Wednesday, January 16, 2013

Habibie dan Ainun (2012) - Faozan Rizal

Jika menonton dan membaca tentang hal yang sama biasanya menimbulkan ketidak nyamanan, namun hal itu tidak berlaku bagi film ini. Apa sebab ? sepertinya keterlibatan langsung Habibie sebagai nara sumber menyebabkan film ini masih sejiwa dengan  buku (persis seperti keteribatan Rowling dalam film Harry Potter), walaupun sangat banyak hal di buku yang tidak dapat tertuang secara lengkap di film, mengingat durasi film yang terbatas dan padatnya buku Habibie dan Ainun. Lantas apa siapa aktor paling penting yang menyebabkan film ini masih bisa mewakili buku, tentu saja Reza Rahadian.

Seperti apa sih kualitas akting seorang Reza dalam film ini, saya lebih senang menyebutnya "kesurupan arwah Habibie" dibanding mampu memainkan peran Habibie. Reza bukan cuma mampu meniru cara Habibie berbicara, namun juga berjalan dan ekspresi khas Habibie yang agak "berlebihan" seperti sorot mata yang berbinar-binar membuktikan film ini sebagai puncak kualitas akting seorang Reza. Dan tidak main2, Reza harus menyingkirkan Agus Kuncoro, Lukman Sardi dan Teuku Wisnu untuk mendapatkan peran ini.

Diluar Reza tidak ada aktor yang bermain "lebih", Bunga Citra Lestari bermain biasa saja, meski sebenarnya potensi kemiripan fisik dengan Ainun lebih tinggi dibanding antara Reza dengan Habibie. Kedua anak Habibie juga muncul namun tidak berperan sebagai karakter sentral dan justru dimainkan dengan biasa2 saja. Akan tetapi karakter Ibnu Sutowo cukup menarik dimainkan dan ditampilkan lebih sebagai pengusaha bergaya "koboi" dibanding pejabat negara. Selain nama2 tsb yang tidak kalah aneh-nya adalah Hanung Bramantyo bermain sebagai Sumohadi, karakter misterius pengusaha "lihai" yang belum terbuka topeng-nya dan seingat saya tidak muncul dalam buku-nya (ehmm mengingatkan saya akan SfWn atau malah SeDd).



Untuk special effect, film ini juga menunjukkan banyak kemajuan dibanding film2 Indonesia kebanyakan, misalnya adegan penerbangan ke Jerman yang ditumpangi Habibie dan Ainun setelah menikah (untuk tinggal di Oberfortsbach). Namun sebaliknya adegan pendaratan di Halim terlihat sangat kaku. Setting masa lalu digambarkan dengan sangat baik seperti adegan awal saat di SMA (yang lokasinya di Bandung dikenal dengan SMAK Dago).

Hal2 menganggu dalam film adalah pemaksaan munculnya sponsor seperti Chocolatos dan Sirup Marqisa, sangat menganggu dan terlalu menyolok mata. Sepertinya penonton akan lebih menghargai jika muncul saat "screen title" saja. Selain sponsor tersebut, juga agak aneh melihat Habibie yang dikenal sebagai cendekiawan muslim dansa dansi atau apakah ini memang hal yang umum di masa itu ? Namun sepertinya inilah resiko komersialisasi, dan penonton yang kritis mesti menelan-nya bulat2.Untung-nya adegan2 penyelamat seperti saat kritisnya Ainun, atau adegan saat2 Habibie tercenung memandang pesawat karya-nya yang juga merampas waktu2nya bersama keluarga selama bertahun-tahun, bisa menambal kekurangan tersebut.  

Akhir kata, film ini sangat layak ditonton, lepas dari segala kekurangan, film ini mengajarkan betapa kebahagiaan itu sangat sementara sifatnya, karena seberapa besar pun cinta antara Habibie dan Ainun namun waktu jua lah yang memisahkan mereka. Namun betapa berat pun perpisahan itu tetap tidak dapat mengabaikan 48 tahun kebahagiaan yang diberikan Allah bagi mereka. Perjuangan Habibie dalam karir seperti yang digambarkan saat beliau tidak punya uang untuk naik kereta dan terpaksa berjalan kaki melewati jalanan saat musim dingin juga sangat menginspirasi, dan mengajarkan pada kita bahwa cita2 dalam hidup sangatlah penting.

No comments: