Sunday, September 23, 2012

Profesi Sampingan Sang Penggembala

Saat menggembalakan kambing, adalah masa2 penjajahan Jepang, dan makanan menjadi sesuatu yang sangat mewah di masa itu meski sekedar sekepal nasi tanpa lauk. Meski ayah dan ibu kami mengajarkan perbuatan yang baik dan benar, namun godaan lapar saat menggembalakan kambing selalu datang tanpa bisa dicegah.

Di dekat salah satu ladang, tinggal sebuah keluarga petani penjaga ladang keturunan Jawa di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Entah kenapa aku selalu berpikir pastilah makanan mereka sangat enak, dan suatu saat pucuk dicinta ulam tiba, rumah kayu tersebut dalam keadaan sepi. Dan tak sengaja aku melihat ujung kunci yang terlihat dibalik batu. Tergoda dengan bujukan setan, aku mengambil kunci tersebut. Bersama Lian aku berdiri di depan pintu, dan memasukkan anak kunci ke lubang-nya, sesaat  sebelum diputar, aku ingat kata2 Ayah dan Ibu mengenai dosa mencuri, namun godaan lapar begitu kuat. Gamang akhirnya aku melemparkan kunci itu ke atap seakan akan sekaligus membuang pikiran jahat, tanpa menyadari apa akibatnya bagi keluarga tsb saat pulang dan tidak menemukan kunci rumah. Sejak saat itu daerah disekitar rumah kayu tersebut kami hindari, dan memilih daerah lain untuk menggembalakan kambing betina kami.
Hari yang lain, saat menggembalakan kambing kami melihat sebuah  kebun yang dipagari dengan tanaman hidup seperti kacang panjang. Pagar hidup itu mengelilingi ubi jalar yang saat itu masih merupakan tanaman langka. Didorong rasa lapar yang hebat, aku menyuruh Lian untuk mengambil sepotong ubi, karena badan-nya yang kecil masih memungkinkan dia untuk dapat menyusup diantara pagar hidup. Tak berapa lama, dia keluar dengan sepotong ubi merah di tangan, lalu kami makan begitu saja mentah2.
Di tempat lain lagi, saat menggembalakan kambing, kami melihat pohon jambu biji, yang meski masih kecil sebesar pergelangan namun sudah berbuah ranum anehnya hanya satu biji. Aku menarik pohon-nya, Lian memetik jambu tunggal tersebut. Lalu kami bagi dua, dan rasanya ketika gigi kami menembus daging-nya yang putih, lembut dan berair sungguh sangat nikmat dan tak terlupakan apalagi di saaat terik dan kehausan, meski setelahnya kami lagi2 merasa berdosa.  
Namun rasa lapar tidak harus menyerang saat menggembalakan kambing, kebiasaan sampingan tersebut akhirnya juga menjadikan  mangga tetangga sebelah sebagai obyek perburuan kami berikutnya. Untuk ini diperlukan kehati2an, dan saat yang kami pilih adalah antara adzan maghrib sampai dengan isa, karena saat itu Ayah dan Ibu bisa dipastikan akan sangat tekun beribadah dan tidak keluar dari kamar. Setelah aku memastikan keempat puluh ayam kami semuanya masuk kandang, lalu aku dan Lian membagi tugas, aku yang mengawasi, dan Lian yang bertugas memanjat pohon. Namun kami lupa kalau tetangga tersebut wc-nya merupakan bangunan terpisah, dan saat Lian memanjat, tetangga kami keluar dengan membawa ember, dengan pucat aku mencoba memberi isyarat namun sudah terlambat. Lian segera menahan napas, dan menempelkan dirinya sedekat mungkin seakan akan dia merupakan bagian dari pohon tersebut. Untung saja kali ini kami selamat, seandainya ketahuan sudah bisa dibayangkan hukuman yang harus kami terima dari Ayah dan Ibu yang dikenal sangat keras. Kali lain kami memilih mengambil Sawo milik tetangga yang sama, khususnya untuk dahan2nya yang menjuntai ke halaman kami, karena menganggapnya sebagai hak kami. Lalu sawo2 itu kami peram di bawah kolong rumah, pada masa itu kebanyakan rumah merupakan rumah panggung. Setiap pulang sekolah kami memeriksa sawo2 yang matang dan segera membaginya begitu ada yang memenuhi syarat. Aku menulis dengan kapur pada salah satu papan di kolong dengan rasa bangga “mangan sawo alak di son”, yang artinya kira2 “ada orang makan sawo aku disini”.
Namun ketika ada kesempatan berbuat baik dan tidak harus mencuri tentu saja itu merupakan tawaran yang lebih baik daripada profesi sampingan aku dan Lian selama ini. Dalam perjalanan pulang bersama kambing, kami melewati  sebuah rumah yang dihuni seorang Ibu Muda bernama Sarina. Karena bayi perempuan-nya masih kecil, sedangkan dia harus melakukan pekerjaan rumah tangga, dia meminta kami menjaga bayi-nya. Sebagai hadiah, dia memindahkan nasi yang sudah matang dari periuk ke wadah terpisah, lalu menyiram kerak nasi di dasar periuk dengan kuah gulai. Kemudian dia korek semua kerak berlumur kuah gulai tersebut dari dasar periuk dan membungkusnya menjadi dua tumpukan yang hangat dan harum dengan daun pisang. Tak lupa dia ucapkan terimakasih, dan lantas kami segera mencari tempat yang nyaman untuk menyantap hidangan istimewa tsb. Begitu kami kekenyangan maka giliran Si Kambing menikmati daun pisang bekas pembungkus, dan dia pun dengan nikmatnya langsung mengunyah2.

No comments: