Halaman belakang kami memang tidak memungkinkan untuk
menggembalakan kambing, karena sempit dan tidak banyak rumput yang tersedia. Aku
yang saat itu masih kelas lima dan Lian kelas tiga, sangat sulit mengendalikan
kambing tersebut khususnya ketika kandang-nya baru dibuka, karena dia akan
langsung berlari sambil mengembik kelaparan. Lapar setengah hari membuat
kambing seakan akan musafir di gurun yang mendadak menemukan oase. Aku tak
mampu menahan-nya begitu juga Lian, maka aku biasanya segera memutarkan tali
tsb ke tubuhku, sehingga kambing tsb harus berlari dengan menyeret aku
dibelakang-nya. Menjelang sore kami kembali menuntun kambing tersebut ke rumah
dengan meneriakkkan kata2 seperti “no no no” atau Lian biasa-nya dengan
meneriakkan “hush hush hush”.
Aku selalu menggunakan mukena yang sudah sobek di sana sini
dengan diikat tali bahan pembuat tikar, sedangkan Lian menggunakan baju terusan
yang juga dia gunakan sebagai baju sekolah, baju di rumah dan juga sekaligus seragam
penggembala kambing. Setelah menemukan lahan berumput, maka kami mengikat-nya
dan membiarkan-nya makan sepuasnya, jika rumput disekitar tempat tsb habis,
maka kami menggiringnya dan mengikatnya kembali di tempat lain.
Suatu hari kambing tersebut hilang, dan kami sudah
berkeliling mencarinya sampai menjelang sore. Kami sangat ketakutan, karena
pada zaman Jepang, binatang ternak tanpa pemilik akan langsung diserahkan ke
Jepang. Kuatir akan dimarahi ayah dan ibu, kami berteriak “hush” dan “no” seperti
biasa seakan akan kambing tersebut sedang kami giring ke kandang. Malam itu
aku dan Lian gelisah dan sulit untuk segera tidur. Keesokan harinya barulah
kami mengaku bahwa kambing tsb hilang. Ibu segera menyuruh abang kami
mencari-nya, dan akhirnya dia ditemukan berada di kolong rumah “Kuria Batu Na
Dua”, yaitu pejabat kampung, dan berada di samping seekor anjing herder milik
mereka yang sedang diikat. Takut meminta
izin pada pejabat kampung, dan sekaligus takut pada anjing tersebut,
menyebabkan kami menunggu disekitarnya, sampai kambing tsb akhirnya keluar
sendiri mencari rumput. Saat itu aku menyadari bahwa aku merindukan kambing
tersebut kembali ke rumah kami.
Suatu pagi kambing kami mengembik dengan suara yang aneh dan
lebih mirip tangisan. Aku dan Lian bergegas ke kandang, saat membuka pintu
pintu kandang kami menemukan seekor kambing jantan kecil di samping kambing
kami dengan warna hitam dan bintang putih di antara tanduknya. Ternyata perut
gendutnya yang selama ini kami kira rumput berisi kambing kecil, namun siapa
jantan-nya, sampai saat ini masih misteri bagi kami. Selama beberapa saat aku
sempat keheranan melihat pusat si Bintang (begitu kami memberi nama kambing kecil tersebut) yang panjang, namun seiring dengan
penambahan usia, pusat Si Bintang pusat menjadi normal, ternyata itu adalah
bagian dari plasenta yang belum lepas pada saat awal kelahiran. Beberapa saat kemudian lagi kambing kami
melahirkan kambing betina putih, dan lagi2 menjadi misteri berikutnya bagi kami,
siapa jantan-nya.
Suatu hari, ketiga kambing kami masuk ke wilayah yang dijadikan Jepang
sebagai daerah terisolasi untuk menumpuk hasil bumi untuk kepentingan perang.
Kami sangat takut mengingat beberapa penyusup yang mengalami nasib mengenaskan
ketika ketahuan masuk ke wilayah tersebut. Namun Lian berhasil masuk, dan
sebelum Jepang datang, dia berhasil
menghalau keluarga kambing tersebut keluar pagar berduri itu. Saat Lian berusaha
keras, aku menanti diluar dengan perasaan tegang dan cemas. Namun akhirnya Lian
berhasil menyelesaikan misi tersebut.
Jika ada pertemuan pastilah akan ada perpisahan,
maka hari itupun tibalah, kami
kedatangan tamu, seorang pria setengah baya bersepeda dengan dua keranjang di
kedua sisi sepeda. Terlihat ayah dan pria tersebut, berbicara sejenak dan lalu
pria tersebut mengangkut ketiga kambing kami, induk-nya, si bintang dan adik si
bintang yang masih kecil. Tak jelas kenapa Ayah menjual keluarga kambing
tersebut, tapi aku menduganya karena cukup banyak masalah yang menimpa aku dan
Lian akhir2 ini. Lalu pria tersebut mengayuh sepedanya makin lama makin kecil
hingga akhirnya menghilang di balik tikungan. Entah kenapa bukan-nya lega yang
aku rasakan, dengan air mata menggenang aku melihat kebalik tikungan dan
akhirnya menyadari kami tidak akan pernah bersua kembali dengan mereka.
No comments:
Post a Comment