Di dekat salah satu ladang, tinggal sebuah keluarga petani
penjaga ladang keturunan Jawa di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu.
Entah kenapa aku selalu berpikir pastilah makanan mereka sangat enak, dan suatu
saat pucuk dicinta ulam tiba, rumah kayu tersebut dalam keadaan sepi. Dan tak
sengaja aku melihat ujung kunci yang terlihat dibalik batu. Tergoda dengan
bujukan setan, aku mengambil kunci tersebut. Bersama Lian aku berdiri di depan
pintu, dan memasukkan anak kunci ke lubang-nya, sesaat sebelum diputar, aku ingat kata2 Ayah dan Ibu
mengenai dosa mencuri, namun godaan lapar begitu kuat. Gamang akhirnya aku
melemparkan kunci itu ke atap seakan akan sekaligus membuang pikiran jahat,
tanpa menyadari apa akibatnya bagi keluarga tsb saat pulang dan tidak menemukan kunci rumah. Sejak saat itu
daerah disekitar rumah kayu tersebut kami hindari, dan memilih daerah lain
untuk menggembalakan kambing betina kami.
Hari yang lain, saat menggembalakan kambing kami melihat
sebuah kebun yang dipagari dengan
tanaman hidup seperti kacang panjang. Pagar hidup itu mengelilingi ubi jalar
yang saat itu masih merupakan tanaman langka. Didorong rasa lapar yang hebat,
aku menyuruh Lian untuk mengambil sepotong ubi, karena badan-nya yang kecil
masih memungkinkan dia untuk dapat menyusup diantara pagar hidup. Tak berapa
lama, dia keluar dengan sepotong ubi merah di tangan, lalu kami makan begitu
saja mentah2.
Di tempat lain lagi, saat menggembalakan kambing, kami
melihat pohon jambu biji, yang meski masih kecil sebesar pergelangan namun
sudah berbuah ranum anehnya hanya satu biji. Aku menarik pohon-nya, Lian
memetik jambu tunggal tersebut. Lalu kami bagi dua, dan rasanya ketika gigi
kami menembus daging-nya yang putih, lembut dan berair sungguh sangat nikmat
dan tak terlupakan apalagi di saaat terik dan kehausan, meski setelahnya kami
lagi2 merasa berdosa.
Namun rasa lapar tidak harus menyerang saat menggembalakan
kambing, kebiasaan sampingan tersebut akhirnya juga menjadikan mangga tetangga sebelah sebagai obyek
perburuan kami berikutnya. Untuk ini diperlukan kehati2an, dan saat yang kami
pilih adalah antara adzan maghrib sampai dengan isa, karena saat itu Ayah dan
Ibu bisa dipastikan akan sangat tekun beribadah dan tidak keluar dari kamar. Setelah
aku memastikan keempat puluh ayam kami semuanya masuk kandang, lalu aku dan
Lian membagi tugas, aku yang mengawasi, dan Lian yang bertugas memanjat pohon.
Namun kami lupa kalau tetangga tersebut wc-nya merupakan bangunan terpisah, dan
saat Lian memanjat, tetangga kami keluar dengan membawa ember, dengan pucat aku
mencoba memberi isyarat namun sudah terlambat. Lian segera menahan napas, dan
menempelkan dirinya sedekat mungkin seakan akan dia merupakan bagian dari pohon
tersebut. Untung saja kali ini kami selamat, seandainya ketahuan sudah bisa
dibayangkan hukuman yang harus kami terima dari Ayah dan Ibu yang dikenal
sangat keras. Kali lain kami memilih mengambil Sawo milik tetangga yang sama,
khususnya untuk dahan2nya yang menjuntai ke halaman kami, karena menganggapnya
sebagai hak kami. Lalu sawo2 itu kami peram di bawah kolong rumah, pada masa
itu kebanyakan rumah merupakan rumah panggung. Setiap pulang sekolah kami
memeriksa sawo2 yang matang dan segera membaginya begitu ada yang memenuhi
syarat. Aku menulis dengan kapur pada salah satu papan di kolong dengan rasa
bangga “mangan sawo alak di son”, yang artinya kira2 “ada orang makan sawo aku
disini”.
Namun ketika ada kesempatan berbuat baik dan tidak harus
mencuri tentu saja itu merupakan tawaran yang lebih baik daripada profesi sampingan
aku dan Lian selama ini. Dalam perjalanan pulang bersama kambing, kami melewati
sebuah rumah yang dihuni seorang Ibu
Muda bernama Sarina. Karena bayi perempuan-nya masih kecil, sedangkan dia harus
melakukan pekerjaan rumah tangga, dia meminta kami menjaga bayi-nya. Sebagai
hadiah, dia memindahkan nasi yang sudah matang dari periuk ke wadah terpisah,
lalu menyiram kerak nasi di dasar periuk dengan kuah gulai. Kemudian dia
korek semua kerak berlumur kuah gulai tersebut dari dasar periuk dan
membungkusnya menjadi dua tumpukan yang hangat dan harum dengan daun pisang.
Tak lupa dia ucapkan terimakasih, dan lantas kami segera mencari tempat yang
nyaman untuk menyantap hidangan istimewa tsb. Begitu kami kekenyangan maka
giliran Si Kambing menikmati daun pisang bekas pembungkus, dan dia pun dengan
nikmatnya langsung mengunyah2.
No comments:
Post a Comment