Sunday, September 23, 2012

Menggembalakan kambing.

Karena ayah setiap hari harus pergi mengajar di Sekolah Rakyat dengan mengayuh sepeda hitam kesayangan-nya, sedangkan ibu ke sawah, maka sepertinya mereka berdua memutuskan untuk memberikan aku dan adikku Halim (biasa di panggil Lian) tugas khusus. Kenapa kami berdua ? karena kami berdua relatif sebaya, dan Kakak kami sudah disibukkan mengurus adik2 kami yang lebih kecil. Suatu hari Ayah membawa seekor kambing betina hitam, dan lalu  meminta kami sepulang sekolah untuk membawa kambing tsb ke lapangan rumput disekitar rumah. Dan inilah yang menjadi cikal bakal petualangan kami selama beberapa waktu kedepan.

Halaman belakang kami memang tidak memungkinkan untuk menggembalakan kambing, karena sempit dan tidak banyak rumput yang tersedia. Aku yang saat itu masih kelas lima dan Lian kelas tiga, sangat sulit mengendalikan kambing tersebut khususnya ketika kandang-nya baru dibuka, karena dia akan langsung berlari sambil mengembik kelaparan. Lapar setengah hari membuat kambing seakan akan musafir di gurun yang mendadak menemukan oase. Aku tak mampu menahan-nya begitu juga Lian, maka aku biasanya segera memutarkan tali tsb ke tubuhku, sehingga kambing tsb harus berlari dengan menyeret aku dibelakang-nya. Menjelang sore kami kembali menuntun kambing tersebut ke rumah dengan meneriakkkan kata2 seperti “no no no” atau Lian biasa-nya dengan meneriakkan “hush hush hush”.
Aku selalu menggunakan mukena yang sudah sobek di sana sini dengan diikat tali bahan pembuat tikar, sedangkan Lian menggunakan baju terusan yang juga dia gunakan sebagai baju sekolah, baju di rumah dan juga sekaligus seragam penggembala kambing. Setelah menemukan lahan berumput, maka kami mengikat-nya dan membiarkan-nya makan sepuasnya, jika rumput disekitar tempat tsb habis, maka kami menggiringnya dan mengikatnya kembali di tempat lain.
Suatu hari kambing tersebut hilang, dan kami sudah berkeliling mencarinya sampai menjelang sore. Kami sangat ketakutan, karena pada zaman Jepang, binatang ternak tanpa pemilik akan langsung diserahkan ke Jepang. Kuatir akan dimarahi ayah dan ibu, kami berteriak “hush” dan “no” seperti biasa seakan akan kambing tersebut sedang kami giring ke kandang. Malam itu aku dan Lian gelisah dan sulit untuk segera tidur. Keesokan harinya barulah kami mengaku bahwa kambing tsb hilang. Ibu segera menyuruh abang kami mencari-nya, dan akhirnya dia ditemukan berada di kolong rumah “Kuria Batu Na Dua”, yaitu pejabat kampung, dan berada di samping seekor anjing herder milik mereka yang sedang diikat.  Takut meminta izin pada pejabat kampung, dan sekaligus takut pada anjing tersebut, menyebabkan kami menunggu disekitarnya, sampai kambing tsb akhirnya keluar sendiri mencari rumput. Saat itu aku menyadari bahwa aku merindukan kambing tersebut kembali ke rumah kami.
Suatu pagi kambing kami mengembik dengan suara yang aneh dan lebih mirip tangisan. Aku dan Lian bergegas ke kandang, saat membuka pintu pintu kandang kami menemukan seekor kambing jantan kecil di samping kambing kami dengan warna hitam dan bintang putih di antara tanduknya. Ternyata perut gendutnya yang selama ini kami kira rumput berisi kambing kecil, namun siapa jantan-nya, sampai saat ini masih misteri bagi kami. Selama beberapa saat aku sempat keheranan melihat pusat si Bintang (begitu kami memberi nama kambing kecil tersebut) yang panjang, namun seiring dengan penambahan usia, pusat Si Bintang pusat menjadi normal, ternyata itu adalah bagian dari plasenta yang belum lepas pada saat awal kelahiran.   Beberapa saat kemudian lagi kambing kami melahirkan kambing betina putih, dan lagi2 menjadi misteri berikutnya bagi kami, siapa jantan-nya.

Suatu hari, ketiga kambing kami  masuk ke wilayah yang dijadikan Jepang sebagai daerah terisolasi untuk menumpuk hasil bumi untuk kepentingan perang. Kami sangat takut mengingat beberapa penyusup yang mengalami nasib mengenaskan ketika ketahuan masuk ke wilayah tersebut. Namun Lian berhasil masuk, dan sebelum Jepang datang, dia  berhasil menghalau keluarga kambing tersebut keluar pagar berduri itu. Saat Lian berusaha keras, aku menanti diluar dengan perasaan tegang dan cemas. Namun akhirnya Lian berhasil menyelesaikan misi tersebut.
Jika ada pertemuan pastilah akan ada perpisahan, maka hari itupun tibalah,  kami kedatangan tamu, seorang pria setengah baya bersepeda dengan dua keranjang di kedua sisi sepeda. Terlihat ayah dan pria tersebut, berbicara sejenak dan lalu pria tersebut mengangkut ketiga kambing kami, induk-nya, si bintang dan adik si bintang yang masih kecil. Tak jelas kenapa Ayah menjual keluarga kambing tersebut, tapi aku menduganya karena cukup banyak masalah yang menimpa aku dan Lian akhir2 ini. Lalu pria tersebut mengayuh sepedanya makin lama makin kecil hingga akhirnya menghilang di balik tikungan. Entah kenapa bukan-nya lega yang aku rasakan, dengan air mata menggenang aku melihat kebalik tikungan dan akhirnya menyadari kami tidak akan pernah bersua kembali dengan mereka.  

No comments: