buku. Mulai dari bahasa Belanda, Bali, Sunda, serta berbagai pengetahuan mengenai seni ukir dan lukis, saat Keenan di Ubud memenuhi buku ini walau tidak secanggih Supernova.
Namun kalau harus mengeritik buku ini, saya cenderung mengangkat pacaran kelewat bebas gaya remaja kota, seperti bisa menginap di kamar hotel yang sama seperti yang diminta Wanda pada Keenan, atau Ojos ketika mengajak Kugy berlibur bersama di Bali. Sebagai orang tua, saya cukup miris membaca-nya, bagaimana tidak ? remaja2 yang masih mengandalkan biaya orang tua memilih cara berpacaran kelewat bebas. Saya sendiri jadi ingat saat jalan2 bersama keluarga beberapa tahun yang lalu di Bali, dan bertemu dengan salah satu anak komposer / arranger top di Jakarta yang memiliki band sendiri, sedang berpegangan tangan dengan teman wanita-nya di malam hari melewati salah satu gang yang bermuara di Kuta. Namun Dee sepertinya tidak membenarkan / menyalahkan budaya ini, sepertinya Dee memilih untuk memotret-nya.
Cara Kugy memberi harapan pada Remi dan cara Keenan memberi harapan pada Luhde juga menimbulkan kesan ada yang salah dengan-nya. Bagi saya ini mengganggu dan terasa sangat egois, karena hanya berpikir soal perasaan sendiri saja.
Selain potret budaya diatas, buku ini juga penuh dengan kebetulan, sehingga hubungan Kugy dan Keenan, terasa tidak dibangun dengan realita yang kuat, dan jalan ceritanya juga relatif mudah ditebak, jadi bagi saya akhirnya, jelas ini bukanlah novel sastra yang memukau, malah kalah kelas dibanding karya Dee sebelumnya, sekaligus terlihat kekurangan riset dan referensi, namun tetap novel pop yang asyik, dan masih "layak" dikoleksi.
Kesan awal buku ini memang terkesan seperti “teenlit” atau kisah2 remaja tanggung kelas akhir SMA atau tingkat2 awal perguruan tinggi. Hemm rasanya topik yang aneh juga kalau mengingat usia Dee yang sudah menjadi seorang istri dan sekaligus ibu. Namun jawaban-nya adalah karena buku ini memang sempat dibuat di tahun 90’an meski untuk kalangan terbatas dan tidak dalam kesatuan yang utuh, namun buku yang direncanakan muncul secara bersambung ini terhenti selama lebih dari 10 tahun. Saat sebuah perusahaan provider mengajak Dee untuk kerja sama dengan menawarkan space untuk menampung karya Dee, eh Dee malah menyarankan untuk menggunakan karya yang ini, karena memang belum pernah dipublikasikan. Provider menyambut dengan senang hati, dan langsung memberikan dead line yang super ketat.
Akibat janji pada provider, maka Dee terpaksa menyepi selama 55 hari, dan bahkan tinggal di tempat kos, yang sekaligus menyegarkan-nya dengan kehidupan mahasiswa di Bandung yang memang merupakan tema sentral novelnya kali ini. Keluarga Kugy yang digambarkan sering pindah, kuliah di Bandung, memiliki seorang adik perempuan, sepertinya menggambarkan kisah hidup Dee sendiri yang kebetulan memang “anak kolong” dan sering mengalami pindah rumah.
Berbeda dengan Supernova #1 (Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh) yang terkesan dewasa, pada awalnya buku Perahu Kertas ini terasa kekanak2an, namun makin kesini makin terlihat bahwa ini memang karya orisinil-nya Dee meski indikator-nya tidak banyak. Meski skenario-nya terasa lemah, penokohan-nya cukup kuat, emosi tokoh2nya digambarkan secara baik, Kugy yang tampak luarnya kekanakan namun dewasa, Keenan yang pendiam dan tertekan karena figur ayah-nya (yang juga merupakan nama anak Dee dari pernikahan pertama-nya) , Ojos yang kecewa dengan sikap Kugy, Wanda yang mengharap cinta Keenan, Luhde serta Remi yang cintanya tak terbalas, dan tokoh2 lainnya. Begitu juga ciri khas Dee yang sering memasukkan unsur “ilmu” dalam novel2-nya, semakin terlihat menjelang akhir buku. Mulai dari bahasa Belanda, Bali, Sunda, serta berbagai pengetahuan mengenai seni ukir dan lukis, saat Keenan di Ubud memenuhi buku ini walau tidak secanggih Supernova.
Namun kalau harus mengeritik buku ini, saya cenderung mengangkat pacaran kelewat bebas gaya remaja kota, seperti bisa menginap di kamar hotel yang sama seperti yang diminta Wanda pada Keenan, atau Ojos ketika mengajak Kugy berlibur bersama di Bali. Sebagai orang tua, saya cukup miris membaca-nya, bagaimana tidak ? remaja2 yang masih mengandalkan biaya orang tua memilih cara berpacaran kelewat bebas. Saya sendiri jadi ingat saat jalan2 bersama keluarga beberapa tahun yang lalu di Bali, dan bertemu dengan salah satu anak komposer / arranger top di Jakarta yang memiliki band sendiri, sedang berpegangan tangan dengan teman wanita-nya di malam hari melewati salah satu gang yang bermuara di Kuta. Namun Dee sepertinya tidak membenarkan / menyalahkan budaya ini, sepertinya Dee memilih untuk memotret-nya.
Cara Kugy memberi harapan pada Remi dan cara Keenan memberi harapan pada Luhde juga menimbulkan kesan ada yang salah dengan-nya. Bagi saya ini mengganggu dan terasa sangat egois, karena hanya berpikir soal perasaan sendiri saja.
Selain potret budaya diatas, buku ini juga penuh dengan kebetulan, sehingga hubungan Kugy dan Keenan, terasa tidak dibangun dengan realita yang kuat, dan jalan ceritanya juga relatif mudah ditebak, jadi bagi saya akhirnya, jelas ini bukanlah novel sastra yang memukau, malah kalah kelas dibanding karya Dee sebelumnya, sekaligus terlihat kekurangan riset dan referensi, namun tetap novel pop yang asyik, dan masih "layak" dikoleksi.
No comments:
Post a Comment