Friday, September 28, 2012

Disidik Supir Taksi

Sore itu saya dan salah seorang staff saya, sebut saja CP, menaiki taksi dari daerah Kuningan ke Central Park. Ketika sedang asyik2nya membuka BB untuk melihat email2 yang masuk ke folder kantor, saya merasa sepasang mata terus menerus melihat saya, ketika saya mengangkat kepala, terlihat wajah sang supir melihat saya penuh selidik dari kaca spion. Usianya sekitar 50 an, raut wajah sepertinya berasal dari daerah timur Indonesia, bertubuh ramping, berkulit gelap dengan alis mata tebal, sorot mata tajam dan ekspresi penuh selidik, seakan akan saya bukan penumpang namun terdakwa.

Lantas berjalanlah proses interogasi antara pak supir sebagai penyidik (P) dan saya sebagai terdakwa (T)

P: Bapak sudah lama pakai kacamata ?
 
T: Hemm lumayan lama.

P: Apakah bapak tahu kenapa bapak pakai kacamata ?

T: Yaaa karena banyak membaca.

P: Saya banyak membaca tetapi tidak pakai kaca mata !, jadi bapak sebenarnya tidak tahu penyebabnya kan ?

T: Hemmm (agak sedikit bingung).

P: Bapak mau tahu ?

T: (mengangguk ngangguk dengan ekspresi masih bingung campur pasrah, serta menebak nebak, apa sih maunya si supir ini ?)

P : Penyebab utama ada tiga pak, ayam negeri, telor ayam negeri dan mie instan, apakah bapak tidak tahu kalau ayam negeri itu dulu dibawa oleh BS (sambil menyebut nama seorang pengusaha eksentrik terkenal), ayam negeri itu disuntik dengan berbagai hormon, begitu juga telur-nya dan juga mie instan, semuanya sudah menggunakan berbagai bahan kimia yang sangat merusak, saya tidak pernah makan, makanya saya sehat. Ayam kampung dikagetkan terbang, ayam negeri pingsan (lantas dia mengucapkan berbagai pantun berirama dan cepat, namun saya tidak ingat persis apa kata2nya).

T : ohh (sambil mengangguk ngangguk dan teringat acara investigasi di salah satu TV swasta)

P: Zaman dulu, orang2 sehat, sekarang masih muda sudah diabetes, tumor, radang sendi, ibu saya umur 60 tahun sudah meninggal, karena setiap hari makan makanan seperti itu, begitu juga bapak saya, dan akhir hidup mereka penuh dengan berbagai macam penyakit, sejak itu saya memutuskan kembali ke alam. Begitu juga ikan, sudah banyak yang menggunakan pengawet, apa bapak suka ikan ?.

T: Suka sih.. (mulai agak segan dan merasa bersalah), cuma saya bilang sama asisten di rumah, kalau cari ikan, cari yang ada lalatnya tapi jangan terlalu banyak, kalau banyak berarti busuk banget, kalau tidak ada lalat berarti sudah menggunakan pengawet.

P: Nah itu pak, kalau saya lebih suka ikan gabus, bermanfaat untuk berbagai macam penyakit, begitu juga sayur x,y,z (dia menyebutkan berbagai macam sayuran yang saya sudah tidak ingat, namun mendadak saya jadi ingat Professor Hembing, sepertinya supir ini cocok jadi fans-nya).

T: (mulai tertarik)

P: Kalau bapak masih tidak percaya, saya sudah tanya seorang dokter kenalan saya, dia bilang zaman dulu Rumah Sakit sepi, sekarang luar biasa ramai, sudah seperti Mall, apa coba artinya ?, orang sekarang gampang sakit. Bahkan bukan cuma itu, zaman dulu tidak ada pria berdada besar (sambil melirik dada saya dan CP yang memang kebetulan cukup besar, dan kami sempat saling lirik membandingkan siapa yang lebih besar).

Akhirnya saya dan CP turun di Central Park, dan saya jadi merenung sekaligus mengingat buku Rizki Ridyasmara, mengenai konspirasi asing dalam bidang makanan dan obat. Konspirasi ini bertujuan melemahkan suatu bangsa, sekaligus peran industri obat di belakang-nya dan tentu saja motif serakah bisnis plus konspirasi rahasia. Dan hari ini saya membaca bagaimana Monsanto berada dibalik rekomendasi Komisi Keamanan Hayati varian RRNK603 dan Bt Mon89034. Meski sebaliknya Prof Gilles Eric Seralini dari Caen University, Prancis meneliti dampak berupa benjolan tumor yang memenuhi tubuh tikus percobaan pada 2009 dan 2012 setelah diberi asupan varian ini (penelitian lain menemukan gejala kematian prematur, kerusakan hati, ginjal). Saat ini hasil produksi varian ini di Meksiko digunakan untuk bahan sereal, tortilla dan kripik.

Sepertinya masih belum hilang dari ingatan kita mengenai kasus kapas Bollgard di Sulawesi Selatan, dimana lagi lagi Monsanto berperan di belakang layar, dan berhasil memaksakan produknya di tanam di beberapa kabupaten. Meski dua tahun kemudian dihentikan oleh kementerian pertanian karena dianggap gagal. Dan tragisnya, penjualan bibit ini biasanya sekaligus berpasangan dengan pestisidanya, sehingga membuat petani menjadi lebih tergantung sejak bibit hingga pemeliharaan.

Moral of the story-nya, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan keaneka ragaman hayati terbesar di dunia, sudah selayaknya kita melakukan riset sendiri dan menemukan bibit terbaik yang dapat diproduksi dengan cara2 yang sehat dan alami. Hentikan jalan pintas dengan memberikan rekomendasi pihak2 asing yang tidak jelas motifnya. Bukankah kita memiliki PTN yang khusus meneliti pertanian (yang saat ini malah lebih banyak bekerja di Bank, Pers dan IT), juga kementerian pertanian yang dengan mendayagunakan mereka secara benar,  tentu saja kita dapat menciptakan kemandirian, dan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi dunia.


 

No comments: