Buku yang pertama kali terbit di tahun 1954 ini dibuka
dengan mengutip pandangan Pramoedya, yaitu "ah sudara, manusia ini kenal satu
sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri". Cukup menarik, meski tidak
jelas apakah yang dimaksud Pramoedya dengan tidak mengenal dirinya sendiri itu
tokoh utama alias Si Manis Bergigi Emas.
Saat menjelang remaja, ayahnya alias Haji Abdul, menikahkan-nya dengan Haji Terbus untuk menjadi istri kesekian. Tak berani menolak permintaan ayah-nya menikah, Midah memilih kabur dari suaminya saat hamil tiga bulan.
Cerita ini sederhana saja, mengenai seorang wanita
bernama Midah yang sempat jadi anak
tunggal dan dapat perhatian penuh dari kedua orang tua-nya. Namun segera
setelah adik2nya lahir, Midah tidak lagi menjadi pusat perhatian. Bahkan sempat
mengalami kekerasan dari ayah-nya hanya karena menggemari musik keroncong.
Saat menjelang remaja, ayahnya alias Haji Abdul, menikahkan-nya dengan Haji Terbus untuk menjadi istri kesekian. Tak berani menolak permintaan ayah-nya menikah, Midah memilih kabur dari suaminya saat hamil tiga bulan.
Dalam kondisi galau dan uang yang semakin menipis, Midah
akhirnya memutuskan mengikuti rombongan pengamen keroncong, aliran musik yang
memang disukai Midah. Berhasil menyelamatkan diri dari pelecehan salah satu
anggota rombongan menyebabkan hubungan yang dekat dengan Kepala Pengamen. Namun
karena menolak lamaran Sang Kepala Pengamen, Midah kembali harus mencari
jalan-nya sendiri.
Lalu dia ditolong seorang polisi yang lalu jatuh cinta
padanya. Sayangnya setelah menghamili Midah, Sang Polisi tak mau bertanggung
jawab pada perbuatan-nya. Saat itulah Midah kembali ke runah orang tua-nya.
Kondisi hamil tanpa suami, menyebabkan keluarga ayah dan ibunya yang dikenal
sholeh menjadi bahan gunjingan. Akhirnya Midah kembali harus pergi ke jalan
tetapi dengan meninggalkan anak sulungnya.
Pada akhir cerita, Midah kembali digambarkan bernyanyi
dari satu tempat ke tempat lain, dan lebih bebas lagi dalam pergaulan. Bagi
Midah yang nota bene dibesarkan dalam keluarga dengan latar belakang agamis,
hal2 seperti moral dan kesusilaan tidak
lagi penting.
Akhir kata, IMHO ini bukan salah satu novel terbaik
Pramoedya, riset yang minimal, akhir cerita yang terasa kurang pas terasa cukup
mengganggu khususnya saat Midah meninggalkan anak sulungnya, meski cerita nya
tetap terasa mengalir sebagai ciri khas Pramoedya. Bagi penggemar karya terbaik Pramoedya saya tidak menganjurkan untuk membaca buku ini, namun jika anda seorang kolektor karya beliau, buku ini tetap menjadi koleksi yang berharga.
No comments:
Post a Comment